Selasa, 30 Desember 2014

Sajadah Milik Pierre (Bagian 4)

Pagi baru saja menjelang di beranda Hotel Le Meridien, tepatnya pukul satu dini hari waktu Mekkah, ketika 10 bus jamaah haji Perancis mulai merapat dan menimbulkan kegaduhan panjang di depan lobby hotel tersebut. Empat belas pemuda berkulit hitam yang menjadi tenaga borongan hotel itu bergegas menyambut di tepi jalan, ikut mengatur bus maupun penumpangnya, sebelum melanjutkan untuk membongkar bagasi masing-masing bus tersebut dan mengantarkannya ke depan pintu masing-masing kamar nantinya. Hampir tiap hari di musim haji tahun ini, kegaduhan yang sama selalu terjadi di tengah malam sampai menjelang fajar di hotel ini. Le Meridien memang menjadi pilihan utama di luar ring pertama hotel-hotel sekitar Masjidil Haram, khususnya jamaah dari Eropa Barat, ataupun jamaah-jamaah dari Asia yang finansialnya lebih mapan. Biasanya memang tamu hotel ini datang dari biro-biro travel perjalanan haji dan umroh dengan kelas plus.

Beberapa pria yg mungkin menjadi ketua rombongan dari tiap-tiap bus mulai turun dan nyaris berteriak memberi aba-aba kepada anggotanya untuk bergegas berbaris sesuai rombongan masing-masing di trotoar di depan hotel itu. Satu karom yang cukup menonjol karena suaranya yang paling lantang adalah Abdullah. Rupanya mereka akan bergegas melanjutkan perjalanan ritual umroh qudum, sebagai awal dari rangkaian manasik haji mereka.

Sebagian jamaah itu mulai meliuk-liukkan badan sedikit bersenam, meregangkan otot dan persendian tulang mereka, yg rasanya mungkin kaku semua seperti habis dikurung selama berjam-jam akibat perjalanan panjang dari Paris ke Jeddah hingga ke Mekkah. Sebagian kecil lainnya terlihat kasak-kusuk di sekitar sang ketua rombongan, bertanya ini-itu yang perlu disiapkan. Sang ketua dengan telaten dan sabar memberikan penjelasan, sambil sekali-kali tangannya menunjuk-nunjuk arah untuk lebih menegaskan penjelasannya kembali. Satu orang tiba-tiba mendekat dan berdiri di sebelah sang karom, seorang pemuda afrika yang merupakan petugas pemandu haji dari hotel itu, yang kemudian mengangkat sebuah papan penunjuk nama rombongan masing-masing.

"Mulai dari sini, kita akan bersama naik bus merah di depan itu, dipandu saudara kita ini." Ujar sang ketua sambil menunjuk bus umum warna merah bertuliskan "Saptco" dan menunjuk sang petugas hotel yg akan memandu mereka.

"Tiap-tiap rombongan dalam satu bus. Bus yang ini akan tetap di sini untuk penurunan bagasi kalian. Nanti setiba di terminal di depan sana, kita lanjutkan berjalan kaki ke tempat wudlu. Awas, jangan sampai terpisah dengan rekan satu rombongan." Pesan lanjut sang ketua rombongan.

Rombongan Abdullah menjadi rombongan ketiga yang bersiap menaiki bus Saptco merah, yang akan membantu mengangkut mereka melintasi terowongan dari sisi Kuday menuju sisi Bab Malik menembus bukit batu yang memisahkan wilayah Kuday dengan wilayah Misfalah lainnya.

Satu per satu anggota rombongan naik dengan tertib tanpa berdesakan. Mengantri dengan tertib seolah sudah menjadi adab yg sudah menjiwa dalam diri mereka, seolah tumbuh secara refleks dari kesadaran saling menolong dan saling bertoleransi di antara mereka, sehingga memudahkan segala urusan yg berkaitan dengan kebutuhan orang banyak. Hmmm, ... jauuuuh sekali dengan adab dan polah sebagian bangsa Asia dan Eropa Timur yg masih gemar selonang-selonong, bahkan tega main sikut menerobos antrian seenaknya sendiri. Mungkin, dengan semakin maju tingkat pendidikan suatu bangsa, kesadaran tertib dalam mengantri juga semakin baik pula. Ataukah mungkin juga tidak tentu demikian, karena adab memang perlu pembiasaan panjang ya?

Terowongan Kuday-Bab Malik sebenarnya adalah satu terowongan panjang di utara distrik Misfalah, yang menghubungkan terminal bus Kuday, yg menjadi terminal transit bus-bus dari beberapa distrik seperti Bakhutmah, Misfalah, ataupun Syarif Mansyur, yang mana terminal itu terletak persis di timur simpang empat sebelah hotel Le Meridien itu dengan terminal Bab Malik yg berada di ujung utara terowongan itu dan tepat di bawah hotel Tower Jam di sebelah selatan Masjidil Haram. Hotel Le Meridien sendiri sebenarnya terletak tepat di ujung selatan terowongan tersebut. Sehingga setiap jamaah yg menjadi tamu hotel Le Meridien tak perlu naik dari terminal Kuday, melainkan bisa naik kemudian dari halte kecil di depan hotel tsb. Tentu dengan risiko tidak akan ikut terangkut jika bus sudah sesak penumpang sedari Kuday.

"Tak perlu khawatir jika bus dari Kuday penuh. Sopir-sopir bus ada yg berangkat tanpa penumpang dari Kuday, khusus untuk melayani Le Meridien." Jelas pemuda afrika yg menjadi pemandu mereka kepada Abdullah, saat Abdullah menanyakan bilamana siang nanti mereka hendak kembali naik bus merah ini.

"Tapi ... Karena tarif semua bus ini free, karena telah ditanggung semua oleh kerajaan, maka sekembalinya dari Haram nanti kalian terpaksa harus berebut dengan penumpang umum lainnya." Sambung Diouf, si pemandu tadi.

"Jika terminal Bab Malik yang di sana nantinya penuh sesak dengan penumpang, biasanya terjadi seusai sholat isya, kalian bisa juga langsung berjalan kaki ke sini menyusuri trotoar di tepi jalan terowongan ini. Toh sebenarnya tak begitu jauh, dan jalannya di dalam terowongan pun lurus saja menuju ke tempat ini." Diouf memberikan alternatif pilihan bila Abdullah dan kawan-kawannya menemui kesulitan beroleh bus untuk pergi dan pulang dari Haram. "Asalkan jangan lupa mengenakan masker kalian, karena debunya di dalam terowongan cukup banyak."

Abdullah hampir saja menyampaikan satu pertanyaan lagi ketika bus mulai berhenti. Rupanya mereka sudah tiba di Bab Malik yang benar saja memang cukup dekat dari hotel mereka. Ia menunda pertanyaannya untuk ganti memberi aba-aba lagi kepada rombongannya. Mereka perlu bergegas ke ruang wudlu dulu sebelum memulai ritual thawaf dan sai untuk umroh qudum mereka. Dan itu perlu komandonya sebagai ketua agar rombongan tidak tercerai berai. Untung ada Diouf yg membantu mengarahkan sehingga memudahkannya dalam mengatur barisan rombongannya.

Sebastian, salah satu rombongan yang dipimpin Abdullah yang berangkat haji bersama dua sahabatnya yg lain David dan Pierre, menoleh ke satu jalan yang diapit pertokoan di bawah Tower Jam di sebelah selatan Haram saat mereka hampir sampai di tempat wudlu. Itu merupakan sebuah jalan utama dari distrik Misfalah untuk menuju ke masjil Al Haram. Rupanya di jalan itu sudah ramai orang karena ada dua rombongan besar berihram yang sama-sama sedang menuju ke Haram, sehingga langsung menyita perhatian Sebastian. Menilik benderanya, mereka dari Cina dan Indonesia. Dua negara yang memiliki jamaah haji terbanyak di setiap tahunnya.

"Hebat ya! Jam segini masih terus ramai saja yang pergi ke masjid!" Seru Sebastian kepada Pierre yang melangkah lebih dulu di depannya. Pierre ikut menoleh ke arah jalan tersebut, kemudian menggeleng-gelengkan kepala, dan lalu berkata, "Subhanalloh!"

Abdullah kembali mengomandoi rombongan mereka untuk bergegas membentuk barisan lagi bila usai berwudlu. Lalu sambil menunggu mereka yang masih berwudlu, ia pun membantu merapikan letak kain ihram beberapa rekan yang nyaris lepas selama dalam perjalanan maupun saat berwudlu tadi. Beberapa bahkan keliru menyelempangkannya. Diouf ganti mengambil alih menyampaikan informasi tentang apa-apa yg akan mereka lakukan saat thawaf dan sa'i nanti.

Satu orang jamaah dari Distrik 3 Paris, yaitu seorang wanita dengan usia sekitar 60-an dan berbadan cukup gendut, lantas mengangkat tangannya bermaksud menanyakan sesuatu kepada Diouf. Rupa-rupanya kakinya kesakitan, sehingga tidak cukup kuat untuk terus berjalan. Diouf pun mengangguk-angguk berusaha menenangkan wanita itu.

Seorang pria pendorong kursi roda yang standby agak jauh dari tempat mereka berbaris segera dipanggil dengan lambaian tangannya. Pria dengan rompi hijau, jubah putih, dan surban merah putih itu sigap mendorong kursi rodanya mendekati Diouf. Setelah tawar-menawar harga, yang disepakati dengan 150 riyal untuk thawaf hingga selesai sa'i, Diouf kemudian menunjuk sebuah tiang lampu di depan gerbang no. 91 sebagai tempat nantinya mereka berkumpul kembali dengan pria pendorong kursi roda itu.

"Dia akan memakai jalurnya sendiri, di lantai ke-dua atau ke-tiga. Sedangkan kita nanti akan mulai dari lantai utama di bawah, agar bisa lebih dekat dengan Ka'bah." Jelas Diouf kepada keluarga si wanita tua tadi. Memang ada banyak pria penyedia jasa kursi roda yang selalu siap di seputaran serambi Haram guna melayani jamaah yg akan membutuhkan bantuan untuk pelaksanaan thawaf ataupun sekaligus sa'inya. Seragam mereka pun sangat khas, seperti halnya seragam pria yg telah dipanggil Diouf tadi. Diouf meyakinkan suami wanita itu bahwa istrinya tetap aman dipandu pria pendorong kursi roda tadi.

Tak berselang lama, semua anggota rombongan telah bersiap dalam barisan, dan mereka pun memulai ritual thawaf diawali dari gerbang King Abdul Azis, gerbang nomor pertama dengan menara kembar yang mengapitnya dan gerbang itu tepat berhadapan dengan Tower Jam di selatannya.

"Umumnya jika berhaji atau umroh, jamaah mengutamakan melalui pintu nomor 10, yaitu gerbang Babus Salam. Namun kali ini kita lewat pintu nomor 1 ini saja ya, agar tidak berjubel dengan jamaah di depan kita ini." Diouf menjelaskan sambil menunjuk satu barisan besar jamaah berbendera Indonesia yg lewat di depan mereka yang saking banyaknya seperti tak habis-habisnya barisan mereka itu, dan sambil kompak bertalbiyah, seperti suatu choir paduan suara yang sangat indah. Abdullah dan kawan-kawannya hanya menggeleng-gelengkan kepala pertanda kekagumannya.

"Kalian akan bertemu mereka di mana saja di penjuru kota ini," kata Diouf menggambarkan tentang banyaknya jamaah haji asal Indonesia itu ,"jumlah mereka kira-kira 300.000 orang jika sudah berkumpul di sini semua saat haji nanti."

Tepat ketika mereka mulai mengemasi alas kaki masing-masing di depan gerbang King Abdul Azis, satu rombongan besar berikutnya yang berbendera Cina ikut melintas menuju ke pintu lainnya, mungkin menuju babus salam atau entah pintu yg mana. Dan waktu itu rupanya sudah hampir menunjuk jam setengah dua saat bayangan mereka semua lenyap ke dalam gerbang besar itu.


Di sisi lain di kota Mekkah, Sayid dan Fatimah, sepasang suami istri yg sudah sepuh sedang berkemas untuk berangkat ke Haram dari penginapan mereka di ujung jalan Hijrah. Botol plastik kecil seukuran 350 ml sedang diisi dengan air dari dispenser oleh tangan kecil Fatimah. Sedangkan Sayid yang berdiri di dekatnya itu masih sibuk membenahi letak surbannya. Ia tak ingin udara dingin dari AC di dalam masjid nanti mengganggu kekhusyukan sholat malamnya.

"Kita nanti berjalan kaki atau naik bus sholawat saja?" Tanya Sayid memberi opsi kepada istrinya.

"Jam berapa to sekarang, bi?" Tanya Fatimah balik kepada Sayid, yang kemudian menjulurkan lengan kiri menunjukkan jam tangan di pergelangannya.

"Baru setengah dua to? jalan sajalah ya?" Fatimah menawar. Memang waktunya masih sangat longgar menuju shubuh di jam 5 pagi nanti. Sedangkan perjalanan dengan berjalan kaki hanya perlu waktu setengah jam dari penginapan mereka.

"Aku sih manut saja, Mi. Cuman agendanya pagi ini apa? Mau thawaf dulu sebelum shubuh, sebelum dhuha atau mau nanti sore saja?" Sayid belum memutuskan. Tangannya menyambut satu botol minum yang disodorkan Fatimah kepadanya, untuk dimasukkan ke dalam tas "rojokoyo"-nya.

"Aku nanti sore saja, bakdo ashar ya Bi." Jawab Fatimah. "Pagi ini sholatul lail saja, sekalian aku pengin sholat tasbih. Biar ndak kesusu-susu."

"Baiklah, aku sebenarnya pengin mencoba thawaf di lantai atap. Kata pak Mursyid kok lantainya yang utara sudah selesai dicor hingga bersambung dengan lantai yg segaris dengan rukun Yamani. Kemarin blok plastik pembatasnya juga sudah disingkirkan. Ya besok sajalah dicobanya." Kata Sayid mengulang informasi dari pak Mursyid ketua regu mereka.

Fatimah hanya tersenyum mendengarnya. Ia paham betul akan sifat keingin tahuan suaminya itu, yg selalu ingin mencoba-coba hal yg baru di saat "eling" atau bersemangat, ... namun kemudian bakal angin-anginan lagi kalo tidak ada yg mengingatkan atau menyemangati. Padahal, yang didengar Fatimah dari info pak Mursyid pula, satu putaran thawaf di lantai atap itu sama dengan tiga sampai empat kali putaran thawaf di lantai utama di bawah. Terbayang olehnya bagaimana siang nanti si suami bakal ribut meminta dipijiti karena capek kakinya bilamana saja jadi melakukan thawaf di lantai atap dini hari ini.

"Kok pakai sajadah yang itu, bi?" Tanya Fatimah saat melihat sajadah tebal yang digantungkan si suami di tas rojokoyo-nya. "Apa ndak jadi bawa sajadah yg dibeli pagi tadi?"

"Pakai ini saja kalau malam, biar gak kedinginan kena lantainya nanti." Sayid menerangkan mengapa ia tetap memakai sajadah Turki yg tebal itu, sajadah yang dulu dihadiahi seorang kawan yg pulang haji. Kata kawannya itu, biar ia segera ketularan berhaji. Sayid hanya terkekeh bila mengingat itu, karena ia tahu di beberapa pasar di Surabaya pun gampang sekali ia jumpai sajadah yg sama dengan sajadah ini. Apalagi di pasar Turi dan di pasar Slompretan, tinggal pilih sesuai budget masing-masing.

"Nanti siang saja aku bawanya." Sambung Sayid sambil memencet tombol lift untuk turun di tempat penginapan itu. Fatimah segera mengekor di belakangnya saat pintu lift terbuka di lantai lobby. Tangan kecilnya segera meraih lengan Sayid, untuk sedikit menahan langkah cepat suaminya itu. Dua insan sepuh ini pun mulai membelah jalan Hijrah, dalam tiupan angin yang masih berasa gerahnya, menyusuri sepanjang trotoar dan jalan pertokoan Misfalah, menuju ke Haram, dengan diterangi lampu-lampu jalan yang benderang.

Saat mentari mulai menampakkan semburat sinarnya di bukit-bukit batu di sekeliling Haram, langkah Fatimah ketika keluar dari pintu annisa no. 89 sedikit terhenti karena terhalang sosok-sosok lelaki yang tinggi besar yang masih berihram yang baru saja turun dari escalator di gerbang 91. Ia menahan dirinya sesaat, ketimbang kalah tenaga bertubrukan dengan jamaah tadi. Namun rupanya mereka sama-sama berhenti di bawah tiang lampu di depan gerbang 91. Di tempat yang sama yang dipakai sebagai gathering point dengan Sayid, suaminya. Fatimah agak kesulitan menebarkan pandangan saat mencari-cari bilamana sosok suaminya mungkin telah muncul di dekat situ.

Sosok-sosok lelaki besar yang tak lain adalah Pierre, David dan Sebastian itu masih saja menghalangi pandangan Fatimah, sehingga kecemasan dan kejengkelan mulai merasuki hati Fatimah. Namun ia segera menepisnya dengan cepat dalam kalimat istighfar.

"Astaghfirullohal adziim." Fatimah terus berdzikir menenangkan hatinya. Ia berharap sang suami segera muncul di hadapannya.

Desis istighfar Fatimah rupanya terdengar juga di telinga Pierre. Ia menoleh kepada perempuan tua di dekatnya itu yang masih kesulitan melongokkan kepala karena terhalang tubuhnya dan rekan-rekannya yang lain. Demi membantu nenek ini, Pierre mengingsutkan badannya agak ke timur menjauhi si nenek sembari menarik pundak David dan Sebastian, sehingga pandangan Fatimah bisa lebih bebas lagi. Bola matanya melirik sajadah ungu yg cantik yang didekap sang nenek itu. Sebuah sajadah yg pasti tidak mengecewakan jika ia hadiahkan pada Marrion. Namun belum sempat ia bertanya di mana ia bisa mendapatkan sajadah yg sama seperti itu, seorang kakek datang menghampiri nenek itu, menggamit tangan sang nenek dan segera beranjak pergi. Mulut Pierre tak jadi bersuara untuk bertanya. Pandangannya terpaku pada sosok kakek-nenek yang asyik bergandengan menembus kerumunan kecil jamaah lainnya. Ada kegelian dan juga rasa iri dalam hatinya yg tiba-tiba muncul.

"Ah, seandainya itu adalah aku dan Marrion." Ujarnya dalam hati.