Selasa, 30 Desember 2014

Kenapa Membuang Anak Bangsa Sendiri?

Sekitar tahun 1970-an, wilayah Vietnam, Laos dan Kamboja jatuh ke tangan kaum komunis. Demikian pula daerah perbatasan Thailand sudah dirasuki oleh pengaruh Khmer Merah di sekitar tahun 75-an. Sebagian mahasiswa di Thailand Timur pun telah bergabung bersama pemberontak komunis tersebut, masuk ke hutan dan gunung-gunung. Dunia Barat meramalkan bahwa Thailand sebentar lagi akan jatuh pula kepada kekuasaan Khmer Merah. Namun kenyataannya pada tahun 1980 peta komunis di Thailand bahkan sudah hilang sama sekali.

Apa yg dilakukan pemerintah Thailand pada waktu itu? Menghancurkan basis komunis dengan gaya DOM seperti di Aceh dan Papua? Ataukah melepaskan daerah "merah" itu seperti di TimTim?

Ternyata meskipun banyak korban berjatuhan di kalangan militer Thailand yg bertugas di daerah "merah", sang Raja dan para jenderal Thailand telah menginstruksikan utk tidak menyerang markas kaum komunis, walaupun sudah tahu pasti pos-pos persembunyian mereka. Mereka hanya diminta berjaga dan melaporkan perkembangan wilayah itu ke pusat. Para tentara juga diminta utk mengampuni tanpa syarat setiap pemberontak yg telah meletakkan senjata dan kembali ke kampungnya.

Dan yang menurut saya lebih gila lagi adalah daerah "merah" itu justru di-modernisasi. Jalan2 diaspal, bahkan nyaris tdk ada yg berlobang. Jalan dan jembatan baru juga dibangun untuk memudahkan transportasi penduduk dan hasil pertaniannya. Sekolah, klinik, jaringan listrik, sumur2 air bersih, dan pasar dibangun di daerah "merah" dan miskin, sehingga ekonomi warganya berangsur meningkat dan menjadi makmur. Siaran radio dengan musik-musik yang digemari warganya (plus propaganda berita kemajuan pembangunan daerahnya) selalu berkumandang di setiap penjuru desa.

Kaum muda yg semula memberontak krn sangat marah kepada pemerintahnya kemudian menjadi ragu dengan pemberontakan mereka tsb. Buat apa bersusah payah hidup di hutan atau di gunung, jika di kampung mereka lebih nyaman dan makmur. Lapangan pekerjaan banyak, cari duit juga mudah. Sehingga akhirnya satu persatu mereka kembali ke kampung halamannya. Bahkan para pemimpin pemberontak tsb diberi jabatan strategis sesuai tingkat kepemimpinan mereka, dan peran sertanya memajukan daerah masing2, tidak dihukum ataupun diasingkan. Karena didasari kesadaran bahwa bagaimanapun mereka adalah saudara mereka sendiri, anak bangsa mereka sendiri.

Dan jika kita menengok kembali saat ini, pengaruh modernisasi itu justru telah merembet ke Vietnam. Ikut melunturkan pengaruh komunis di sana. Dan perlahan namun pasti, tingkat ekonominya mulai merangsek Indonesia dan Malaysia, dua raksasa ekonomi pendahulu di Asia Tenggara.

Raksasa yg makin terpuruk karena tidak pernah bisa menghargai kehebatan anak bangsanya sendiri, dengan kebanggaan atas produk2 import-nya yang makin konsumtif, yang makin membebani neraca keuangannya, dan secara meyakinkan membunuh potensi di dlm negerinya sendiri, bahkan termasuk industri gula pasir dan industri garamnya. Kalau perlu, pemimpin perusahaannya pun diimpor saja dari luar negri.

Malaysia sekarang mulai berbenah untuk sadar diri dengan nasionalismenya, untuk berbangga dengan penggunaan produk dalam negrinya sendiri. Produk untuk rumah tangga berbahan kayu dan plastik, mobil nasional, bahan bakar biofuel produksi sendiri berupa ethanol dan biodiesel, pariwisatanya yg makin mendunia dengan "malaysia thrully asia". Dan sebagai sarana pertumbuhan ekonominya, jalan raya dan jalan tol ("lebuh raya" kata mereka) semakin nyaman diselusuri sedari perbatasan Singapura di selatan sampai dengan perbatasan Thailand di utara. Lantai jalannya cor beton mutu tinggi yg lebar hingga bersap tiga atau bahkan empat, tidak berlobang, tidak pula bergelombang.

Di Indonesia sendiri di lain pihak, jembatan-jembatan yg ambles dan putus, jalan yang "berlobang, bergelombang, berkubangan, sempit, rusak, licin, rawan longsor, dan rawan kecelakaan" di negeri ini semakin tak terurus saja rasanya. Apalagi di musim penghujan seperti ini. Di Papua sana, bahkan kita disarankan jalan kaki saja biar cepat sampai ke tempat tujuan, krn minimnya sarana jalan dan jembatan.

Bahkan yg lebih mengenaskan lagi adalah berita kriminal di setiap hari yg makin diekspos di media massa/media sosial, justru semakin menstimulasi pelaku-pelaku baru untuk mengekor pelaku yg lagi "naik daun". Lihat saja di tivi-tivi Anda saben hari, yg selalu dijejali dg berita tawuran, pembunuhan, perampokan, perampasan, perkosaan, penipuan. Dan siapa kiranya yg jadi korban? Tentu ya anak bangsa Indonesia ini sendiri. Bahkan saking lemahnya kekuatan penegak hukum, sampai-sampai jadi hal yg lumrah bagi aparat kita untuk memasang amar/peringatan seperti "amankan kendaraan anda dengan kunci ganda, daerah ini rawan pencurian" ... Dan amar itu ditulis besar dalam spanduk, yg dibeber di pagar depan mapolsek/mapolres atau pos satpam sekitar.

Beda halnya di Singapura, seorang rekan mengatakan bahwa tingkat kriminalitas di sana sedemikian rendahnya karena selain cctv ada di mana2 dan penegakan hukumnya sangat solid, di sana juga gak ada orang yg sempat nganggur. Kalau ada kasus kriminal, biasanya pelakunya itu wisman yg "iseng dan kurang kerjaan". Di sana malah kekurangan tenaga kerja, sampai orang yg semestinya sudah pensiun pun masih diharapkan membantu bekerja sesuai porsi kemampuan mereka. Lha kalo semuanya sibuk bekerja, ya tentu ga sempat iseng atau jail untuk melakukan hal-hal yg melanggar hukum. Sebenarnya lapangan kerja di sini memang masih kurang, atau warganya yg malas bekerja ya? Atau biaya utk menggaji tenaga kerjanya sudah kelewat kemahalen?

Mari kita doakan saja dan kita dukung bersama, semoga pemimpin-pemimpin Indonesia ini selalu sehat seger waras, nggak gampang stress, nggak gampang capek ngurusi masalah bangsa negara yg sudah sedemikian kronisnya ini. Dan semoga pula, anak-anak bangsa Indonesia jadi anak yg shaleh dan berbakti, tidak durhaka dan durjana, sehingga menyengkuyung semua upaya untuk menuju "Indonesia Yang Selalu Lebih Baik".


Inspired by Ajahn Brahm (Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya)