Rabu, 24 Desember 2014

Sajadah Milik Pierre (Lengkap)

Bagian 1

Pagi itu Sayid dan Fatimah istrinya, berjalan pulang selepas berjamaah shubuh di Al Haram. Tubuh renta mereka terpaksa harus beradu kuat berhimpit-himpitan dengan jamaah lain yang masih muda ataupun yang berbadan layaknya raksasa, saat mulai membelah jalan di antara pertokoan Misfalah sekeluarnya dari serambi masjid. Tangan kecil Fatimah bergegas menggaet lengan Sayid, khawatirterpisahkan bila terhentak oleh jamaah yang nekad menerobos di antara mereka berdua saat melintas di depan toko roti yang sudah ramai pembeli. Sayid justru tersenyum senang ketika istrinya semakin menggamit kuat lengannya. Serasa terbang ke puluhan tahun yang lampau ketika masih masa remaja mereka berdua, betapa romantisnya mereka kini, mungkin begitu yang bersuara dalam benak Sayid. Langkah kaki mereka pun makin bergeser ke tepi kanan jalan, menghindar dari jamaah yang makin memadat menjelang ujung jalan menuju ke persimpangan Misfalah dan Bakhutmah. Jalan itu memang menyempit karena sedang berlangsungnya proyek monorail di selatan Tower Zam-zam atau Menara Jam itu.

“Lewat jalan pertokoan yang tengah itu saja ya, Mi. Keliatannya nggak sepadat jalan yang ke kiri itu.” Tawar Sayid kepada istrinya, yang segera dijawab cepat dengan anggukan Fatimah.

Begitulah,setelah berjalan menyimpang ke barat sedikit menuju jalur Bakhutmah, kakek nenek itu kemudian berbelok kembali ke kiri menapaki jalan pertokoan Misfalah yang sisi tengah. Meski tetap ramai, namun kepadatannya jauh lebih berkurang dibandingkan jalur pertokoan yang sisi timur, yang memang menjadi jalan utama Misfalah. Tubuh pasangan tua itu sudah terbebas dari himpitan ataupun senggolan dengan jamaah yang lain. Langkah kaki mereka mulai melambat ketika melintasi beberapa toko pakaian dan pernak-pernik lainnya.

“Terburu-buru pulang apa nggak, Bi?” Tanya Fatimah dengan maksud meminta ijin untuk singgah sebentar di toko-toko di jalur tengah itu.

“Ummi mau cari apa? Aku juga pengin cari kain surban.” jawab Sayid tersirat mengijinkan.

Hampir setengah tujuh, namun langit timur masih terselimuti mendung ketika Sayid dan Fatimah selesai memilih beberapa sajadah dan tas tenteng dari toko milik orang Bangladesh di dekat fly over Misfalah, sebuah fly over yang biasa ramai untuk pembagian makanan bagi jamaah haji sebagai hadiah dari raja Arab Saudi. Di toko itu mereka sengaja memilih sajadah yang lebar namun tipis, biar nantinya lebih mudah dilipat di dalam tas rojokoyo mereka.

“Aku ingin menghadiahkannya ke akhwat Palestina yang biasanya duduk di sebelahku.” Sebut Fatimah akan tujuannya. Matanya berbinar seolah membayangkan wajah gembira saudarinya dari Palestina itu saat menerima pemberiannya nanti. Meskipun dirinya belum bisa singgah di Palestina, setidaknya sajadahnya sudah bisa mewakili kehadirannya di bumi Baitul Maqdis itu, mungkin demikian harapannya.
“Bagus juga itu. Boleh ya kalo aku juga nanti sedekah sajadah seperti itu?” Tanya Sayid pada istrinya. Fatimah pun mengangguk, sembari kembali menggamit lengan suaminya untuk bergegas pulang ke penginapan mereka. Matahari pun mulai bersinar cerah menembus di antara awan yang tersisa menyelimutinya. Secerah hati dua kakek nenek yang berbahagia itu.


Bagian 2

Jarum jam masih menunjukkan pukul 2 pagi saat mama Lin Lin, jamaah haji dari Sichuan Tiongkok, baru saja selesai menyalakan magic com di dapur umum di sebelah kamar penginapannya. Tangannya sebentar kemudian beralih mengipas-kipas seduhan tehnya dalam gelas besar, dan setelah teh itu menjadi hangat berangsur dituangkannya ke dalam botol minuman ala tupper ware yg akan dibawanya ke Haram nanti. Hanya mirip tupper ware karena memang asli bikinan negerinya, Tiongkok, yang jago tembak produk-produk laris di dunia, ya seperti tupper ware itu misalnya.

Beberapa hari ini Mama Lin Lin memang hanya minum teh hangat saja ketimbang air zam-zam dari Haram. Tenggorokannya mulai gatal menjelang batuk, sepertinya jadi tertular pula oleh batuk jamaah yang lain. Meski masker kain sudah dia dobeli dan rajin dia kenakan, tak ayal masih tetap tertular juga. Mama Hua yang tinggal sekamar dengannya dan kebetulan juga satu-satunya dalam rombongan mereka yang belum batuk yang kemudian berbagi tips kepadanya, menganjurkannya untuk meminum seduhan daun teh hijau hangat-hangat.

Selesai menuang teh, Mama Lin Lin menghela nafas panjang. Ngeri walaupun hanya membayangkan kalau dirinya harus membeli sendiri obat batuk di apotik-apotik di Mekkah ini. Harga obat di sini lumayan mahal, apalagi bagi jamaah haji seperti dirinya. Meski ia mendapatkan living cost sebesar 5.000 yuan atau setara 10 juta rupiah, namun uang itu memang ia upayakan untuk tetap utuh sehingga bisa dibawanya pulang kembali. Untuk berangkat berhaji tahun ini, uang milik keluarga sebesar 35.000 yuan telah ia habiskan sendiri. Belum lagi jika dihitung bersama suaminya, totalnya 70 ribu yuan. Padahal pendapatan sebulan dari hasil kerja seluruh keluarganya, hanya berkisar 500 yuan saja. Sebuah nilai uang yang sangat berarti bagi keluarga petani seperti mereka. Oleh karenanya, untuk berhemat selama di Mekkah ini, mama Lin Lin dan banyak jamaah China yg lain cenderung menahan diri untuk tidak beli-beli sesuatu.

Dalam tas kopernya, mama Lin Lin sudah memenuhinya dengan bekal makanan. 5 kilo beras, 3 kilo mi, 3 kilo tepung. Sisanya hampir 10 kilo makanan dan bahan makanan, termasuk bumbu dapurnya. Tak ayal kalau tas kopernya pun nyaris menyentuh limit ijin kargo. Padahal bekal itupun sudah dibagi bersama dengan kelompoknya, agar bisa saling melengkapi.

Mama Lin Lin pun tak pernah malu untuk mengantri puluhan meter tiap kali ada pembagian “halalan” dalam perjalanan sepulang dari Haram. Entah itu berupa buah, roti, nasi biryani, jus ataupun paket dari Raja Arab. Bagi dirinya, “halalan” itu telah menjadi penyambung hidup selama mereka di Mekkah. Uang saku betul-betul bisa mereka hemat sehemat mungkin.

Memang terkadang mama Lin Lin juga cemburu dengan jamaah lain dari Asia, khususnya jamaah Indonesia, yang tiap pulang dari Masjidil Haram selalu saja mampir ke pertokoan di sepanjang kiri kanan jalan utama Misfalah, yang searah dengan hotel penginapan mama Lin Lin. Entah jamaah Indonesia itu hanya sekedar melihat-lihat ataupun benar-benar berbelanja, namun hal tersebut menjadi hal yg sulit dilakukan oleh mama Lin Lin dan rombongan mereka. Mereka harus teguh betul dalam menghemat uang yang ada, meskipun sebenarnya dalam hati kecil mama Lin Lin pun ingin berbelanja pula. Pakaian, perhiasan, sajadah dan berbagai pernak-pernik lainnya sungguh betul-betul menggoda. Namun sekali lagi, itu harus mampu mereka pendam serapat mungkin dalam lubuk hati terdalam mereka.

Maka ketika sore harinya selepas berjamaah Ashar, demi melihat seorang nenek dari Indonesia mengulurkan sebuah sajadah kepada jamaah Palestina yang duduk tepat di sebelahnya, air mata mama Lin Lin tiba-tiba saja mengalir tak terbendung. Seandainya ia bisa berbincang-bincang dengan nenek itu, mama Lin Lin pun ingin melakukan hal yang sama. Bisa memberi kepada orang lain, bersedekah, tak hanya seperti sekarang yg dilakukannya yg masih harus rela antri demi “halalan-halalan” itu. Tanpa sadar, telapak tangan mama Lin Lin membekap erat mulut dan hidungnya demi menahan isak tangisnya yg makin menggelora. Hatinya pun menjerit-jerit memohon petunjuk dan pertolongan kepada Allah.

Sebuah tangan yang hangat mengelus punggung Mama Lin Lin, berusaha menghiburnya. Entah apa yang diucapkan oleh akhwat Palestina di sampingnya itu, namun perlahan hati mama Lin Lin pun berangsur tenang kembali. Nenek Indonesia di samping akhwat Palestina itu pun mengulurkan sekotak tissu kepadanya dengan tersenyum ikut menghiburnya. Sambil mengangguk berterima kasih, mama Lin Lin menyambut tissue itu untuk mengelap wajahnya yg basah kuyup oleh keringat dan air matanya.

Tiba-tiba seperti mengalir begitu saja dalam benak pikiran mama Lin Lin, seolah ada seseorang yang membisikkan ke telinganya. Sebuah elusan di punggung, selembar tissu, beberapa butir kurma, beberapa teguk air, menunjukkan arah jalan, membantu mengambilkan segelas air zam-zam … Bukankah itu juga sudah bisa menjadi sedekah? Dan itu pun sedekah yg murah, tak harus berupa sedekah sajadah seperti yg dilakukan nenek Indonesia tadi. Dan Mama Lin Lin pun makin yakin, bahwa dirinya tak akan jadi jatuh miskin karena rajin bersedekah seperti itu.

Mama Lin Lin tersenyum lebar, dan kembali mengangguk-angguk mengisyaratkan berterima kasih kepada wanita Palestina dan Indonesia yang telah menolongnya tadi. Dalam dadanya telah bulat sebuah tekad untuk memulai bersedekah sekarang juga. Tangannya bergegas menyambar botol “tupperware” dalam tas cangklongnya, untuk ditawarkan kepada wanita Palestina dan Indonesia itu. Alhamdulillah, mereka pun menyambutnya, sehingga hati mama Lin Lin menjadi lega.

“Begitu mudahnya Allah membolak-balikkan hatiku. Dan sungguh Allah telah memuliakan diriku. Terima kasih ya Allah.” Pekik dalam hati mama Lin Lin bersyukur kepada pemilik Haram di sore itu.


Bagian 3

“Sebaiknya selama di sini kita pakai sim card lokal saja untuk komunikasi di antara rombongan kita. Banyak operator lokal yang bagus dan murah di sini. Nanti kita urus setibanya di hotel di Mekkah. Sekarang jangan aktifkan dulu ponsel kalian. Berhematlah. Siapkan saja pasport masing-masing!” Saran Abdullah kepada rekan2 satu rombongannya, sambil mengemasi tas kecil tempat pasport dan gadgetnya setelah ada informasi pendaratan dari pilot pesawat Airbus mereka. Sebagai ketua rombongan yg membawahi 49 rekan lainnya, Abdullah cukup ceriwis dalam mengingatkan apa-apa yg harus dan akan dilakukan oleh rombongan mereka. Kebetulan ia sudah pernah berhaji tujuh tahun yg lalu. Dan sekarang saat ia ingin berhaji yang kedua kalinya, pemilik tour haji menunjuknya sebagai leader 49 rekannya yg lain.

Airbus milik Saudi Arabian Airlines penerbangan dari Paris baru saja mendarat di bandara King Abdul Azis International Airport (KAIA), mengantarkan sekitar 470 calon jamaah haji dari total sekitar 30.000 jamaah Perancis tahun ini, ketika adzan isya’ pada hampir pukul delapan malam itu mulai berkumandang bersahutan di langit Jeddah yang cerah.

Sebenarnya pesawat tsb berangkat dari bandara Charles de Gaulle sebelum dhuhur, pada pukul 11.10 waktu Paris, dan lama penerbangannya pun hanya 6 jam kurang. Namun karena Jeddah dan Paris berselisih 2 jam, di mana waktu Jeddah lebih awal, maka akhirnya Abdullah dkk pun baru tiba di KAIA pada isya’ ini. Hanya terlambat 5 menit dari yang dijadwalkan.

Pierre, salah satu anggota rombongan Abdullah yang duduk tepat di dua baris belakang dari kursi Abdullah tampak gelisah. Dia duduk di sisi gang way bersebelahan dengan dua sahabatnya, David dan Sebastian. Pierre berulang kali berusaha melongok ke jendela, yang mana hanya terlihat olehnya hamparan tanah yg gelap dengan temaram lampu landas pacu.

“Ada masalah, Pierre?” Tanya David yg duduk tepat di samping jendela tempat Pierre berulang kali melongok keluar. David menangkap kecemasan di wajah Pierre tersebut.

“Ya, bagaimana ya … Akhirnya kita tiba di sini, dan hatiku makin kacau saja.” Jawaban Pierre mengambang.
David hanya tersenyum saja karena ia paham dengan kegelisahan Pierre itu. Dia pun paham apa yg ada dalam benak dan pikiran Pierre saat ini, karena David dan Pierre sama-sama seorang muallaf. Hanya kebetulan David sudah hampir genap setahun menjadi muslim. Sedangkan Pierre baru sekitar lima bulan yang lalu mengikrarkan dua kalimat syahadatnya. Kalau Sebastian sebenarnya sudah lima tahun jadi muslimin, tapi tetek bengek urusan agama pun dia masih belum pede juga. Oleh karena itu, kecemasan ini pun wajar saja muncul setiap saat dalam benak mereka. Terlebih perjalanan haji mereka kali ini bisa dikatakan sebagai satu keajaiban saja.

Dalam kondisi keislaman dan keimanan yg belum kuat benar, dua bulan yang lalu tiba-tiba mereka bertiga disodori ajakan berhaji oleh Syaih Rozaq Boubaker, seorang ulama besar sekaligus pejabat puncak di kantor walikota Paris, saat mereka bertemu sang Syaih ketika singgah sembahyang jamaah ashar di masjid dekat kantor walikota. Jangankan untuk memiliki keberanian pergi berhaji, bahkan nyali untuk sholat sendirian saja mereka masih ragu … Takut jika sholat mereka salah dan tak diterima Alloh, sehingga amalan mereka nihil lagi, tak jauh beda dg amalan mereka saat belum jadi muslim. Maklum saja mereka belum hapal betul gerakan dan doa bacaan dalam sholat. Sedangkan saat ini mereka sebentar lagi bakal menjejakkan kaki di bumi Nabi, tempat berhimpunnya orang-orang yg sudah bersiap diri untuk menyempurnakan iman dan ibadah-ibadah mereka. Jutaan orang-orang yang sudah ahli beribadah, bukan tiga gelintir mualaf seperti mereka.

Pernah dalam satu pengajian ada guru yg menjelaskan tentang kesempurnaan wudlu, di mana sang guru waktu itu membacakan salah satu hadits tentang akan dibakarnya kaki dengan api neraka jika tak sempurna membasuh dalam wudlunya. Hiiii … Langsung terbayang deh kengeriannya di pikiran David, Pierre dan Sebastian.

Tangan David menggapai pundak dan punggung Pierre, berusaha menenangkan sahabat seimannya itu.
“Jangan cemas, Saudaraku! Kita sekarang menjadi tamu Allah. Maka Allah pasti tidak akan mempermalukan kita sebagai tamu-tamunya, bilamana kita bersungguh-sungguh memenuhi panggilannya. Betul kan? Ingat, … Man Jadda wajada, … Ingatkan?!” David mencoba menguatkan hati Pierre.
Pierre tersenyum mendengar kalimat “man jadda wajada” tersebut. Angannya sejenak terbayang ke hari-hari sebelum ia mengikrarkan dua kalimat syahadatnya lima bulan yg lalu. Hari ketika kakinya mendadak terhenti sendiri saat melintasi distrik 5 di Paris, tepat di depan Grande Mosquee de Paris (Masjid Agung Paris), dalam perjalanannya menuju stasiun metro Place Morge.

Saat itu pandangan kedua bola matanya tersita untuk melihat lima anak-anak kecil yg berlomba lari dengan riang gembira melompati anak tangga menuju ke dalam masjid itu. Tangan kanan mereka sambil menggenggam buku kecil hijau yang sama, sambil memekikkan tawa yg tiba-tiba menghujam dan menenangkan hati Pierre. Topi-topi bulat putih, yg belakangan dikenalnya sebagai peci ikut menghiasi kepala, menambah kelucuan malaikat-malaikat kecil itu. Beberapa orang tua usia sebaya, yang mungkin ayah dan ibu dari anak-anak kecil tadi, tampak tenang mengikuti mereka dari belakang. Ada aura penuh kedamaian terpancar dari wajah keluarga itu.

“Hei … Ayo ambil tas kita!” Seruan David membuyarkan sejenak angannya tadi. Pierre bergegas berdiri membuka kabin di atasnya, dan dengan sigap menurunkan ketiga tas koper kecil milik mereka. Sebastian yg duduk di antara Pierre dan David ikut berdiri membantu menata tas koper tsb di atas kursi mereka.
Ketika penumpang yg duduk di depan mulai meninggalkan tempat, berjalan menuju ke pintu keluar, segera pula ketiga sahabat ini pun bergegas menyusul. David sedikit keheranan demi melihat raut wajah Pierre yg tiba-tiba sudah berubah penuh senyuman. Tak seperti tadi yg penuh kecemasan. Tangan David memegang pundak Pierre sekali lagi. Pierre menoleh ke arahnya. Mereka hanya saling berpandangan dan tersenyum.

“Man jadda wajada!” Kata Pierre sambil balas memegang tangan David yang berada di pundaknya, seolah menjawab apa yg ingin diketahui oleh benak David tadi. Sehingga senyum David pun makin lebar karena senang mendengarnya. Tangannya kemudian kembali menepuk-nepuk pundak Pierre menandakan kepuasannya.

“Setelah pemeriksaan dokumen oleh petugas bandara, nanti segera ambil tas koper masing-masing di ruang baggage claim … Tapi jangan pergi jauh dari situ. Kita nanti bersama-sama ke ruang tunggu di luar, untuk sama-sama bersiap ihram.” Komando Abdullah kembali terdengar lantang saat rombongan mereka telah melintasi jalur kedatangan.

Saat di dalam antrian pemeriksaan dokumen, angan Pierre seolah menyambungkan kisah di depan Grande Mosquee de Paris tadi. Setelahnya, selama tiga sore berturut-turut ia lalui hanya dengan berdiri di depan masjid itu, tak kurang tak lebih, tak beranjak sejengkal pun dari tempat ia pertama kali berhenti dan berdiri. Namun sore ini, tak berselang lama kemudian ada satu tanda tanya besar menyeruak muncul di dalam hatinya.

“Mengapa kakinya tiba-tiba selalu berhenti di sana?”
“Dan mengapa pula hatinya ikut menjadi begitu damai saat melihat keluarga-keluarga kecil yg hendak masuk ke dalam masjid itu?”

Dan suara-suara itu, entah orang menyanyikan apa dari dalam masjid sana (yg di kemudian hari akan dikenalinya sebagai adzan), seperti menariknya untuk mulai berani melangkah menapaki tangga masjid … Hingga nyaris menginjakkan kakinya di pintu masjid itu, saat dirinya tersadar dan berhenti melangkah lebih jauh.

“Assalaamu alaikum.” Sapa lembut seorang pemuda tampan, sepertinya mahasiswa dengan wajah layaknya orang Eropa timur, seakan menghentikan geraknya yg berniat menarik mundur kakinya dari pintu masjid itu.
“Anda akan masuk atau apa?” Sambung pertanyaan si pemuda itu ketika Pierre tidak menjawab salam darinya.

Suara Pierre seolah terkunci di kerongkongannya, tak bisa keluar sepatah kata pun. Ia gelagapan demi ketahuan telah berdiri di muka pintu itu.

“Mari masuk saja, sebentar lagi jamaah ashar akan segera dimulai.” Ajak si pemuda itu.

Pierre mengumpulkan segenap kekuatan dan keberaniannya untuk menjawab ajakan tsb. Menolak, mungkin lebih tepatnya.

“Saya bukan muslim!” Tegas Pierre akhirnya setelah berani berkata-kata.
Namun Si pemuda justru meraih tangannya dan menggeretnya masuk.

“Tak apa, Anda bisa melihat-lihat sisi dalamnya. Setelah itu terserah Anda, apakah akan pulang atau ikut saya berkeliling melihat-lihat masjid ini.” Si pemuda berusaha menjelaskan niatnya.

“Banyak juga kok nonmuslim yg berkunjung ke masjid ini, meski ya hanya sampai di tamannya saja.” Sambung si pemuda sambil tetap menggandeng tangan Pierre. “Baiklah, saya akan melanjutkan sembahyang di dalam masjid sana, sedangkan Anda silakan jika ingin berkeliling terlebih dahulu. Tapi sebaiknya lepaskan sepatu Anda itu, biar lebih bebas melihat bagian bangunan yg lain.”

Pierre hanya mengangguk mengiyakan semua kata-kata si pemuda tadi, karena saat ini matanya sedang terbelalak kagum demi memandang kolam dan taman yg terhampar di dalam masjid itu. Dirinya yg sebenarnya seorang jurnalis gaya hidup di sebuah majalah anak muda, justru baru kali ini bisa melihat langsung sebuah keelokan di dalam masjid Paris ini. Padahal hampir setiap hari dia lalu lalang di depannya.
Teringat pesan si pemuda tadi, Pierre segera bergegas melepas sepatunya. Ia memandang berkeliling hingga terlihat olehnya beberapa deret loker untuk meletakkan sandal dan sepatu. Selesai mengurus sepatunya, Pierre mulai melangkah menapaki sisi taman dan kolam yg ada di sekitar situ. Hatinya masih takjub setakjub-takjubnya. Bahkan kedamaian yg tadi sudah menghiasi hatinya, saat ini makin menggelora, hingga tiba-tiba air matanya mengucur tak tertahankan olehnya.

Pierre kelabakan demi mendapati dirinya menangis tanpa sebab seperti itu. Terburu-buru dikeluarkannya sapu tangan dari saku celananya, sehingga malah sempat jatuh ke lantai, menarik perhatian seseorang yg berdiri tak jauh darinya. Akhirnya setelah dengan penuh perjuangan menyeka pipi, mata, hidung dan menenangkan hatinya, tinggallah matanya saja yg masih berkaca-kaca. Ada satu ruang hampa yg mendadak muncul dalam hatinya. Sebuah kehampaan seperti sedang merindukan sesuatu yg amat sangat. Namun Pierre sendiri tak tahu apa yg sedang dirindukannya itu, dan mengapa pula timbul rasa sedemikian.

“Hai ..!” Tiba-tiba sebuah sapaan lembut terdengar di sampingnya. Sapaan yg ketika ditolehnya berasal dari satu makhluk manis yg sudah berdiri tak jauh darinya.

“Anda nonmuslim?” Tebak wanita berkerudung hijau itu melanjutkan sapanya. Pierre tersipu malu ditebak sedemikian, namun ia jujur langsung mengiyakan dengan anggukannya.

“Namaku Pierre!” Ia memperkenalkan diri dengan menjulurkan tangan kanannya hendak bersalaman. Agak canggung juga suasananya ketika si Cantik itu hanya menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada sambil sedikit membungkuk. Tersadar, pierre segera menarik uluran tangannya, sambil ikut-ikutan menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Kedua insan itu pun jadi tertawa ringan demi sadar kecanggungan yg sudah terjadi.

“Namaku Marrion.” Balas Si cantik itu memperkenalkan diri. “Baru pertama datang ke sini?”

Pierre kembali mengangguk. Dengan jujur kemudian diceritakannya peristiwa yg telah terjadi sejak 3 hari yg lalu hingga sore hari ini. Hingga sekarang ia terisak menangis di dalam masjid ini.

Marrion menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum dan berujar, “Subhanalloh!”

Pierre yg tak paham dengan apa yg diucapkan Marrion hanya mengernyitkan dahinya, seolah minta penjelasan lebih lanjut dari ucapan Marrion itu. Tanggap akan kebingungan Pierre tersebut, Marrion kemudian menjelaskan tentang ungkapan kekagumannya itu.

“sebaiknya aku antarkan Anda berkeliling dulu, sebelum nanti aku perkenalkan Anda dengan saudara-saudaraku.” Marrion menawarkan diri menjadi pemandu berkeliling masjid itu. Awalnya Pierre menolak karena pemuda yg sebelumnya tadi sudah menawarkan diri juga.

Marrion hanya tertawa kecil mendapat penolakan tsb, dan kemudian menerangkan bahwa tak apa-apa krn pemuda tadi juga temannya. Namanya Ahmad, berasal dari Albania, namun sudah tinggal cukup lama di Paris ini, begitulah Marrion menerangkan tentang pemuda tadi. Kakinya mulai melangkah perlahan, yg akhirnya diikuti pula oleh Pierre. Mulailah Marrion menjadi guide dadakan, menjelaskan awal mula berdirinya masjid ini sebagai hadiah dari raja Perancis waktu itu kepada para pejuang Islam di Perang Dunia pertama. Ia juga menyambungkannya dengan kisah penyelamatan Yahudi di Paris dari kejaran tentara Nazi Jerman di dalam masjid itu pada masa perang Dunia kedua. Beberapa ruang seperti perpustakaan, ruang kantor dan bagian yang lain pun ikut diperkenalkannya. Pierre mengangguk-angguk menyimak cerita Marrion itu.

“Itu saudara-saudaraku sudah selesai sembahyang. Mari aku perkenalkan dengan guru yg ada di sini, mungkin beliau bisa lebih menjelaskan apa yg telah terjadi dengan Anda beberapa hari ini.” Ajak Marrion untuk menemui beberapa orang saudaranya dan guru yg disebutkannya tadi.

Sang guru yg dimaksud ternyata adalah imam besar Masjid Paris ini. Seorang lelaki tua tinggi kurus namun terlihat tetap gagah dalam balutan jubah kuning dan kain surban merah putih menghiasi kepalanya. Pembawaannya lemah lembut, dan dengan sabar menyimak keterangan yg disampaikan Marrion sebagai awal pembuka perkenalan sang guru dengan Pierre.

“Subhanalloh, walhamdulillah … Inilah hidayah!” Kata sang guru ketika Marrion selesai menuturkan cerita Pierre tadi. Yang sontak disahut dengan takbir dari beberapa saudara Marrion yg ikut menyimak perkenalan tsb. “Allahu akbar, Allahu akbar!”

Sang guru kemudian mengajak Pierre untuk masuk dan duduk di serambi masjid agar lebih santai dalam berbincang. Namun sebelum melangkah lebih jauh, Marrion minta ijin karena dia sedang berhalangan shg tdk dapat mengikuti masuk ke serambi masjid. Pierre sebenarnya ingin si cantik itu tetap bersamanya, menemani dirinya saat berbincang lebih lanjut dengan sang guru. Namun Marrion hanya melambaikan tangan, seakan memintanya untuk tetap tenang saja mengikuti sang guru. Telunjuknya menuding ke arah tempat mereka bertemu pertama kali tadi, seolah membuat janji untuk bertemu di tempat itu lagi seusai urusannya dengan sang guru.

Dan demikianlah singkatnya selama hampir lebih dari satu setengah jam sang guru menjelaskan tentang “hidayah” yg telah turun kepada Pierre pada sore itu, sembari mulai memperkenalkan ajaran Islam kepadanya, dan pada akhirnya mengembalikan semua tekad dan niat kepada Pierre. Apakah dia akan menyambut hidayah itu ataukah disia-siakannya begitu saja. Pierre sendiri demi mendengar penjelasan yg terang dan runut dari sang guru justru semakin berbunga-bunga hatinya. Mungkin inilah jawaban dari kekosongan hatinya tadi.

Dan di senja itu, ketika awan-awan di langit Paris makin memerah, beberapa saat sebelum adzan maghrib berkumandang, Pierre menegaskan ikrar dua kalimat syahadatnya dalam bimbingan sang Guru. Pierre telah menjadi muslim dengan niat yg mantab. Sang guru bahkan kemudian membekalinya dengan sebuah kalimat untuk terus meneguhkan niatnya sebagai muslim.

“Man jadda wajada!” Ujar sang guru, sambil menerangkan artinya. Sebuah bekal kalimat yg terus dipegangnya, terkhusus di saat hatinya ciut atau gentar dgn kesulitannya menjadi muslimin.

“Apa yg kau pikirkan?” Sergah Sebastian demi melihat Pierre yg tersenyum-senyum sendiri saat mereka mulai melangkah naik ke dalam bus yg akan membawa mereka ke Makkah al Mukaromah.

“Kau sendiri apa yg kau pikirkan?” Pierre malah balik bertanya kepada Sebastian. Ia berusaha menyembunyikan angan-angannya yang barusan melintasi pikirannya sedari turun dari pesawat tadi.

“Hahahaha … Aku sedang memikirkan nama apa yg akan aku pakai nanti sepulang haji.” Jawab Sebastian.
“Zidane … Ya, Zidane. Nama itu yg akan kupakai!” Sebastian mantab menjawab, yg disusuli dengan tepukan tangan David di pipinya, pertanda menyetujui harapan Sebastian tersebut. “Kalau kamu?” Sebastian balik bertanya kepada Pierre.

Pierre tidak segera menjawab. Pandangannya yang dihiasi senyumannya seakan melayang jauh, membayangkan sesuatu yg diinginkannya kemudian. Sebuah keinginan yg belum lama dipendamnya sebelum keberangkatan mereka ini. Senyumannya yang makin menggemaskan Sebastian.

“Hei … Ini tidak adil!” Cetus sebastian mendesak jawaban darinya. David hanya menepuk-nepuk pundak sebastian agar bersabar sejenak.

“Kalau aku setelah ini?” Pierre membuat jeda jawaban yg agak panjang, … “Bolehkah aku menikahi adikmu, Marrion?” Jawab Pierre pada Sebastian.

David dan sebastian hanya ternganga mendengar jawaban itu, namun tak lama kemudian ketiga sahabat itu langsung berangkulan erat.

“Tentu saja, Saudaraku! Tentu saja!” Jawab sebastian mantab. Air matanya sampai menetes karena kebahagiaannya.

“Hei, hei … Awas kain ihram kalian bisa lepas itu nanti! Awas!” Teriakan Abdullah mengingatkan ketiga sahabat itu yg masih saja berangkulan dan tertawa-tawa penuh kebahagiaan.
Dan bus mereka pun mulai melintas perlahan membelah jalan raya Jeddah menuju Makkah.


Bagian 4


Pagi baru saja menjelang di beranda Hotel Le Meridien, tepatnya pukul satu dini hari waktu Mekkah, ketika 10 bus jamaah haji Perancis mulai merapat dan menimbulkan kegaduhan panjang di depan lobby hotel tersebut. Empat belas pemuda berkulit hitam yang menjadi tenaga borongan hotel itu bergegas menyambut di tepi jalan, ikut mengatur bus maupun penumpangnya, sebelum melanjutkan untuk membongkar bagasi masing-masing bus tersebut dan mengantarkannya ke depan pintu masing-masing kamar nantinya. Hampir tiap hari di musim haji tahun ini, kegaduhan yang sama selalu terjadi di tengah malam sampai menjelang fajar di hotel ini. Le Meridien memang menjadi pilihan utama di luar ring pertama hotel-hotel sekitar Masjidil Haram, khususnya jamaah dari Eropa Barat, ataupun jamaah-jamaah dari Asia yang finansialnya lebih mapan. Biasanya memang tamu hotel ini datang dari biro-biro travel perjalanan haji dan umroh dengan kelas plus.
Beberapa pria yg mungkin menjadi ketua rombongan dari tiap-tiap bus mulai turun dan nyaris berteriak memberi aba-aba kepada anggotanya untuk bergegas berbaris sesuai rombongan masing-masing di trotoar di depan hotel itu. Satu karom yang cukup menonjol karena suaranya yang paling lantang adalah Abdullah. Rupanya mereka akan bergegas melanjutkan perjalanan ritual umroh qudum, sebagai awal dari rangkaian manasik haji mereka.
Sebagian jamaah itu mulai meliuk-liukkan badan sedikit bersenam, meregangkan otot dan persendian tulang mereka, yg rasanya mungkin kaku semua seperti habis dikurung selama berjam-jam akibat perjalanan panjang dari Paris ke Jeddah hingga ke Mekkah. Sebagian kecil lainnya terlihat kasak-kusuk di sekitar sang ketua rombongan, bertanya ini-itu yang perlu disiapkan. Sang ketua dengan telaten dan sabar memberikan penjelasan, sambil sekali-kali tangannya menunjuk-nunjuk arah untuk lebih menegaskan penjelasannya kembali. Satu orang tiba-tiba mendekat dan berdiri di sebelah sang karom, seorang pemuda afrika yang merupakan petugas pemandu haji dari hotel itu, yang kemudian mengangkat sebuah papan penunjuk nama rombongan masing-masing.
“Mulai dari sini, kita akan bersama naik bus merah di depan itu, dipandu saudara kita ini.” Ujar sang ketua sambil menunjuk bus umum warna merah bertuliskan “Saptco” dan menunjuk sang petugas hotel yg akan memandu mereka.
“Tiap-tiap rombongan dalam satu bus. Bus yang ini akan tetap di sini untuk penurunan bagasi kalian. Nanti setiba di terminal di depan sana, kita lanjutkan berjalan kaki ke tempat wudlu. Awas, jangan sampai terpisah dengan rekan satu rombongan.” Pesan lanjut sang ketua rombongan.
Rombongan Abdullah menjadi rombongan ketiga yang bersiap menaiki bus Saptco merah, yang akan membantu mengangkut mereka melintasi terowongan dari sisi Kuday menuju sisi Bab Malik menembus bukit batu yang memisahkan wilayah Kuday dengan wilayah Misfalah lainnya.
Satu per satu anggota rombongan naik dengan tertib tanpa berdesakan. Mengantri dengan tertib seolah sudah menjadi adab yg sudah menjiwa dalam diri mereka, seolah tumbuh secara refleks dari kesadaran saling menolong dan saling bertoleransi di antara mereka, sehingga memudahkan segala urusan yg berkaitan dengan kebutuhan orang banyak. Hmmm, … jauuuuh sekali dengan adab dan polah sebagian bangsa Asia dan Eropa Timur yg masih gemar selonang-selonong, bahkan tega main sikut menerobos antrian seenaknya sendiri. Mungkin, dengan semakin maju tingkat pendidikan suatu bangsa, kesadaran tertib dalam mengantri juga semakin baik pula. Ataukah mungkin juga tidak tentu demikian, karena adab memang perlu pembiasaan panjang ya?
Terowongan Kuday-Bab Malik sebenarnya adalah satu terowongan panjang di utara distrik Misfalah, yang menghubungkan terminal bus Kuday, yg menjadi terminal transit bus-bus dari beberapa distrik seperti Bakhutmah, Misfalah, ataupun Syarif Mansyur, yang mana terminal itu terletak persis di timur simpang empat sebelah hotel Le Meridien itu dengan terminal Bab Malik yg berada di ujung utara terowongan itu dan tepat di bawah hotel Tower Jam di sebelah selatan Masjidil Haram. Hotel Le Meridien sendiri sebenarnya terletak tepat di ujung selatan terowongan tersebut. Sehingga setiap jamaah yg menjadi tamu hotel Le Meridien tak perlu naik dari terminal Kuday, melainkan bisa naik kemudian dari halte kecil di depan hotel tsb. Tentu dengan risiko tidak akan ikut terangkut jika bus sudah sesak penumpang sedari Kuday.
“Tak perlu khawatir jika bus dari Kuday penuh. Sopir-sopir bus ada yg berangkat tanpa penumpang dari Kuday, khusus untuk melayani Le Meridien.” Jelas pemuda afrika yg menjadi pemandu mereka kepada Abdullah, saat Abdullah menanyakan bilamana siang nanti mereka hendak kembali naik bus merah ini.
“Tapi … Karena tarif semua bus ini free, karena telah ditanggung semua oleh kerajaan, maka sekembalinya dari Haram nanti kalian terpaksa harus berebut dengan penumpang umum lainnya.” Sambung Diouf, si pemandu tadi.
“Jika terminal Bab Malik yang di sana nantinya penuh sesak dengan penumpang, biasanya terjadi seusai sholat isya, kalian bisa juga langsung berjalan kaki ke sini menyusuri trotoar di tepi jalan terowongan ini. Toh sebenarnya tak begitu jauh, dan jalannya di dalam terowongan pun lurus saja menuju ke tempat ini.” Diouf memberikan alternatif pilihan bila Abdullah dan kawan-kawannya menemui kesulitan beroleh bus untuk pergi dan pulang dari Haram. “Asalkan jangan lupa mengenakan masker kalian, karena debunya di dalam terowongan cukup banyak.”
Abdullah hampir saja menyampaikan satu pertanyaan lagi ketika bus mulai berhenti. Rupanya mereka sudah tiba di Bab Malik yang benar saja memang cukup dekat dari hotel mereka. Ia menunda pertanyaannya untuk ganti memberi aba-aba lagi kepada rombongannya. Mereka perlu bergegas ke ruang wudlu dulu sebelum memulai ritual thawaf dan sai untuk umroh qudum mereka. Dan itu perlu komandonya sebagai ketua agar rombongan tidak tercerai berai. Untung ada Diouf yg membantu mengarahkan sehingga memudahkannya dalam mengatur barisan rombongannya.
Sebastian, salah satu rombongan yang dipimpin Abdullah yang berangkat haji bersama dua sahabatnya yg lain David dan Pierre, menoleh ke satu jalan yang diapit pertokoan di bawah Tower Jam di sebelah selatan Haram saat mereka hampir sampai di tempat wudlu. Itu merupakan sebuah jalan utama dari distrik Misfalah untuk menuju ke masjil Al Haram. Rupanya di jalan itu sudah ramai orang karena ada dua rombongan besar berihram yang sama-sama sedang menuju ke Haram, sehingga langsung menyita perhatian Sebastian. Menilik benderanya, mereka dari Cina dan Indonesia. Dua negara yang memiliki jamaah haji terbanyak di setiap tahunnya.
“Hebat ya! Jam segini masih terus ramai saja yang pergi ke masjid!” Seru Sebastian kepada Pierre yang melangkah lebih dulu di depannya. Pierre ikut menoleh ke arah jalan tersebut, kemudian menggeleng-gelengkan kepala, dan lalu berkata, “Subhanalloh!”
Abdullah kembali mengomandoi rombongan mereka untuk bergegas membentuk barisan lagi bila usai berwudlu. Lalu sambil menunggu mereka yang masih berwudlu, ia pun membantu merapikan letak kain ihram beberapa rekan yang nyaris lepas selama dalam perjalanan maupun saat berwudlu tadi. Beberapa bahkan keliru menyelempangkannya. Diouf ganti mengambil alih menyampaikan informasi tentang apa-apa yg akan mereka lakukan saat thawaf dan sa’i nanti.
Satu orang jamaah dari Distrik 3 Paris, yaitu seorang wanita dengan usia sekitar 60-an dan berbadan cukup gendut, lantas mengangkat tangannya bermaksud menanyakan sesuatu kepada Diouf. Rupa-rupanya kakinya kesakitan, sehingga tidak cukup kuat untuk terus berjalan. Diouf pun mengangguk-angguk berusaha menenangkan wanita itu.
Seorang pria pendorong kursi roda yang standby agak jauh dari tempat mereka berbaris segera dipanggil dengan lambaian tangannya. Pria dengan rompi hijau, jubah putih, dan surban merah putih itu sigap mendorong kursi rodanya mendekati Diouf. Setelah tawar-menawar harga, yang disepakati dengan 150 riyal untuk thawaf hingga selesai sa’i, Diouf kemudian menunjuk sebuah tiang lampu di depan gerbang no. 91 sebagai tempat nantinya mereka berkumpul kembali dengan pria pendorong kursi roda itu.
“Dia akan memakai jalurnya sendiri, di lantai ke-dua atau ke-tiga. Sedangkan kita nanti akan mulai dari lantai utama di bawah, agar bisa lebih dekat dengan Ka’bah.” Jelas Diouf kepada keluarga si wanita tua tadi. Memang ada banyak pria penyedia jasa kursi roda yang selalu siap di seputaran serambi Haram guna melayani jamaah yg akan membutuhkan bantuan untuk pelaksanaan thawaf ataupun sekaligus sa’inya. Seragam mereka pun sangat khas, seperti halnya seragam pria yg telah dipanggil Diouf tadi. Diouf meyakinkan suami wanita itu bahwa istrinya tetap aman dipandu pria pendorong kursi roda tadi.
Tak berselang lama, semua anggota rombongan telah bersiap dalam barisan, dan mereka pun memulai ritual thawaf diawali dari gerbang King Abdul Azis, gerbang nomor pertama dengan menara kembar yang mengapitnya dan gerbang itu tepat berhadapan dengan Tower Jam di selatannya.
“Umumnya jika berhaji atau umroh, jamaah mengutamakan melalui pintu nomor 10, yaitu gerbang Babus Salam. Namun kali ini kita lewat pintu nomor 1 ini saja ya, agar tidak berjubel dengan jamaah di depan kita ini.” Diouf menjelaskan sambil menunjuk satu barisan besar jamaah berbendera Indonesia yg lewat di depan mereka yang saking banyaknya seperti tak habis-habisnya barisan mereka itu, dan sambil kompak bertalbiyah, seperti suatu choir paduan suara yang sangat indah. Abdullah dan kawan-kawannya hanya menggeleng-gelengkan kepala pertanda kekagumannya.
“Kalian akan bertemu mereka di mana saja di penjuru kota ini,” kata Diouf menggambarkan tentang banyaknya jamaah haji asal Indonesia itu ,”jumlah mereka kira-kira 300.000 orang jika sudah berkumpul di sini semua saat haji nanti.”
Tepat ketika mereka mulai mengemasi alas kaki masing-masing di depan gerbang King Abdul Azis, satu rombongan besar berikutnya yang berbendera Cina ikut melintas menuju ke pintu lainnya, mungkin menuju babus salam atau entah pintu yg mana. Dan waktu itu rupanya sudah hampir menunjuk jam setengah dua saat bayangan mereka semua lenyap ke dalam gerbang besar itu.
Di sisi lain di kota Mekkah, Sayid dan Fatimah, sepasang suami istri yg sudah sepuh sedang berkemas untuk berangkat ke Haram dari penginapan mereka di ujung jalan Hijrah. Botol plastik kecil seukuran 350 ml sedang diisi dengan air dari dispenser oleh tangan kecil Fatimah. Sedangkan Sayid yang berdiri di dekatnya itu masih sibuk membenahi letak surbannya. Ia tak ingin udara dingin dari AC di dalam masjid nanti mengganggu kekhusyukan sholat malamnya.
“Kita nanti berjalan kaki atau naik bus sholawat saja?” Tanya Sayid memberi opsi kepada istrinya.
“Jam berapa to sekarang, bi?” Tanya Fatimah balik kepada Sayid, yang kemudian menjulurkan lengan kiri menunjukkan jam tangan di pergelangannya.
“Baru setengah dua to? jalan sajalah ya?” Fatimah menawar. Memang waktunya masih sangat longgar menuju shubuh di jam 5 pagi nanti. Sedangkan perjalanan dengan berjalan kaki hanya perlu waktu setengah jam dari penginapan mereka.
“Aku sih manut saja, Mi. Cuman agendanya pagi ini apa? Mau thawaf dulu sebelum shubuh, sebelum dhuha atau mau nanti sore saja?” Sayid belum memutuskan. Tangannya menyambut satu botol minum yang disodorkan Fatimah kepadanya, untuk dimasukkan ke dalam tas “rojokoyo”-nya.
“Aku nanti sore saja, bakdo ashar ya Bi.” Jawab Fatimah. “Pagi ini sholatul lail saja, sekalian aku pengin sholat tasbih. Biar ndak kesusu-susu.”
“Baiklah, aku sebenarnya pengin mencoba thawaf di lantai atap. Kata pak Mursyid kok lantainya yang utara sudah selesai dicor hingga bersambung dengan lantai yg segaris dengan rukun Yamani. Kemarin blok plastik pembatasnya juga sudah disingkirkan. Ya besok sajalah dicobanya.” Kata Sayid mengulang informasi dari pak Mursyid ketua regu mereka.
Fatimah hanya tersenyum mendengarnya. Ia paham betul akan sifat keingin tahuan suaminya itu, yg selalu ingin mencoba-coba hal yg baru di saat “eling” atau bersemangat, … namun kemudian bakal angin-anginan lagi kalo tidak ada yg mengingatkan atau menyemangati. Padahal, yang didengar Fatimah dari info pak Mursyid pula, satu putaran thawaf di lantai atap itu sama dengan tiga sampai empat kali putaran thawaf di lantai utama di bawah. Terbayang olehnya bagaimana siang nanti si suami bakal ribut meminta dipijiti karena capek kakinya bilamana saja jadi melakukan thawaf di lantai atap dini hari ini.
“Kok pakai sajadah yang itu, bi?” Tanya Fatimah saat melihat sajadah tebal yang digantungkan si suami di tas rojokoyo-nya. “Apa ndak jadi bawa sajadah yg dibeli pagi tadi?”
“Pakai ini saja kalau malam, biar gak kedinginan kena lantainya nanti.” Sayid menerangkan mengapa ia tetap memakai sajadah Turki yg tebal itu, sajadah yang dulu dihadiahi seorang kawan yg pulang haji. Kata kawannya itu, biar ia segera ketularan berhaji. Sayid hanya terkekeh bila mengingat itu, karena ia tahu di beberapa pasar di Surabaya pun gampang sekali ia jumpai sajadah yg sama dengan sajadah ini. Apalagi di pasar Turi dan di pasar Slompretan, tinggal pilih sesuai budget masing-masing.
“Nanti siang saja aku bawanya.” Sambung Sayid sambil memencet tombol lift untuk turun di tempat penginapan itu. Fatimah segera mengekor di belakangnya saat pintu lift terbuka di lantai lobby. Tangan kecilnya segera meraih lengan Sayid, untuk sedikit menahan langkah cepat suaminya itu. Dua insan sepuh ini pun mulai membelah jalan Hijrah, dalam tiupan angin yang masih berasa gerahnya, menyusuri sepanjang trotoar dan jalan pertokoan Misfalah, menuju ke Haram, dengan diterangi lampu-lampu jalan yang benderang.
Saat mentari mulai menampakkan semburat sinarnya di bukit-bukit batu di sekeliling Haram, langkah Fatimah ketika keluar dari pintu annisa no. 89 sedikit terhenti karena terhalang sosok-sosok lelaki yang tinggi besar yang masih berihram yang baru saja turun dari escalator di gerbang 91. Ia menahan dirinya sesaat, ketimbang kalah tenaga bertubrukan dengan jamaah tadi. Namun rupanya mereka sama-sama berhenti di bawah tiang lampu di depan gerbang 91. Di tempat yang sama yang dipakai sebagai gathering point dengan Sayid, suaminya. Fatimah agak kesulitan menebarkan pandangan saat mencari-cari bilamana sosok suaminya mungkin telah muncul di dekat situ.
Sosok-sosok lelaki besar yang tak lain adalah Pierre, David dan Sebastian itu masih saja menghalangi pandangan Fatimah, sehingga kecemasan dan kejengkelan mulai merasuki hati Fatimah. Namun ia segera menepisnya dengan cepat dalam kalimat istighfar.
“Astaghfirullohal adziim.” Fatimah terus berdzikir menenangkan hatinya. Ia berharap sang suami segera muncul di hadapannya.
Desis istighfar Fatimah rupanya terdengar juga di telinga Pierre. Ia menoleh kepada perempuan tua di dekatnya itu yang masih kesulitan melongokkan kepala karena terhalang tubuhnya dan rekan-rekannya yang lain. Demi membantu nenek ini, Pierre mengingsutkan badannya agak ke timur menjauhi si nenek sembari menarik pundak David dan Sebastian, sehingga pandangan Fatimah bisa lebih bebas lagi. Bola matanya melirik sajadah ungu yg cantik yang didekap sang nenek itu. Sebuah sajadah yg pasti tidak mengecewakan jika ia hadiahkan pada Marrion. Namun belum sempat ia bertanya di mana ia bisa mendapatkan sajadah yg sama seperti itu, seorang kakek datang menghampiri nenek itu, menggamit tangan sang nenek dan segera beranjak pergi. Mulut Pierre tak jadi bersuara untuk bertanya. Pandangannya terpaku pada sosok kakek-nenek yang asyik bergandengan menembus kerumunan kecil jamaah lainnya. Ada kegelian dan juga rasa iri dalam hatinya yg tiba-tiba muncul.
“Ah, seandainya itu adalah aku dan Marrion.” Ujarnya dalam hati.


Bagian 5


Langkah kaki Pierre bersama Sebastian semakin cepat saja, bahkan setengah berlari. Degupan jantungnya pun makin kencang saja. Bukan terengah-engah karena setengah berlari itu yang membuat degupnya makin kuat, namun lebih karena ketakutan mereka. Takut bilamana mereka tertinggal menunaikan jamaan ashar, sedangkan tadi mereka telah lalai dengan adzan yang sudah jelas mereka dengar. Sibuk dengan urusan belanja seusai jamaah jumat tadi.
“Allah hanya memanggil kita 3 kali dalam hidup ini,” ustad Abou Baker pernah mengingatkan hal yang penting tentang adzan itu. “Yang pertama adalah panggilan adzan, yang menyeru kita untuk bersegera sholat. Yang kedua adalah panggilan berhaji atau setidaknya berumroh bila mampu. Dan terakhir adalah panggilan saat kematian kita nantinya.”
“Adzan itu adalah panggilan Allah yang pertama. Panggilan ini sangat jelas terdengar di telinga kita, bahkan sangat kuat terdengar. Ketika kita sholat, sesungguhnya kita menjawab panggilan Allah. Tetapi Allah masih fleksibel, Dia tidak ‘cepat marah’ akan sikap kita. Kadang kita terlambat, bahkan tidak sholat sama sekali karena malas. Allah tidak marah seketika. Dia masih memberikan rahmat-Nya, masih memberikan kebahagiaan bagi umat-Nya, baik umat-Nya itu menjawab panggilan Adzan-Nya atau tidak. Allah hanya akan membalas umat-Nya ketika hari Kiamat nanti” tegas ustadz Abou Baker kembali.
Tak terasa air mata Pierre menitik dan mulai membasahi pipinya, saat kaki-kakinya mulai menapaki jalanan di bawah Menara Jam. Iqomah sudah mulai dikumandangkan, mereka tak bisa mengejar tempat di dalam lingkungan masjid Al Haram. Mau tidak mau, mereka harus bergabung dengan jamaah lain yang mulai menggelar sajadah mereka di trotoar atau selasar pertokoan di bawah Menara Jam itu. Tak memungkinkan menerobos jamaah yang sudah mulai berhenti berjalan itu. Dzalim malah lebih dekat dengan mereka jika tetap menerobosnya.
“Kamu masih punya wudhu?” tanya Sebastian kepadanya.
“Entahlah, … kamu sendiri bagaimana?” Pierre balik bertanya.
“Aku belum batal. Ini pakailah untuk berwudhu.” jawab Sebastian sembari mengulurkan botol minum kepada Pierre. “Basuh secukupnya saja.” pesan Sebastian menyambungkan. Pandangannya sambil menyapu ke arah yang lebih layak untuk mereka sholat, saat Pierre memulai wudhunya di pinggir trotoar di depan toko roti Broast. Kumandang iqomah sudah hampir berakhir, namun mereka masih belum bersiap pula di dalam barisan sholat.
Seorang laki-laki tua dengan jenggot yang disemir merah, umumnya jamaah haji dari Bangladesh memakai pewarna dari tumbuh-tumbuhan untuk menyemir rambut, kumis dan jenggot mereka, tampak melambaikan tangan mengajak mereka merapat ke shaf yang telah disusun laki-laki tua itu bersama dua jamaah yang lain. Sebastian segera merapatkan diri, berniat dan segera bertakbiratul ikrom. Pierre segera menyusul di sebelah kanannya.
Tanpa alas sajadah sama sekali, Pierre merasakan sengatan panas ketika paving trotoar itu bersentuhan dengan dahi pada setiap sujudnya. Ya, walaupun sudah masuk waktu ashar pun, tempat berpijak mereka saat itu masih cukup mendapat terik sinar matahari. Apalagi suhu udara Makkah saat ini bisa mencapai 45 sampai 47 derajat Celcius. Maka tak ayal kemudian, Pierre pun menangis terisak-isak dalam sholatnya. Di dalam hatinya terus berdzikir beristighfar memohon ampun atas kesalahannya melalaikan panggilan sholat ashar tadi. Ia merasa Allah sedang menghukumnya saat itu juga. Air wudhu sudah tak berbekas sama sekali di kulitnya saking panasnya pavement di sore itu.
“Ini masih ashar saja sepanas ini, bagaimana kalo ini waktu dhuhur? Terima kasih ya Allah, aku ikhlas Engkau hukum seperti ini. Aku lalai ya Allah, ampunilah aku. Sayangilah aku ya Allah!” jerit dalam hatinya berulang-ulang seperti gemuruh ombak yang bergulung-gulung tiada usai dan memecah di tepi pantai saja. Isak tangisnya masih susul menyusul, bahkan hingga jamaah fardhu selesai berganti dengan ajakan muadzin berjamaah berikutnya untuk shalat jenazah. Di Al Haram, hampir setiap usai jamaah fardlu selalu disusul dengan sholat jenazah.
“Lain kali atur waktu dan rencana lebih baik lagi. Malu aku kalau tertinggal seperti ini.” gerutu Pierre pada dirinya sendiri setelah jamaah ramai mulai berdiri dan bubar. Sesekali tangannya berusaha menyeka mata dan pipinya. Sebastian yang mendengarnya hanya tersenyum. Ia pun juga mahfum akan gerutuan sahabatnya itu.
Sebenarnya rancangan mereka tadi sudah cukup baik. Jam satu seusai jamaah jumat, mereka segera bergegas ke arah pertokoan di distrik Misfalah selatan Al Haram. Harapannya mereka punya cukup waktu sekitar dua setengah jam sebelum masuk waktu ashar, untuk berbelanja atau setidaknya survey barang di Misfalah sana. Itu sudah cukup dengan bolak-baliknya juga, semestinya. Namun naasnya, mereka tak menyadari bahwa bubaran jamaah jum’ah dari Haram menuju Misfalah, sebagaimana juga ke arah Jarwal dan Aziziah, merupakan perjuangan menembus rapatnya manusia yang seolah berbaris dalam gerakan perlahan. Sehingga jarak pertokoan yang tak lebih jauh dari setengah mil itu pun baru bisa mereka jangkau dalam waktu setengah jam pula.
Ditambah lagi akibat tersesat arah karena belum pernah melancong sama sekali ke daerah itu. Mereka sempat berbelok ke kanan ke arah Bakhutmah, karena jalannya yang tampak lebih besar dan lebih banyak pula jamaah yang berbelok ke arah itu.
Meskipun semalaman mereka sudah banyak bertanya kepada Diouf, petugas hotel Le Meridien tempat mereka menginap dan yang dulu bertugas mendampingi umroh awal mereka, namun karena tak dilanjutkan dengan melihat ke lokasi langsung, akhirnya mereka tersesat juga. Sebenarnya pula, hotel Le Meridien sangat dekat dengan blok pertokoan ini, karena Le Meridien di sebelah timur bukit Misfalah, dan pertokoan di sebelah baratnya. Hanya saja itu harus ditempuhi dari terowongan yg juga rutin dilalui bus Saptco pada arah pulangnya dari Menara Jam.
Apesnya bagi mereka berdua, bahasa Inggris keduanya tak begitu fasih, didukung aksen perancis mereka yang sengau, membuat percakapan mereka dengan orang-orang yang mereka jumpai cukup menyulitkan untuk saling paham. Bangsa Arab, India, Asia Timur maupun rumpun Melayu yang banyak mereka temui di distrik pertokoan itu semuanya kesulitan bercakap-cakap dengan mereka.
Nasib baiknya, setelah sempat berputar-putar tak tentu arah di daerah pertokoan itu, hingga sempat kebablasan di bawah fly over tempat pembagian halalan dari Raja Arab, akhirnya mereka berjumpa dengan seorang pemuda asal Indonesia yang bisa berbahasa Perancis pula di seputaran kios buah. Pemuda itu bahkan rela menemani mereka mencari-cari toko dan barang yang sedang mereka tuju.
Sebenarnya, Pierre ingin membeli sajadah berwarna ungu yang tampak cantik saat dilihatnya beberapa hari sebelumnya. Sajadah Turki yang dipegang oleh Fatimah, seorang nenek dari Indonesia pula. Ia sempat mencari di toko-toko di dalam Menara Jam, namun tak ditemuinya sajadah yg sama dengan milik nenek dari Indonesia itu. Sekarang kebetulan ada seorang Indonesia yang menemaninya, ia pikir pemuda Indonesia itupun tahu pasti letak toko yang menjual sajadah yang sama persis dengan milik nenek tersebut. Sayangnya, walaupun pemuda yang menemani mereka itu pemuda Indonesia, dan pertokoan Misfalah juga merupakan pusat perdagangan karpet, sajadah, kain dan pakaian yang sangat lengkap di Mekkah, akan tetapi bahkan ketika adzan ashar mulai berkumandang pun mereka belum pula menjumpai sajadah yang diidam-idamkan itu. Banyak pilihan sajadah, namun belum sama dengan yg diinginkan Pierre.
Usai bangkit dari trotoar tempat sholat tadi, mereka mulai menepi dan meneruskan berjalan ke arah serambi Al Haram. Proritas mereka saat ini untuk merampungkan jamaah maghrib dan isya di dalam masjid dulu, rencananya di lantai atas bergabung dengan rombongan mereka yang lain yang dipimpin Abdullah. Mereka sudah saling berjanji untuk bertemu di depan gerbang no. 91, di bawah tiang lampu terdekat. Urusan belanja belakangan saja. Nyali mereka betul-betul ciut jika sampai tak bisa berjamaah dengan baik seperti tadi, apalagi bila sampai terlewatkan jamaahnya. Langkah mereka sempat terhambat kerumunan orang yang mulai memesan makanan di toko roti yang mulai buka kembali. Semua toko memang menutup counternya saat jamaah fardlu, bahkan semua staffnya pun ikut bergabung berjamaah di trotoar atau selasar di depan tokonya masing-masing. Begitu jamaah usai, aktivitas dagang pun dimulai kembali. Seperti halnya toko roti itu tadi.
Jelang pukul lima sore, di dalam masjid Al Haram, Sayid mulai terkantuk-kantuk saat mendarus Al Quran-nya. Ia terpaksa harus mengulangi bacaannya dari ujung atas halaman bilamana terlewatkan ayat mana dia terakhir kali membaca sebelum akhirnya terkantuk-kantuk lagi. Selepas ashar memang waktu yang paling berat baginya. Di waktu yang lain, ia bisa bebas bergerak sehingga tidak sampai mengantuk dengan menunaikan sholat-sholat sunnah, selain pilihan mendarus Al Quran. Namun jika lepas ashar, tak ada pilihan lain selain mendarus Al Quran. Ada pula pilihan untuk tidur-tiduran saja di sini, atau malah sekalian thawaf di bawah sana. Ia tak sampai hati untuk merebahkan diri beristirahat sejenak seperti beberapa jamaah yang lain di dekat situ. Khawatir jika betul-betul tertidur, dan harus mengulang wudhu di saat yang sudah dekat dengan adzan, karena ia tak sanggup untuk bolak-balik dari tempat wudhu di serambi masjid di bawah sana dan kembali ke lantai tiga ini. Oleh karenanya, wudhunya betul-betul dijaga agar tak sampai batal bila sudah tinggal setengah jam dari waktu adzan. Untuk ke kamar kecil di bawah tanah serambi sana, biasanya hanya dilakukannya bila sudah persis selesai jamaah fardhu. Waktunya akan sangat longgar. Bahkan cukup pula waktu untuk memesan segelas teh susu dan sekotak kentang goreng di toko roti sana.
Beberapa rekan memang ada pula yang berwudhu di tempat kran air zamzam. Namun baginya untuk menyia-nyiakan zamzam seperti itu bila tidak terpaksa dan mendesak betul merupakan satu hal yang berat. Malu sekali rasanya kepada Allah bila ia harus berbuat berlebihan seperti itu. Demi mencegah kantuknya, sebotol sprayer yg telah diisi air dari kamar penginapan disemprotkannya guna membasahi dan membasuh wajahnya. Percikan air itu cukup menyejukkan kulitnya di saat udara Al Haram mulai kering dan panas seperti sore ini. Hatinya mulai menimang-nimang, apakah dia sebaiknya turun ke lokasi thawaf di bawah sana atau dia akan tetap duduk di sini saja sambil menahan kantuknya. Belum selesai ia menimang-nimang, tiba-tiba bahunya disergap oleh tangan yang cukup kuat milik pak Mursyid, ketua regunya.
“Mbah Sayid di sini rupanya.” pak Mursyid atau rekan-rekan yang lain lebih akrab memanggilnya pak Karu membuka percakapan. “Dengan siapa di sini Mbah?”
“Enggih Mas, cuma sendirian. Tadi dengan pak Tono dan pak Mochtar waktu jumatan. Trus, mereka pamitan makan siang kok belum balik lagi ke sini. Mungkin pindah di tempat lain. Kebetulan ada Njenengan di sini sekarang, saya nggak jadi ngantuk. Hehehe” jawab Sayid menimpali pertanyaan pak Karu.
Pak Karu cuman ikut terkekeh mendengarnya. “Lha mbok dipakai tadarusan, ketimbang ngantuk, mbah!”
“Sampun, Mas. Dapat lima klebet, mata saya sudah minta merem terus. Klira-kliru wae ini tadi, mesti ngulangi dari atas lagi di halaman terakhirnya. Saya nyerah wis, ga kuat.” terang Sayid.
Tak berselang lama obrolan mereka mulai berganti tema. Dari membicarakan sisi barat bangunan di Haram yang terus dikebut penyelesaiannya, berganti kabar bu Tutik salah satu jamaah rombongan mereka yang pagi tadi harus dilarikan ke rumah sakit, terus persiapan ke Armina dalam waktu dekat, hingga tentang cara menembus rapatnya barisan thawaf di seputaran Hajar Aswad, Multazam dan Hijir Ismail.
“Njenengan sudah bisa sampai di sana semuanya, mbah?” tanya pak Mursyid yang dijawab dengan gelengan pelan Sayid.
“Belum, Mas. Dua kali saya coba mepet ke sana, kalah kuat dengan jamaah-jamaah lain. Saya kalau harus rebutan begitu nggak bisa, Mas. Saya takut dzolim.” jawab Sayid lirih. Pandangan matanya menatap lekat ke arah Multazam Ka’bah, yang berada di antara hajar aswad dan pintu Ka’bah. Sinar matanya masih memancar seperti menegaskan api harapannya untuk dapat menggapai Hajar Aswad dan Multazam, sekaligus sholat sunnah di Hijir Ismail.
“Habis maghrib nanti turun ke sana bareng saya nopo pripun, mbah? Kita coba lagi, siapa tau Gusti Allah paring gampil semuanya” pak Mursyid mengajak thawaf selepas jamaah maghrib. Sayid menoleh dan menatap erat ke wajah Mursyid seolah-olah berharap tidak salah dengar.
“Bakdo maghrib itu pas padat-padatnya lho Mas.” ada keraguan terbersit dalam jawabannya.
“Sepertinya begitu, mbah. Asalkan niat kita kuat, insya Allah diparingi gampil.” Mursyid menyemangati kembali. Tak berselang lama, adzan maghrib berkumandang menghentikan percakapan mereka. Keduanya pun mulai bersiap merentangkan sajadah mereka kembali.
Di saat bersamaan dengan Sayid dan Mursyid menggelar sajadahnya, serombongan orang yang tinggi besar menyeruak menembus ke shaf-shaf terdepan. Sayid beringsut merapatkan barisannya dengan Mursyid, untuk memberi ruang yang lebih lapang kepada jamaah lain yang terdesak oleh rombongan yang baru datang tadi.
Di ujung belakang rombongan tadi tampak tergopoh-gopoh Pierre bersama beberapa rekannya yang lain, tampaknya ia cukup terhambat untuk mencapai shaf di lantai 3 ini bersama rekan-rekan satu rombongan yang telah bertemu di depan gerbang masjid ini. Pierre ikut menyusul menerobos barisan sholat yang tampak agak longgar setelah didesak rombongan di depannya. Kebetulan sekali lokasi barisan yang mereka tuju di depannya sudah penuh, sehingga sebagian yang lain terpaksa mundur kembali. Demikian pula dengan Pierre dan kawan-kawannya, terpaksa membuat shaf yang benar-benar baru di antara shaf depan yg telah penuh dan shaf Sayid di belakangnya yang juga telah penuh, karena tidak kebagian barisan. Bahkan kakinya saat ini berpijak di bagian atas sajadah milik Sayid. Ia gugup menemui dirinya berada di tempat yang “salah” ini. Konsentrasinya jadi kacau, bahkan keringatnya mulai menitik di dalam udara yang kering di dalam masjid Al Haram ini.
Sayid demi menemui tempat sholatnya menyempit tinggal kurang dari 3/4 panjang sajadahnya saja, hanya melafadzkan istighfar secara beruntun, sambil menegaskan keyakinan dalam hatinya seperti yang telah dialami sebelumnya.
“Tidak ada tempat sempit di dalam masjid Allah ini. Semuanya tamu Allah, akan dijamu Allah dengan sebaik-baiknya pula.” Demikian ia menegaskan dalam tekadnya. Memang sebelumnya, beberapa kali ketika berada di shaf depan, ia sempat mengalami harus terdesak oleh beberapa jamaah yg memaksa mendapatkan tempat sholat. Namun ia dengan segala keyakinannya akan kebesaran Allah yang menjadikan dirinya tamu Allah, masih bisa melaksanakan sholat tanpa merasa kesempitannya sama sekali.
Bahkan saat ini, ketika nampak olehnya gerak-gerik kegugupan jamaah di depannya, yang muncul justru rasa kasihan di dalam batinnya kepada jamaah itu. Sholat maghrib telah dimulai, hati dan pikiran Sayid mulai ia pusatkan sepenuh-penuhnya utk menghadapkan wajahnya hanya kepada Allah. Dia seolah telah mendapati dirinya di antara jutaan jamaah yg bersama-sama rukuk dan sujud, membentuk suatu barisan yg begitu indah dan rapi dalam padang hijau yang sedemikian luasnya.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar” kalimat itu terus mengalir dalam benaknya hingga usai bersalam. Allah Maha Besar, dan dia sangat kecil dalam pandangan itu. Ruang yang semula sempit di sekitarnya tadi betul-betul menjadi lebar selebar-lebarnya. Sekali lagi, Sayid mengalaminya di dalam Al Haram ini, dalam lingkup yang semestinya dia kesulitan bergerak, apalagi untuk bersujud, ternyata badan dan kepalanya begitu bebas dalam lingkup yang sesungguhnya hanya lebih sedikit panjang dari separuh sajadahnya itu. Air matanya terus berderai demi menyadari kebesaran kuasa Allah ini.
Usai bersalam, Sayid bergegas menyusulinya dengan sholat rawatib sebelum sholat jenazah dimulai. Pierre diam tak bergerak dalam duduknya, karena ia belum bisa menyibak separuh sajadah yang didudukinya. Pemilik sajadah di belakangnya cepat sekali dalam menyambungkan sholat demi sholat.
“Hei, sajadah ini sajadah yang kucari-cari tadi!” Pekik dalam hatinya girang demi mengetahui sajadah ungu yang didudukinya ini sama persis dengan sajadah yang diburunya tadi.
“Aku akan segera minta maaf, sekaligus cari tahu di mana kakek ini mendapatkannya.” Rencana itu begitu saja mengalir dalam benak Pierre, diikuti dengan bayangan wajah penuh senyuman Marrion yg bahagia menerima hadiahnya ini, sebelum kemudian bayangan itu terbuyarkan oleh tangan Sebastian yg meraih pundaknya, mengajak untuk segera bangkit berdiri menyisih dari sajadah yang dipijaknya.
Saat Pierre menoleh ke belakang kemudian, didapatinya kakek di belakangnya telah selesai melipat sajadah ungunya dengan rapi. Tak lama kemudian pandangan kedua insan ini saling beradu, dan disusul tangan kiri sang kakek yang meraih tangan kanan Pierre. Sayid menyodorkan sajadah ungu itu kepada Pierre sambil berkata, “Ini sajadahmu, Nak!”
Pierre hanya terbengong saja ketika tangan kirinya pun didekapkan ke sajadah itu oleh tangan kanan Sayid. Ia tak bisa berkata-kata ketika telunjuk Sayid menuding-nuding sajadah itu dan dada Pierre, seolah menegaskan bahwa sajadah itu benar-benar diberikan kepadanya. Ia masih terpaku terharu mendapati kebaikan hati sang kakek tersebut, yang mana tak marah sedikit pun akibat sajadahnya terinjak oleh Pierre, melainkan malah dengan penuh senyuman dan rasa senang hati menghadiahkan sajadah ungu yang diidam-idamkannya itu.
Udara di lantai satu seputar Ka’bah terasa sangat sejuk bagi Sayid yg sedang menuruni anak-anak tangga dari lantai dua bersama Mursyid untuk mulai melaksanakan thawaf. Kerumunan jamaah yang sedang berthawaf itu seolah tersibak membentangkan jalan memberi ruang bagi keduanya. Dalam dua putaran thawaf saja, Sayid mendapati dirinya telah berada di depan hajar Aswad, dan sejenak berikutnya telah berada di bawah Multazam tanpa bersusah payah ataupun saling berdesakan dengan jamaah lain.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!” Sayid mulai melafadzkan doa dan puji syukurnya kepada Sang Khalik di bawah Multazam itu. Kakinya terus merambat ringan di antara ribuan jamaah yang ada di sekitarnya hingga Mursyid menepuk pundaknya untuk beralih berganti dengan jamaah lain di dalam lingkup Hijir Ismail itu.
Di tempat lain di lantai tiga Al Haram tadi, Pierre menjalankan sholat-sholat sunnah dengan penuh kesyukurannya di atas sajadah “baru”-nya itu. Ia merasakan Allah sebegitu dekat dengan dirinya, seolah memeluk dirinya dengan penuh kasih sayang dan kehangatan. Rakaat demi rakaat terus dia sambungkan. Entah sholat apa yang dilakukannya, yang terutama tersembul bulat dalam hatinya adalah niat syukurnya atas segala karunia Allah kepadanya selama ini. Pierre, sang mualaf, menemukan dirinya berada di sebuah jalan yang sangat terang benderang namun tiada menyilaukan.