Minggu, 30 April 2017

Kepiting dan Sang Pemimpin

Suatu ketika di pagi hari yang sejuk, nampak seorang  muda sedang bermeditasi di bawah pohon, tidak jauh dari tepi sungai.

Saat sedang berkonsentrasi memusatkan pikiran, tiba-tiba perhatian orang muda itu terpecah kala mendengarkan gemericik air yang terdengar tidak beraturan.

Perlahan-lahan, ia kemudian membuka matanya...

Dan segera melihat ke arah tepi sungai, sumber suara tadi berasal.

Ternyata, di sana nampak seekor kepiting yang sedang berusaha keras mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meraih tepian sungai sehingga tidak hanyut oleh arus sungai yang deras.


Melihat hal itu, merasa kasihan. Ia segera mengulurkan tangannya ke arah kepiting untuk membantunya.

Melihat tangan terjulur,dengan sigap kepiting menjepit jari si orang muda.

Meskipun jarinya terluka karena jepitan capit kepiting, tetapi hati nya itu puas karena bisa menyelamatkan si kepiting.

Kemudian, dia pun melanjutkan kembali meditasinya.

Belum lama bersila dan mulai memejamkan mata, terdengar lagi bunyi suara yang sama dari arah tepi sungai.

Ternyata kepiting tadi mengalami kejadian yang sama.

Maka, ia kembali mengulurkan tangannya dan membiarkan jarinya dicapit oleh kepiting demi membantunya.

Selesai membantu untuk kali kedua, ternyata kepiting terseret aruslagi.

Maka, pemuda itu menolongnya kembali sehingga jari tangannya makin membengkak karena jepitan capit kepiting.

Melihat kejadian itu, ada seorang tua yang kemudian datang menghampiri dan menegur-nya,

“Anak muda, perbuatanmu menolong adalah cerminan hatimu yang baik.

Tetapi, mengapa demi menolong seekor kepiting, engkau membiarkan capit kepiting melukaimu hingga sobek seperti itu?”

“Paman, seekor kepiting memang menggunakan capitnya untuk memegang benda.
Dan saya sedang melatih mengembangkan rasa belas kasih.

Maka, saya tidak mempermasalahkan jari tangan ini terluka asalkan bisa menolong nyawa mahluk lain, walaupun itu hanya seekor kepiting,”

jawab si muda.dengan kepuasan hati karena telah melatih sikap belas kasihnya dengan baik.

Mendengar jawaban si muda, kemudian orang tua itu memungut sebuah ranting.

Ia lantas mengulurkan ranting ke arah kepiting yang terlihat kembali melawan arus sungai.

Segera, si kepiting menangkap ranting itu dengan capitnya.”

“Lihat, Anak muda...
Melatih mengembangkan sikap belas kasih memang baik,tetapi harus pula disertai dengan kebijaksanaan.

Bila tujuan kita baik, yakni untuk menolong mahluk lain, tidak harus dengan cara mengorbankan diri sendiri.

Ranting pun bisa kita manfaatkan, bukan?”

Seketika itu, si pemuda tersadar. “Terima kasih, Paman.

Hari ini saya belajar sesuatu. Mengembangkan cinta kasih harus disertai dengan kebijaksanaan.

Di kemudian hari, saya akan selalu ingat kebijaksanaan yang paman ajarkan.”

Mempunyai sifat belas kasih, mau memperhatikan dan menolong orang lain adalah perbuatan mulia, entah perhatian itu kita berikan kepada anak kita, orang tua, sanak saudara, teman, atau kepada siapa pun.

Tetapi, kalau cara kita salah, seringkali perhatian atau bantuan yang kita berikan bukannya
menyelesaikan masalah, namun justru bisa menjadi bumerang.

Kita yang tadinya tidak tahu apa-apa dan hanya sekadar berniat membantu, malah harus menanggung beban dan kerugian yang tidak perlu.

Karena itu, adanya niat dan tindakan berbuat baik, seharusnya diberikan dengan cara yang tepat dan bijak.

Dengan begitu, bantuan itu nantinya tidak hanya akan berdampak positif bagi yang dibantu, tetapi sekaligus
membahagiakan dan membawa kebaikan pula bagi kita yang membantu...

Jumat, 28 April 2017

Cikal bakal rumah sakit Gatoel

ZEIKENHUIS ESCHAUZIERFABRIKEN

(Cikal bakal rumah sakit Gatoel)

Tanggal 4 April 1930, sebuah rumah sakit diresmikan di Mojokerto. Fasilitas kesehatan yang terhitung modern itu dinamakan Eschauzierfabriken Ziekenhuis atau Rumah Sakit Pabrik (Gula) Eschauzier. Namun karena letaknya ada di Gatoelweg alias Jl. Gatoel, maka orang lebih mengenalnya sebagai Rumah Sakit Gatoel.

Sesuai dengan namanya, rumah sakit itu dikhususkan melayani para pegawai pabrik yang dimiliki oleh Eschauzier. Selaku Suikerbaron utawa Juragan Gula, keluarga Eschauzier memang memiliki banyak pabrik gula, sebagian besar ada di wilayah Mojokerto. Pabrik yang terbesar adalah SF Brangkal, Dinojo, Sentanen Lor dan Ketanen. Tentu ada ribuan orang terlibat dalam proses produksi gula yang harus dijaga kesehatannya oleh sang taipan tersebut.

Untuk pertama kalinya, Zeikenhuis Eschauzier ada dalam pengawasan Prof. Rodenwaldt dari Dienst der Assaineering, dinas urusan kebersihan. Keterlibatan pejabat dengan gelar akademis tinggi itu menunjukkan keseriusan pemiliknya dalam membangun fasilitas kesehatan yang dibuat tersebut.

Fasilitas kesehatan di Gatoel itu sepertinya merupakan pengembangan dari sebuah klinik yang sudah ada. Setidaknya sejak tahun 1927 sudah ada polikliniek Gatoel yang dimiliki oleh Eschauzier tersebut. Karena banyaknya pasien yang harus ditangani maka dibutuhkan perangkat yang lebih dari poliklinik.

Pelayanan kesehatan di Gatoel tentu pasti lebih banyak diakses oleh orang asing. Tercatan 10 persen dari penduduk Mojokerto yang jumlahnya 400 ribuan merupakan orang Eropa dan orang China. 1.600 orang Eropa yang ada di Mojokerto mayoritas bekerja dalam industri gula. Orang china setidaknya ada 4.500 yang banyak beraktifitas pada sektor perdagangan. Kedua golongan itu yang banyak dilayani oleh Ziekenhuis Eschauzier. Mereka yang berobat juga datang dari wilayah Jombang.



Selain mendirikan Ziekenhuis Gatoel, juga membuat beberapa polikliniek seperti polikliniek yang ada di dekat Pabrik Ketanen Kutorejo. Eschauzier yang menganut agama Katolik Roma juga membangun rumah sakit di Surabaya. Rumah sakit yang terletak tidak jauh dari rumahnya itu dinamakan Rooms Katholiek Ziekenhuis yang disingkat RKZ. Nama RKZ masih dikenal hingga kini.

Pada masa revolusi, RS Gatoel diambilalih oleh republik. Saat Mojokerto menjadi pusat pengungsian, peralatan kesehatan yang ada ditingkatkan dengan memakai peralatan kesehatan milik RS Simpang. Peralatan itu diungsikan ketika kota Surabaya tidak bisa dipertahankan lagi. Selain itu juga ikut dibawa semua obat-obatan yang ada di RS Simpang tersebut. RS Gatoel kemudian dijadikan sebagai rumah sakit divisi IV Narotama pimpinan Kolonel Sungkono yang bermarkas di Mojokerto

Karena banyaknya korban pertempuran yang harus dirawat, kamar rawat inap tidak mencukupi lagi. Dokter melayani pasien dengan memanfaatkan lorong dan teras yang ada disana. Kebanyakan pasien mengalami luka atau patah tulang.

Pada pertengahan Maret 1947, rumah sakit itu diduduki oleh tentara Belanda. Saat Belanda masuk, kondisi rumah sakit sedang penuh oleh pasien yang dirawat-inapkan. Para tenaga medis tidak sempat mengungsikan pasien yang kebanyakan adalah pejuang. Beberapa orang tua menyebutkan bila tentara Belanda kemudian membunuh sebagian dari pejuang tersebut. Tentara Belanda lalu mengubur jasad mereka dalam liang besar yang digali di belakang rumah sakit itu.

Setelah kemerdekaan, tampaknya fasilitas kesehatan Eschauzier itu dibagi dua. Sebagian tetap digunakan oleh TNI dan sebagian dikembalikan pada pihak PN Perkebunan selaku penguasa aset perusahaan perkebunan bekas milik orang Belanda. TNI mendirikan rumah sakit yang dinamakan Hoediono Singgih. Pihak perkebunan mengembangakan bekas rumah sakit yang menjadi bagiannya menjadi RS Gatoel.

Copas dari tulisan sejarawan Mojokerto Bapak Ayuhan Nafiq yg juga menjabat sebagai Ketua KPU Kab Mojokerto