Selasa, 30 Desember 2014

Bakul Tepo vs Bakul Bakso


Suatu hari saat dalam perjalanan pulang ke rumah ibu saya, kami singgah sebentar di SPBU seputar Caruban Madiun. Agenda utamanya sih ke toilet, maklumlah cewek-cewek yang bersama dalam perjalanan saya ini nggak betah-betah banget kalau jalan 1-2 jam tanpa mampir toilet. Syukurlah SPBU di Indonesia ini rata2 cukup komplit, karena selain pom BBM-nya, juga ada toilet, mushola, dan toko, sehingga tak susah2 amat kalo ada hajat hidup yg harus ditunaikan.

Seperti halnya SPBU yg kami singgahi kali ini pun juga komplit demikian, plus pedagang yg "nunut" buka lapak utk jualan jeruk, bakso, penthol dan tepo (tepo ini semacam lontong, khas madiun dan sekitarnya, bentuk bungkusnya segitiga, tidak silinder. Tapi isi, rasa dan daun pisang utk bungkusnya pun sama dengan lontong. Biasanya sbg paduan makan pecel khas madiun dalam porsi kecil).

Selepas menunaikan keperluan, saya tertarik dengan tepo plus ote-ote yg kebetulan dijajakan seorang nenek sepuh di sebelah toko SPBU tsb. Jadilah saya mampir ke beliau untuk membeli tepo tsb. Cukup murah karena sebungkusnya cuman 1.500 rupiah. Namun saya perlu dua bungkus utk benar2 bisa mengatakan pujian "mak nyuuuus" ala pak Bondan, "̮ ƗƗɐƗƗɐƗƗɐƗƗɐƗƗɐƗƗɐ"̮

Selagi saya menikmati bungkusan yg pertama, obrolan saya dg nenek bakul tepo ini pun dimulai. Berawal dari asal rumah beliau, siapa yg memasak tepo tsb, sampai kemudian beliau memberi nasehat yg menarik bagi saya.

"Le, le ... Ojo tuku ning bakul bakso sing kuwi. Mendhing sing ngarep toko kae wae. (Jangan beli ke penjual bakso yang itu, mendingan yg di depan toko itu saja)" begitu kata beliau sambil menunjuk bakul bakso yg dimaksud.

"Kenapa Mbah?" Tanya saya

"Wonge kuwi nyrandu (orangnya itu galak)!" Jawab beliau.

Saya pun tertawa terkekeh mendengar jawaban beliau, kemudian bertanya lagi, "Apa njenengan juga digalaki to Mbah?"

Kemudian beliau menceritakan pengalaman pahitnya ketika sekali-kalinya beli bakso ke pedagang yg dimaksud yg ternyata tidak diperlakukan sbg konsumen semestinya (ingat kan, "Customer is a King/Queen"), bahkan "digalaki" tadi.

Hanya sekali saja tindakan itu terjadi, dan seolah-olah hanya kepada konsumen dari kalangan yg kurang berarti, namun efeknya luar biasa kepada pemasarannya di kemudian hari.

"Saben tiyang tumbas nopo nggih njenengan critani ngaten to Mbah (setiap pembeli apakah Anda beritahu seperti ini)?" Tanya saya yang diiyakan oleh beliau.

Dan benar memang saya lihat pedagang bakso tsb sepi-sepi saja, kalah ramai dengan pedagang bakso yg di depan toko seperti yg ditunjukkan nenek ini tadi.

Bisa dibayangkan saja, jika setiap hari dari mulut nenek tsb menginformasikan "black campaign" ke minimal 10 pembelinya, sungguh menjadi kampanye efektif utk mematikan pemasaran pedagang bakso tsb.

Pesan moral yang bisa kita ambil, bahwa satu perbuatan baik/buruk kita kepada orang lain, dapat memberi efek lanjut yg lebih besar sebagai balasan perbuatan tsb, baik langsung maupun tidak langsung, shg tidak semestinya kita memperlakukan seseorang (siapa pun mereka) dengan cara merendahkannya. Puji atau hormatilah mereka, shg martabat mereka lebih terjaga atau bahkan lebih Anda muliakan.


Selamat pagi Kawan, selamat berlibur puuuuaanjang!

Nganjuk, 24 Mei 2014