Selasa, 30 Desember 2014

Sajadah Milik Pierre (Bagian 3)

"Sebaiknya selama di sini kita pakai sim card lokal saja untuk komunikasi di antara rombongan kita. Banyak operator lokal yang bagus dan murah di sini. Nanti kita urus setibanya di hotel di Mekkah. Sekarang jangan aktifkan dulu ponsel kalian. Berhematlah. Siapkan saja pasport masing-masing!" Saran Abdullah kepada rekan2 satu rombongannya, sambil mengemasi tas kecil tempat pasport dan gadgetnya setelah ada informasi pendaratan dari pilot pesawat Airbus mereka. Sebagai ketua rombongan yg membawahi 49 rekan lainnya, Abdullah cukup ceriwis dalam mengingatkan apa-apa yg harus dan akan dilakukan oleh rombongan mereka. Kebetulan ia sudah pernah berhaji tujuh tahun yg lalu. Dan sekarang saat ia ingin berhaji yang kedua kalinya, pemilik tour haji menunjuknya sebagai leader 49 rekannya yg lain.

Airbus milik Saudi Arabian Airlines penerbangan dari Paris baru saja mendarat di bandara King Abdul Azis International Airport (KAIA), mengantarkan sekitar 470 calon jamaah haji dari total sekitar 30.000 jamaah Perancis tahun ini, ketika adzan isya' pada hampir pukul delapan malam itu mulai berkumandang bersahutan di langit Jeddah yang cerah.

Sebenarnya pesawat tsb berangkat dari bandara Charles de Gaulle sebelum dhuhur, pada pukul 11.10 waktu Paris, dan lama penerbangannya pun hanya 6 jam kurang. Namun karena Jeddah dan Paris berselisih 2 jam, di mana waktu Jeddah lebih awal, maka akhirnya Abdullah dkk pun baru tiba di KAIA pada isya' ini. Hanya terlambat 5 menit dari yang dijadwalkan.

Pierre, salah satu anggota rombongan Abdullah yang duduk tepat di dua baris belakang dari kursi Abdullah tampak gelisah. Dia duduk di sisi gang way bersebelahan dengan dua sahabatnya, David dan Sebastian. Pierre berulang kali berusaha melongok ke jendela, yang mana hanya terlihat olehnya hamparan tanah yg gelap dengan temaram lampu landas pacu.

"Ada masalah, Pierre?" Tanya David yg duduk tepat di samping jendela tempat Pierre berulang kali melongok keluar. David menangkap kecemasan di wajah Pierre tersebut.

"Ya, bagaimana ya ... Akhirnya kita tiba di sini, dan hatiku makin kacau saja." Jawaban Pierre mengambang.

David hanya tersenyum saja karena ia paham dengan kegelisahan Pierre itu. Dia pun paham apa yg ada dalam benak dan pikiran Pierre saat ini, karena David dan Pierre sama-sama seorang muallaf. Hanya kebetulan David sudah hampir genap setahun menjadi muslim. Sedangkan Pierre baru sekitar lima bulan yang lalu mengikrarkan dua kalimat syahadatnya. Kalau Sebastian sebenarnya sudah lima tahun jadi muslimin, tapi tetek bengek urusan agama pun dia masih belum pede juga. Oleh karena itu, kecemasan ini pun wajar saja muncul setiap saat dalam benak mereka. Terlebih perjalanan haji mereka kali ini bisa dikatakan sebagai satu keajaiban saja.

Dalam kondisi keislaman dan keimanan yg belum kuat benar, dua bulan yang lalu tiba-tiba mereka bertiga disodori ajakan berhaji oleh Syaih Rozaq Boubaker, seorang ulama besar sekaligus pejabat puncak di kantor walikota Paris, saat mereka bertemu sang Syaih ketika singgah sembahyang jamaah ashar di masjid dekat kantor walikota. Jangankan untuk memiliki keberanian pergi berhaji, bahkan nyali untuk sholat sendirian saja mereka masih ragu ... Takut jika sholat mereka salah dan tak diterima Alloh, sehingga amalan mereka nihil lagi, tak jauh beda dg amalan mereka saat belum jadi muslim. Maklum saja mereka belum hapal betul gerakan dan doa bacaan dalam sholat. Sedangkan saat ini mereka sebentar lagi bakal menjejakkan kaki di bumi Nabi, tempat berhimpunnya orang-orang yg sudah bersiap diri untuk menyempurnakan iman dan ibadah-ibadah mereka. Jutaan orang-orang yang sudah ahli beribadah, bukan tiga gelintir mualaf seperti mereka.

Pernah dalam satu pengajian ada guru yg menjelaskan tentang kesempurnaan wudlu, di mana sang guru waktu itu membacakan salah satu hadits tentang akan dibakarnya kaki dengan api neraka jika tak sempurna membasuh dalam wudlunya. Hiiii ... Langsung terbayang deh kengeriannya di pikiran David, Pierre dan Sebastian.

Tangan David menggapai pundak dan punggung Pierre, berusaha menenangkan sahabat seimannya itu.

"Jangan cemas, Saudaraku! Kita sekarang menjadi tamu Allah. Maka Allah pasti tidak akan mempermalukan kita sebagai tamu-tamunya, bilamana kita bersungguh-sungguh memenuhi panggilannya. Betul kan? Ingat, ... Man Jadda wajada, ... Ingatkan?!" David mencoba menguatkan hati Pierre.

Pierre tersenyum mendengar kalimat "man jadda wajada" tersebut. Angannya sejenak terbayang ke hari-hari sebelum ia mengikrarkan dua kalimat syahadatnya lima bulan yg lalu. Hari ketika kakinya mendadak terhenti sendiri saat melintasi distrik 5 di Paris, tepat di depan Grande Mosquee de Paris (Masjid Agung Paris), dalam perjalanannya menuju stasiun metro Place Morge.

Saat itu pandangan kedua bola matanya tersita untuk melihat lima anak-anak kecil yg berlomba lari dengan riang gembira melompati anak tangga menuju ke dalam masjid itu. Tangan kanan mereka sambil menggenggam buku kecil hijau yang sama, sambil memekikkan tawa yg tiba-tiba menghujam dan menenangkan hati Pierre. Topi-topi bulat putih, yg belakangan dikenalnya sebagai peci ikut menghiasi kepala, menambah kelucuan malaikat-malaikat kecil itu. Beberapa orang tua usia sebaya, yang mungkin ayah dan ibu dari anak-anak kecil tadi, tampak tenang mengikuti mereka dari belakang. Ada aura penuh kedamaian terpancar dari wajah keluarga itu.

"Hei ... Ayo ambil tas kita!" Seruan David membuyarkan sejenak angannya tadi. Pierre bergegas berdiri membuka kabin di atasnya, dan dengan sigap menurunkan ketiga tas koper kecil milik mereka. Sebastian yg duduk di antara Pierre dan David ikut berdiri membantu menata tas koper tsb di atas kursi mereka.

Ketika penumpang yg duduk di depan mulai meninggalkan tempat, berjalan menuju ke pintu keluar, segera pula ketiga sahabat ini pun bergegas menyusul. David sedikit keheranan demi melihat raut wajah Pierre yg tiba-tiba sudah berubah penuh senyuman. Tak seperti tadi yg penuh kecemasan. Tangan David memegang pundak Pierre sekali lagi. Pierre menoleh ke arahnya. Mereka hanya saling berpandangan dan tersenyum.

"Man jadda wajada!" Kata Pierre sambil balas memegang tangan David yang berada di pundaknya, seolah menjawab apa yg ingin diketahui oleh benak David tadi. Sehingga senyum David pun makin lebar karena senang mendengarnya. Tangannya kemudian kembali menepuk-nepuk pundak Pierre menandakan kepuasannya.

"Setelah pemeriksaan dokumen oleh petugas bandara, nanti segera ambil tas koper masing-masing di ruang baggage claim ... Tapi jangan pergi jauh dari situ. Kita nanti bersama-sama ke ruang tunggu di luar, untuk sama-sama bersiap ihram." Komando Abdullah kembali terdengar lantang saat rombongan mereka telah melintasi jalur kedatangan.

Saat di dalam antrian pemeriksaan dokumen, angan Pierre seolah menyambungkan kisah di depan Grande Mosquee de Paris tadi. Setelahnya, selama tiga sore berturut-turut ia lalui hanya dengan berdiri di depan masjid itu, tak kurang tak lebih, tak beranjak sejengkal pun dari tempat ia pertama kali berhenti dan berdiri. Namun sore ini, tak berselang lama kemudian ada satu tanda tanya besar menyeruak muncul di dalam hatinya.

"Mengapa kakinya tiba-tiba selalu berhenti di sana?"

"Dan mengapa pula hatinya ikut menjadi begitu damai saat melihat keluarga-keluarga kecil yg hendak masuk ke dalam masjid itu?"

Dan suara-suara itu, entah orang menyanyikan apa dari dalam masjid sana (yg di kemudian hari akan dikenalinya sebagai adzan), seperti menariknya untuk mulai berani melangkah menapaki tangga masjid ... Hingga nyaris menginjakkan kakinya di pintu masjid itu, saat dirinya tersadar dan berhenti melangkah lebih jauh.

"Assalaamu alaikum." Sapa lembut seorang pemuda tampan, sepertinya mahasiswa dengan wajah layaknya orang Eropa timur, seakan menghentikan geraknya yg berniat menarik mundur kakinya dari pintu masjid itu.

"Anda akan masuk atau apa?" Sambung pertanyaan si pemuda itu ketika Pierre tidak menjawab salam darinya.

Suara Pierre seolah terkunci di kerongkongannya, tak bisa keluar sepatah kata pun. Ia gelagapan demi ketahuan telah berdiri di muka pintu itu.

"Mari masuk saja, sebentar lagi jamaah ashar akan segera dimulai." Ajak si pemuda itu.

Pierre mengumpulkan segenap kekuatan dan keberaniannya untuk menjawab ajakan tsb. Menolak, mungkin lebih tepatnya.

"Saya bukan muslim!" Tegas Pierre akhirnya setelah berani berkata-kata.
Namun Si pemuda justru meraih tangannya dan menggeretnya masuk.

"Tak apa, Anda bisa melihat-lihat sisi dalamnya. Setelah itu terserah Anda, apakah akan pulang atau ikut saya berkeliling melihat-lihat masjid ini." Si pemuda berusaha menjelaskan niatnya.

"Banyak juga kok nonmuslim yg berkunjung ke masjid ini, meski ya hanya sampai di tamannya saja." Sambung si pemuda sambil tetap menggandeng tangan Pierre. "Baiklah, saya akan melanjutkan sembahyang di dalam masjid sana, sedangkan Anda silakan jika ingin berkeliling terlebih dahulu. Tapi sebaiknya lepaskan sepatu Anda itu, biar lebih bebas melihat bagian bangunan yg lain."

Pierre hanya mengangguk mengiyakan semua kata-kata si pemuda tadi, karena saat ini matanya sedang terbelalak kagum demi memandang kolam dan taman yg terhampar di dalam masjid itu. Dirinya yg sebenarnya seorang jurnalis gaya hidup di sebuah majalah anak muda, justru baru kali ini bisa melihat langsung sebuah keelokan di dalam masjid Paris ini. Padahal hampir setiap hari dia lalu lalang di depannya.

Teringat pesan si pemuda tadi, Pierre segera bergegas melepas sepatunya. Ia memandang berkeliling hingga terlihat olehnya beberapa deret loker untuk meletakkan sandal dan sepatu. Selesai mengurus sepatunya, Pierre mulai melangkah menapaki sisi taman dan kolam yg ada di sekitar situ. Hatinya masih takjub setakjub-takjubnya. Bahkan kedamaian yg tadi sudah menghiasi hatinya, saat ini makin menggelora, hingga tiba-tiba air matanya mengucur tak tertahankan olehnya.

Pierre kelabakan demi mendapati dirinya menangis tanpa sebab seperti itu. Terburu-buru dikeluarkannya sapu tangan dari saku celananya, sehingga malah sempat jatuh ke lantai, menarik perhatian seseorang yg berdiri tak jauh darinya. Akhirnya setelah dengan penuh perjuangan menyeka pipi, mata, hidung dan menenangkan hatinya, tinggallah matanya saja yg masih berkaca-kaca. Ada satu ruang hampa yg mendadak muncul dalam hatinya. Sebuah kehampaan seperti sedang merindukan sesuatu yg amat sangat. Namun Pierre sendiri tak tahu apa yg sedang dirindukannya itu, dan mengapa pula timbul rasa sedemikian.

"Hai ..!" Tiba-tiba sebuah sapaan lembut terdengar di sampingnya. Sapaan yg ketika ditolehnya berasal dari satu makhluk manis yg sudah berdiri tak jauh darinya.

"Anda nonmuslim?" Tebak wanita berkerudung hijau itu melanjutkan sapanya. Pierre tersipu malu ditebak sedemikian, namun ia jujur langsung mengiyakan dengan anggukannya.

"Namaku Pierre!" Ia memperkenalkan diri dengan menjulurkan tangan kanannya hendak bersalaman. Agak canggung juga suasananya ketika si Cantik itu hanya menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada sambil sedikit membungkuk. Tersadar, pierre segera menarik uluran tangannya, sambil ikut-ikutan menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Kedua insan itu pun jadi tertawa ringan demi sadar kecanggungan yg sudah terjadi.

"Namaku Marrion." Balas Si cantik itu memperkenalkan diri. "Baru pertama datang ke sini?"

Pierre kembali mengangguk. Dengan jujur kemudian diceritakannya peristiwa yg telah terjadi sejak 3 hari yg lalu hingga sore hari ini. Hingga sekarang ia terisak menangis di dalam masjid ini.

Marrion menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum dan berujar, "Subhanalloh!"

Pierre yg tak paham dengan apa yg diucapkan Marrion hanya mengernyitkan dahinya, seolah minta penjelasan lebih lanjut dari ucapan Marrion itu.

Tanggap akan kebingungan Pierre tersebut, Marrion kemudian menjelaskan tentang ungkapan kekagumannya itu.

"sebaiknya aku antarkan Anda berkeliling dulu, sebelum nanti aku perkenalkan Anda dengan saudara-saudaraku." Marrion menawarkan diri menjadi pemandu berkeliling masjid itu. Awalnya Pierre menolak karena pemuda yg sebelumnya tadi sudah menawarkan diri juga.

Marrion hanya tertawa kecil mendapat penolakan tsb, dan kemudian menerangkan bahwa tak apa-apa krn pemuda tadi juga temannya. Namanya Ahmad, berasal dari Albania, namun sudah tinggal cukup lama di Paris ini, begitulah Marrion menerangkan tentang pemuda tadi. Kakinya mulai melangkah perlahan, yg akhirnya diikuti pula oleh Pierre. Mulailah Marrion menjadi guide dadakan, menjelaskan awal mula berdirinya masjid ini sebagai hadiah dari raja Perancis waktu itu kepada para pejuang Islam di Perang Dunia pertama. Ia juga menyambungkannya dengan kisah penyelamatan Yahudi di Paris dari kejaran tentara Nazi Jerman di dalam masjid itu pada masa perang Dunia kedua. Beberapa ruang seperti perpustakaan, ruang kantor dan bagian yang lain pun ikut diperkenalkannya. Pierre mengangguk-angguk menyimak cerita Marrion itu.

"Itu saudara-saudaraku sudah selesai sembahyang. Mari aku perkenalkan dengan guru yg ada di sini, mungkin beliau bisa lebih menjelaskan apa yg telah terjadi dengan Anda beberapa hari ini." Ajak Marrion untuk menemui beberapa orang saudaranya dan guru yg disebutkannya tadi.

Sang guru yg dimaksud ternyata adalah imam besar Masjid Paris ini. Seorang lelaki tua tinggi kurus namun terlihat tetap gagah dalam balutan jubah kuning dan kain surban merah putih menghiasi kepalanya. Pembawaannya lemah lembut, dan dengan sabar menyimak keterangan yg disampaikan Marrion sebagai awal pembuka perkenalan sang guru dengan Pierre.

"Subhanalloh, walhamdulillah ... Inilah hidayah!" Kata sang guru ketika Marrion selesai menuturkan cerita Pierre tadi. Yang sontak disahut dengan takbir dari beberapa saudara Marrion yg ikut menyimak perkenalan tsb. "Allahu akbar, Allahu akbar!"

Sang guru kemudian mengajak Pierre untuk masuk dan duduk di serambi masjid agar lebih santai dalam berbincang. Namun sebelum melangkah lebih jauh, Marrion minta ijin karena dia sedang berhalangan shg tdk dapat mengikuti masuk ke serambi masjid. Pierre sebenarnya ingin si cantik itu tetap bersamanya, menemani dirinya saat berbincang lebih lanjut dengan sang guru. Namun Marrion hanya melambaikan tangan, seakan memintanya untuk tetap tenang saja mengikuti sang guru. Telunjuknya menuding ke arah tempat mereka bertemu pertama kali tadi, seolah membuat janji untuk bertemu di tempat itu lagi seusai urusannya dengan sang guru.

Dan demikianlah singkatnya selama hampir lebih dari satu setengah jam sang guru menjelaskan tentang "hidayah" yg telah turun kepada Pierre pada sore itu, sembari mulai memperkenalkan ajaran Islam kepadanya, dan pada akhirnya mengembalikan semua tekad dan niat kepada Pierre. Apakah dia akan menyambut hidayah itu ataukah disia-siakannya begitu saja. Pierre sendiri demi mendengar penjelasan yg terang dan runut dari sang guru justru semakin berbunga-bunga hatinya. Mungkin inilah jawaban dari kekosongan hatinya tadi.

Dan di senja itu, ketika awan-awan di langit Paris makin memerah, beberapa saat sebelum adzan maghrib berkumandang, Pierre menegaskan ikrar dua kalimat syahadatnya dalam bimbingan sang Guru. Pierre telah menjadi muslim dengan niat yg mantab. Sang guru bahkan kemudian membekalinya dengan sebuah kalimat untuk terus meneguhkan niatnya sebagai muslim.

"Man jadda wajada!" Ujar sang guru, sambil menerangkan artinya. Sebuah bekal kalimat yg terus dipegangnya, terkhusus di saat hatinya ciut atau gentar dgn kesulitannya menjadi muslimin.

"Apa yg kau pikirkan?" Sergah Sebastian demi melihat Pierre yg tersenyum-senyum sendiri saat mereka mulai melangkah naik ke dalam bus yg akan membawa mereka ke Makkah al Mukaromah.

"Kau sendiri apa yg kau pikirkan?" Pierre malah balik bertanya kepada Sebastian. Ia berusaha menyembunyikan angan-angannya yang barusan melintasi pikirannya sedari turun dari pesawat tadi.

"Hahahaha ... Aku sedang memikirkan nama apa yg akan aku pakai nanti sepulang haji." Jawab Sebastian.

"Zidane ... Ya, Zidane. Nama itu yg akan kupakai!" Sebastian mantab menjawab, yg disusuli dengan tepukan tangan David di pipinya, pertanda menyetujui harapan Sebastian tersebut. "Kalau kamu?" Sebastian balik bertanya kepada Pierre.

Pierre tidak segera menjawab. Pandangannya yang dihiasi senyumannya seakan melayang jauh, membayangkan sesuatu yg diinginkannya kemudian. Sebuah keinginan yg belum lama dipendamnya sebelum keberangkatan mereka ini. Senyumannya yang makin menggemaskan Sebastian.

"Hei ... Ini tidak adil!" Cetus sebastian mendesak jawaban darinya. David hanya menepuk-nepuk pundak sebastian agar bersabar sejenak.

"Kalau aku setelah ini?" Pierre membuat jeda jawaban yg agak panjang, ... "Bolehkah aku menikahi adikmu, Marrion?" Jawab Pierre pada Sebastian.

David dan sebastian hanya ternganga mendengar jawaban itu, namun tak lama kemudian ketiga sahabat itu langsung berangkulan erat.

"Tentu saja, Saudaraku! Tentu saja!" Jawab sebastian mantab. Air matanya sampai menetes karena kebahagiaannya.

"Hei, hei ... Awas kain ihram kalian bisa lepas itu nanti! Awas!" Teriakan Abdullah mengingatkan ketiga sahabat itu yg masih saja berangkulan dan tertawa-tawa penuh kebahagiaan.

Dan bus mereka pun mulai melintas perlahan membelah jalan raya Jeddah menuju Makkah.