Selasa, 30 Desember 2014

"Ojo dumeh" (Jangan Sombong)

Beberapa hari lalu dalam perjalanan liburan kami sepulang dari Batu Malang, sempat saya menimba ilmu dari seseorang teman perjalanan di daerah Ngantang, panggil saja nama beliau "pak Haji" ... "̮ ƗƗɐƗƗɐƗƗɐƗƗɐƗƗɐƗƗɐ"̮ maaf saya juga lupa berkenalan sebelumnya.

Kalau saya bilang "pak Haji", pasti bayangan Anda adalah seseorang yg memakai kopiah atau peci, berbaju koko atau yg semacam itu, berjenggot, dan berpasangan dengan wanita yg berhijab. Betul begitu ya?

Tapi "pak Haji" yg saya maksudkan ini tak tampak seperti itu. Beliau sangat biasa dari sisi penampilannya. Kemeja batik, tak berpeci, hanya "gundhulan" saja, bahkan kumis dan jenggot tipis samar-samar. Istrinya memang berhijab panjang, tapi tak terlalu mencolok juga. Saya yakin beliau orang "istimewa" bukan dari tampilannya, tapi dari perilakunya di musholla. 




Apa itu? Hal yg tampaknya sederhana, saat hendak meletakkan sandalnya, dia membungkuk menata merapikan sandal/sepatu yg ada di sekitarnya sehingga tak sampai terinjak olehnya ataupun orang lain saat masuk/keluar mushola itu. Kemudian saat akan memulai wudhu, beliau terlebih dahulu membersihkan lantai di sekitaran tempat wudhu hingga ke jalan naik ke mushola. Bukan untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk orang lain yang berwudhu sebelum dirinya.

Ketiga, saat akan memulai sholat, beliau ikut menatakan shaf sehingga rapat dan rapi lurus. Sesuatu yg kadang juga terlalaikan oleh imamnya. Dan keempat, gerakannya sebagai makmum selalu menunggu gerakan imamnya selesai dulu. Tidak terlalu dekat, atau bahkan menyertai. Namun juga tak terlalu tertinggal. Ke lima, saat beranjak meninggalkan tempat sholatnya, ia menunggu jamaah lain yg masbuk di belakangnya merampungkan sholat, kemudian ia bersegera minggir ke belakang utk meneruskan wirid-nya.

Sepertinya sederhana ya?

Tapi saya yakin belum tentu kita semua bisa mengikuti "pola istimewa" beliau ini jika tidak secara konsisten dan kontinyu melakukan pola tsb.

Dan satu kunci yg saya dapat dari beliau saat akhir obrolan kami ketika hendak bersama-sama beranjak dari musholla itu adalah "ojo dumeh" tadi.

Beliau ternyata memang sudah berhaji, bahkan dua kali dari hasil "pemberian" konsumennya. Namun satu "wanti-wanti" yang beliau pesankan adalah tak boleh berlaku sombong sedikit pun kepada Allah dan semua makhluk Allah (termasuk kepada dirinya sendiri).
"Di tanah suci itu, mas, semua perbuatan sombong itu dibalas kontan oleh Allah. Padahal itu susahnya ngudubilah. Kita "poyok-poyokan" dengan teman itu juga rawan jadi sombong. Tidak patuh pada perintah/anjuran kepala regu juga rawan sombong, apalagi sampai suuddzon dan "keminter", atau "tukaran" dengan istri/teman. Jangan sampai kejadian lho ya mas."

Ibadah haji pertama beliau sebenarnya juga sudah mabrur, namun beliau dan Allah-lah yg tahu pahitnya perjalanan beliau itu akibat "balasan kontan" dari Allah gara-gara keminter dan menginjak-injak sepatu kawannya (walau tak disengaja).

Oleh karenanya setahun sebelum haji yang keduanya, beliau mendidik dirinya sendiri untuk selalu rendah diri, ringan tangan membantu orang lain, dan menghindari buruk sangka.

"̮ ƗƗɐƗƗɐƗƗɐƗƗɐƗƗɐƗƗɐ"̮ ... Padahal pada saat itu juga saya pas ngrasani saluran air yg mampet di musholla itu yg menimbulkan bau tak sedap. Eh, itu pun juga termasuk sombong juga. Definisi yg beliau sampaikan berasal dari hadits berikut :

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim no. 91)

Nah kawan, siapkah kita bertarung dengan diri kita sendiri menekan segala macam kesombongan/ujub/riya'/buruk sangka dan meremehkan orang lain tsb?

Mulut saya sendiri hanya bisa berkata lirih "siap", namun pikiran dan lubuk hati saya mengakui bahwa ini tidak akan pernah mudah. "̮ ƗƗɐƗƗɐƗƗɐƗƗɐƗƗɐƗƗɐ"̮ .. Tetap semangat! Mari ber-evolusi saja jika tdk bisa ber-revolusi!


Nganjuk, 29 Mei 2014