Selasa, 30 Desember 2014

Kisah Timbangan Yang Salah

Dikisahkan kembali dari "Titik Nol" radio Suara Surabaya 100 FM

Suatu hari seorang tukang roti membeli mentega pada seorang petani langganannya. Mentega buatan petani itu sangat bagus, lembut dan harum. Namun pada hari itu, si tukang roti mendapati menteganya terasa lebih ringan dari biasanya.

Keesokan harinya, si tukang roti membeli mentega lagi, dan lagi-lagi mentega itu masih terasa lebih ringan dari biasanya. Karena penasaran, setiba di tokonya mentega tersebut ditimbang kembali. sambil disaksikan karyawan dan pelanggannya yang kebetulan datang di tokonya.

"Aih, benar juga dugaanku. Si petani itu menipuku, dia mengurangi timbangan mentegaku." geramnya si tukang roti mendapati dirinya telah ditipu.

Maka tak lama kemudian si tukang roti mengadukan si petani ke petugas yg berwajib. Dan singkat cerita sampailah si petani itu di depan meja hijau. Saat ditanya oleh hakim apakah dia memiliki timbangan, si petani menjawab tidak memiliki.


"Lalu bagaimana kau akan menimbang mentegamu agar pas 1 kilogram jika kau tidak memiliki timbangan?" tanya sang Hakim.

"Mudah saja tuan Hakim, saya tinggal membandingkan dengan 1 kilogram roti yang biasa saya beli dari pak tukang roti ini. Pasti sesuai." jawab si petani dengan lugu.

Betapa kagetnya si Tukang Roti mendengar penjelasan si petani itu, dia tak bisa berkata apapun, sedangkan keringat dinginnya bercucuran karena ketakutan.

Demikianlah Saudara-saudaraku, terkadang kita begitu mudahnya menunjuk kesalahan orang lain sebagai suatu kesalahan besar, namun biasanya kita justru lupa bahwa boleh jadi kitalah sumber kesalahan itu. Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak.

Have a nice day, all!

Kisah Ular di Alam Kubur

Ini cerita gugon tuhon yang belum tentu salahnya namun juga belum tentu pastinya, karena nggak mungkin si empunya cerita di sini yang menceritakan kembali pengalamannya di alam kubur. Namun buat bekal hidup apalah ruginya kalo tidak sekedar dilewatkan dibaca.


Suatu hari, setelah selesainya acara pemakamannya dan ketika sanak keluarga handai taulannya sudah meninggalkan tanah pekuburan, wak haji Fulan mulai merasa kesepian. Tempatnya tinggal saat itu serasa berada di lembah pinggir sungai yang basah lembab dan gelap berlumut. Alih alih terdengar suara gemericik air, tak lama kemudian justru terdengar suara gemericik ... tapi suara gemericiknya beratus-ratus ekor ular derik.Ciut benar nyali wak haji Fulan saat itu. Jangankan ratusan, melihat seekor ular kecil saja bisa jatuh pingsan dia.

Sesaat dari arah belakang muncullah ratusan ekor ular tersebut. Herannya ular-ular derik kecil ini bukannya menggigit atau menyerangnya, namun hanya lewat saja seolah tak mengetahui adanya wak haji Fulan yang sudah diam membeku saking ketakutannya. Ular-ular itu terus maju ke depan menjauhi wak haji ... tapi ... tak lama kemudian mereka bertempur dengan seekor ular kobra raksasa di depannya. Semenit saja ratusan ular derik tadi amblas dilahap oleh kobra raksasa tadi. Selesai dengan ular-ular kecil tadi, si kobra raksasa merayap mendekati wak Haji.

"Heee wak Haji, tahukah kau siapa aku?" tanya si kobra raksasa kepada wak Haji

karena tak bisa menjawabnya, wak haji cuma menggeleng-geleng lemah tanda tak tahu.

"Ketahuilah, aku ini wujud amal-amal burukmu di dunia yang akan menghukummu di alam kubur ini sebelum Munkar dan Nakir tiba di sini. Dan ular2 kecil tadi itulah amalan2 kecilmu di dunia yang sejatinya harus bisa menolongmu. Hahahaha ... tapi mereka sudah habis kumakan semua. Siapa yang akan menjadi penolongmu sekarang?"

Selesai berkata, si kobra raksasa segera bergerak untuk melahap wak Haji. Untung saja sebelum si kobra sampai menyentuh badan wak haji, berlompatan puluhan ular kecil dari belakang badan wak haji.

"Hei, siapa kalian berani menggangguku menghukum orang tua sialan ini?" tanya si kobra raksasa

Salah satu ular menjawab "Aku ini lanjutan amalnya wak haji ke tetangganya. Suatu hari dia memberi uang sedekah ke tetangganya yang sedang bersalin. Hanya 5000 rupiah memang, tapi genaplah biaya persalinannya menjadi 200rb. Dan anak yang terlahir tsb sekarang menjadi anak yg shaleh, menjadi guru mengaji. Ilmunya bermanfaat bagi orang lain"

Seekor ular yang lain menjawab "Aku ini wujud amal wak haji yang menyumbang 20rb untuk pembangunan teras mushola di kampungnya. Dengan teras itu, sekarang jamaah di mushola itu bisa bertambah 2 shaf"

Seekor ular yang lain menjawab "Suatu pagi wak Haji menunjukkan jalan bagi seorang musafir yang sedang menuju ke seorang tuan Guru. Orang itu pun sekarang menjadi guru muda, menyebarkan ilmu bagi orang2 di kampungnya"

Demikian berulang-ulang datang ular-ular kecil yang lain dan menjawab sesuai amal sedekah wak haji yang tak disadarinya selama ini. Akhirnya datanglah malaikat Munkar dan Nakir, dan si kobra pun pergi karena telah habis waktunya untuk menghukum wak haji. Dan ular2 kecil itupun masuk kembali ke liang2nya, bersiap meniolong wak haji jika nantinya didatangi si kobra lagi.

Tersenyumlah wak haji karena untuk sesaat terselamatkan dari ancaman si kobra. Sekarang tinggal urusannya dengan 2 malaikat yang barusan datang ini.


Dituliskan ulang,

Watutulis, pagi yg cerah di 30 Nop '13

Kisah Bantal Kapuk Yang Terburai

Alkisah, hiduplah 2 orang yg saling bersahabat, sejak bersama di bangku sekolah hingga akhirnya sama-sama bekerja di sebuah perusahaan. Sebut saja nama mereka Tono dan Toni. Ketika di awal masa-masa bekerja yg masih sulit, Tono dan Toni ini begitu rukunnya. Tinggal di kontrakan rumah yg sama, keluar makan bersama, bahkan dikejar-kejar penagih utang juga bersama, hehehe ... Pokoknya susah senang mereka selalu bersama.

Namun setelah berjalan 10 tahun, nasib baik mulai membuat Tono dan Toni ini terpisahkan. Tono karena kepandaian, kejujurannya dan kegigihannya, cepat sekali meraih karir yg lebih tinggi, hingga sekarang sudah dipercaya menjadi General Manager di salah satu kantor cabang perusahaannya. Sedangkan Toni, karena bawaan sifatnya yg mudah menyerah dan gampang mengeluh, akhirnya tertinggal dua level di bawahnya.

Suatu ketika, Tono dan Toni berkumpul kembali di kantor cabang yang sama. Namun persahabatan yg dulu indah, sekarang mulai diwarnai kecemburuan Toni kepada karir sukses Tono. Hingga akhirnya entah dibisiki setan dari mana, Toni menyebarkan fitnah tentang Tono yang dampaknya hingga membuat Tono diberhentikan dari jabatannya. Dan Toni lah yg kemudian menggantikan menduduki jabatan Tono.

Setelah diberhentikan dari perusahaan itu dan mungkin juga didorong rasa kecewa yg sangat dalam atas perilaku Toni yg telah mengkhianati persahabatan mereka, terkisahkan Tono kemudian jatuh sakit yg sangat parah. Tubuh lemahnya tergolek tak berdaya hingga berbulan-bulan. Dan ketika mendengar kondisi sahabat karibnya yg semakin kritis itu, barulah Toni sadar akan kesalahan terbesarnya kepada sahabat terbaiknya itu.

Siang yang terik itu Toni datang menemui Tono yang hampir sekarat. Ia ingin mohon ampun atas kesalahannya dan ingin menggantikan apa yg telah dirampasnya dari Tono. Mendengar permohonannya itu, Tono hanya tersenyum dan berusaha membisikkan sesuatu.

"Aku akan memaafkanmu, namun bila kau bisa memenuhi 2 permintaanku." jawab Tono

"Baiklah, apapun akan aku lakukan demi dirimu, kawan." Toni menyanggupi dengan tegas.

"Ambillah bantalku ini, bawalah ke atas atap rumahku, lalu sebarkanlah kapuk yg ada di dalamnya ini ke segala penjuru. Itu permintaan pertamaku." Tono menjelaskan sambil tersenyum.

Dengan gagahnya Toni melaksanakan permintaan pertama yg mudah itu. Kebetulan angin sedang bertiup kencang di atas atap rumah itu sehingga tak perlu waktu lama bantal kapuk itu telah terburai, dengan kapuknya tersebar hingga jauuuuuuh tertiup angin.

"Tono, aku sudah melaksanakan permintaanmu yg pertama, lalu apa lagi permintaanmu, kawan?"

Selanjutnya Tono kemudian menjelaskan permintaan keduanya. Ia meminta Toni untuk mengumpulkan kapuk yang telah tersebar tadi, sehingga bantal kapuk itu menjadi utuh kembali. Seketika wajah Toni pucat mendengar permintaan kedua tersebut, karena ia tak mungkin dapat memenuhinya. Tak ayal ia pun tersungkur bersimpuh di kaki Tono untuk memohon maaf dan ampunan Tono.

"Ampuuuuun, kawan. Aku tak mungkin memenuhi permintaan keduamu ini. Ampun kawan, maafkanlah aku." tangis Toni memohon ampunan dari Tono.

"Toni kawanku, sesungguhnya di dalam lubuk hatiku aku telah memafkan dirimu, karena bagaimanapun kau adalah sahabat karibku. Namun ketahuilah, bahwa dari hasil fitnahmu itu dampaknya masih akan  ada di mana-mana, sebagaimana kapuk yg telah kau sebarkan hingga tertiup angin ke mana-mana itu."



Diceritakan kembali utk mjd pengingat kita bersama,



Watutulis, 22 Nop '13, dalam guyuran rintik hujan di sore hari

Kisah Lilin dari Keluarga Miskin

ketika listrik PLN padam kemarin, jadi ingat lagi cerita ini ... maaf kalo re-post ya


Alkisah, ada seorang gadis keluarga berada yang rumahnya bersebelahan dengan rumah keluarga yang miskin. Sebut saja namanya Ratna. Pada suatu malam, saat tengah belajar dan sendirian di rumah, tiba-tiba listrik di wilayah itu padam. Bergegaslah Ratna mencari penerangan seadanya di rumah tsb. Seingatnya, masih ada beberapa lilin di laci meja dapur. Saat Ratna melintas menuju dapur, pintu rumahnya diketuk-ketuk.

"Mbak Ratna, mbak ratna!" Panggil suara di balik pintu itu dengan nada cemas.

Suara itu suaranya anak keluarga miskin di sebelah. Dengan enggan Ratna membukakan pintu dan menanyakan keperluan anak tsb.

"Mbak Ratna punya lilin?" Tanya anak miskin tsb masih dengan cemas.

Pikir Ratna, kalo dijawab ada, pasti anak ini akan memintanya. Padahal belum tentu listrik ini menyala lagi secepatnya. Lagipula kalau dibiarkan, bisa jadi kebiasaan minta-minta terus ke rumahnya. Maka dijawabnyalah dengan tegas.

"Nggak ada, dik. Maaf ya!".

Namun sang anak tadi justru berujar begini.

"Sudah aku duga mbak Ratna tidak punya lilin. Ini aku bawakan 3 biji, semoga cukup untuk keperluan mbak Ratna. Sudah ya mbak!" Katanya sambil menyodorkan lilin-lilin di genggamannya ke tangan Ratna, yang masih ternganga kaget dan mulai berlinangan air mata karena haru dan menyesal atas buruk sangkanya.


catatan kaki : "jangan jadikan hatimu gelap karena buruk sangkamu"

Kisah Guci Ajaib Nenek Liam

Menjelang akhir tahun ini Nenek Liam ingin membeli guci kecil cantik dg penutupnya di satu stand toko di Pasar Atum Surabaya. Guci yang lama pecah ditabrak oleh kucing peliharaannya.

Meskipun sudah berumur 78 tahun, namun ibu dari 12 anak dan nenek dari 30 cucu ini masih tampak gesit dalam mengerjakan pekerjaan di rumah. Wajahnya selalu ceria, kapan pun dan di mana pun dia pergi, aura kegembiraan selalu dibagikan kepada orang2 di sekelilingnya. Semua orang hanya tahu bahwa Nenek Liam selalu gembira.

Lalu apakah nenek Liam tak pernah bersedih atau marah?

Tentu saja nenek Liam bisa sedih, jengkel ataupun marah. Ketika suaminya dan bahkan dua anaknya meninggal mendahuluinya, nenek liam bahkan sangat bersedih. Namun di saat-saat itu semua orang juga melihat Nenek Liam justru selalu tersenyum.

Rahasia semua itu adalah guci kecil yg ada di kamarnya. Demikian sebagaimana dituturkannya rahasia tsb kepada anak-anak dan cucu-cucunya.

Kenapa dengan guci itu? Ternyata di situlah selama ini Nenek Liam menumpahkan segala rasa sedih dan rasa marahnya. Sambil dia mengadukan nasibnya kepada Tuhan untuk mendapatkan pertolongan, dia meledakkan semua emosinya lewat suara ke dalam guci itu, seolah guci itu adalah telinga dari Tuhan. Usai meraung, meratap ataupun memaki sejadi-jadinya, guci itu kemudian dicucinya. Dibersihkan lagi, dan disimpan lagi.

Seperti halnya isi dari guci itu yg selalu kosong, demikian pula perasaan nenek liam yg dengan cepat melupakan segala rasa sedih atau marahnya, hilang begitu saja. Jika ada yg membuat kesalahan kepada nenek liam, maka segera dia memaafkan semua kesalahan tsb, tanpa harus menunggu orang tsb meminta maaf kepadanya.

"Aku hanya ingin membawa kegembiraanku saja kemana-mana, yg selain itu aku tinggalkan dalam guci ini, terlalu berat jika aku menggembolnya kemana-mana. Dan apa saja yg ada dalam guci itu, entahlah, aku sendiri juga sudah tidak mengingatnya."

Lalu bagaimana kalau pas tinggal di rumah anaknya, Nek? Gampang saja, aku bisa pinjam gelas atau mangkuk atau wadah seadanya, toh sama saja.



Watutulis, 15 Desember 2013.

it's a Beautifull life ... nikmatilah dengan kesyukuranmu

Sore itu hati Susi terasa hancur berkeping-keping. Di kantor tadi Susi baru saja menerima surat mutasi, ke kantor cabang di kota lain yang kabarnya "kering" karena miskin anggaran. Jauuuuuuh lagi. Serasa dibuanglah Susi ke sana.

Sudah demikian, begitu dengar Susi dimutasi ke kota yang jauh, eh pacarnya bukannya kasih support malahan memutuskannya .. Ternyata dah punya ganti, teman kantor si Susi sendiri yg bernama si Yanti. Dan si Yanti ini pula yg sekarang menduduki posisi Susi. 


Disingkirkan, dikhianati dan dicampakkan .. Serasa gelap sekali hidup Susi. Tak ada asa, tak ada guna hidup ini, pengin mati saja deh rasanya. 


Saking kalut dan galaunya, ketika sampai di apartemennya yg berlantai 8, Susi nekat terjun dari puncak gedung itu. 

Ketika melintasi kamar di lantai 8, sekilas dilihatnya si Andra banci kaleng yg sedang berhias buat "mangkal" nanti malam. "Ya Gusti, ternyata masih ada yg lbh sengsara hidupnya daripada diriku ini!" Jerit Susi dalam batinnya. 

Ketika melintasi kamar di lantai 6, sekilas dilihatnya suami istri yg sedang sengit bertengkar sampai saling pukul. "Ya Gusti, ternyata masih ada yg lbh sengsara hidupnya daripada diriku ini!" Jerit Susi sekali lagi dalam batinnya. 

Ketika melintasi kamar di lantai 4, sekilas dilihatnya seorang nenek yang tinggal sendiri. Susi mengenalnya, dan Susi tahu bahwa anak cucu ataupun keluarga nenek itu telah bertahun-tahun tak pernah menengoknya. "Ya Gusti, ternyata masih ada yg lbh sengsara hidupnya daripada diriku ini!" Jerit terakhir Susi dalam batinnya. 


Susi menyesal telah mudah berputus asa sore ini, Susi menyesal telah tak bersyukur atas segala nikmat Allah yang telah diberikan padanya, Susi menyesal telah melompat dari atas gedung apartemennya ini. 


Namun semua telah terlambat, sedetik kemudian badannya menghempas trotoar. Semua penghuni apartemen itu, termasuk si bencong, suami istri yg bertengkar tadi dan si nenek tadi, semua melongok dari jendela kamar masing2 sambil berkata dalam batinnya, "Ya Gusti, ternyata masih ada yg lbh sengsara hidupnya daripada diriku ini!"

It's a beautifull life!
Jangan sia-siakan dengan segala putus asamu ya? Karena sesungguhnya Allah sangat murka kepada orang-orang yg berputus asa



Diceritakan dan diceritakan kembali,
Gak bosen-bosen menceritakan tentang ini, hehehehehe


Pagi nan cerah, dengan senyum di bibir pemilik mobil merah, hahahaha
Watutulis, 19 Desember 2013

Khalifah Umar dan Ternak Milik Anak-Anak Yatim

Beberapa hari ini cuaca siang hari di kota Madinah sangat panasnya. Hampir semua orang tak ada yang keluar rumah, saking teriknya sinar mentari. Belum lagi angin yang kerap bertiup kencang membawa debu bergulung-gulung.

Namun pada siang itu, Utsman bin Affan RA melihat samar-samar dalam kabut debu satu sosok lelaki tinggi besar yang berjalan terhuyung-huyung di tengah jalan di kota di sekitar sumur yang tampak dari rumahnya. Kelihatannya lelaki itu kepayahan berjalan dalam tiupan angin yg kencang dg banyak debu beterbangan itu. Maka Utsman pun memanggil lelaki tsb untuk berteduh beristirahat sebentar di rumahnya.

Alangkah terkejutnya Utsman demi mengetahui kemudian setelah lelaki tsb sampai di rumahnya, ternyata lelaki itu Amirul Mukminin Umar ibn Khattab RA.

"Wahai Amirul Mukminin, apa yg tengah kau lakukan di luar rumah di siang yang ganas seperti ini?"
"Aku tadi diberitahu tetanggaku, bahwa pagar kandang ternak milik anak-anak yatim itu roboh tertiup angin, dan beberapa ekor ternak lepas karena ketakutan. Untunglah berhasil aku tangkap kembali."

"Masya Allah! Apa tidak bisa kau utus sahabat yg lain untuk mengerjakannya, shg bukan kau sendiri sang Amirul Mukminin yg harus bersusah payah di terik siang ini?"

"Wahai Utsman! Justru karena akulah Amirul Mukminin. Dan anak-anak yatim itu adalah tanggung jawabku, demikian pula harta mereka. Maka akulah sendiri yg harus mengamankannya. Apakah dg aku memerintahkan orang lain, maka ada yg nanti mau juga menggantikan aku saat Allah meminta tanggung jawabku kelak di akhirat?"

Selesai berpamitan, Umar ibn Khattab melanjutkan perjalanannya mengurus ternak - ternak tsb. Utsman bin Affan hanya dapat memandangi kepergian sang Amirul Mukminin dg berlinang air mata haru, dengan terus berdzikir mendoakan keselamatan dan kesehatan Umar bin Khattab RA, sang Amirul Mukminin.

LIMA KETERGESA-GESAAN YANG BAIK

Kita dilarang untuk melakukan sesuatu pekerjaan dengan cara tergesa-gesa, sebagaimana disyariatkan dalam sunnah sebagai berikut :

“Sifat perlahan-lahan (sabar) berasal dari Allah. Sedangkan sifat ingin tergesa-gesa itu berasal dari syaitan.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya dan Baihaqi dalam Sunanul Qubro.
Diriwayatkan pula oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shoghir mengatakan bahwa hadits ini hasan. Diriwayatkan pula oleh Turmudzi dalam Sunan Turmudzi Bab Maa Jaa fii al-Ta'anni wa al-'Ajalah hadis no. 1935 dan juga terdapat dalam al-Muntaqa syarh Muwattha' Malik.


Tergesa-gesa adalah kondisi psikologis seseorang yang secara emosional ingin cepat-cepat melakukan sesuatu, kosong dari pertimbangan fikiran. Karena tanpa pertimbangan terlebih dahulu, maka aktivitas yang dilakukannya juga tidak produktif.


Namun ternyata diriwayatkan oleh Imam Hatim al Asham, ada lima ketergesa-gesaan yang baik, bahkan disunnahkan sesuai perintah Rasulullah SAW.

Siapakah Imam Hatim Al Asham itu?
Nama lengkapnya adalah Abu Abdirrahman Hatim ibn Alwan al-Asham (w. 237 H/751 M).
Menurut Syaykh Abu Ali ad-Daqaq, imam Hatim dijuluki “al-Asham” (yang tuli), bukan karena beliau tuli alias tuna rungu, akan tetapi karena beliau pernah berpura-pura tuli demi menjaga kehormatan seseorang wanita tamunya.

Alkisah, seorang wanita tengah bertanya kepada imam Hatim tentang suatu hal. Tapi di tengah perbincangan itu tanpa disengajakan wanita tersebut buang angin alias kentut. Tentu wanita itu sangat malu. Imam Hatim tahu akan hal itu, dan sadar bila wanita itu akan sangat malu kalau dia mengetahuinya. Imam Hatim lalu mencoba menyembunyikan hal itu dengan pura-pura tidak mendengarnya. "Bisakah kau mengatakannya lebih keras lagi? Aku tidak mendengarnya. Telingaku ini kurang jelas mendengar perkataanmu." begitu ujar Imam Hatim dalam rangka menutupi aib wanita tsb.



Kembali lagi ... Apa saja lima ketergesa-gesaan yang disunnahkan tersebut? Yaitu :

1. Segera bertaubat dari dosa jika terlanjur melakukan dosa tsb.
Bahkan tak cukup hanya berkata "Astaghfirullah" saja, melainkan juga diniatkan dengan sungguh-sungguh untuk tidak akan mengulanginya lagi, sampai dengan menghindarkan diri dari hal-hal yang berdekatan dengan pengulangan dosa tsb. Semisal telanjur ikut melakukan ghibah, maka selain mengucap istighfar, berniat tidak mengulang, maka juga dilanjutkan dengan menghindari ajakan-ajakan atau suasana yang bisa mengantarkan kepada ghibah itu kembali.


2. Segera menjamu tamu, apabila tamu tersebut telah memasuki rumah.
Dalam istilah Jawa juga dikatakan "gupuh, aruh-aruh, lungguh lan suguh".
Adapun kesungguhan niat memuliakan tamu tersebut pada dasarnya justru akan membawa kita kepada kelancaran rizqi kita sendiri, sebagaimana sunnah Rasul "Seorang tamu yang dijamu, akan membawa rezeki dan menghapus dosa semua anggota penghuni rumah". (HR. Tirmidzi)."


3. Segera mengurus jenazah jika sudah jelas sebab kematiannya.
Dianjurkan kepada para ibu, untuk takziahnya agar tidak sekedar seperti setor beras saja, melainkan meluangkan waktu sesaat untuk ikut menenangkan hati para ahli waris, dan juga mendoakan keluarganya.

Dianjurkan kepada para bapak untuk mensucikan diri / berwudlu sebelum menuju ke tempat takziah, dengan maksud untuk dapat ikut mensholati jenazah ybs. Afdholnya, jamaah sholat jenazah tsb dibuat tiga shaf. Jika pun jamaahnya banyak, dapat dilakukan berganti-gantian.

Terkandung maksud pula untuk menyenangkan para ahli warisnya sehingga lebih tenang dan bahagia sepeninggal jenazah tsb, dengan fikiran bahwa almarhum/almarhumah dihormati oleh banyak jamaah di dunianya.


4. Segera membayar hutang jika telah tiba waktu atau jatuh tempo pembayarannya.
Jika ekonomi kita tidak sulit, tentulah kita tidak perlu berhutang. Namun bilamana kita terpaksa berhutang, dan masih juga kesulitan melunasinya saat tiba jatuh temponya, janganlah pernah kemudian menghindar dengan alasan malu dan sebagainya.

Celaka lagi, jika bukannya malu namun justru malah menutupi dengan menjelek-jelekkan si pemberi hutang. Bahkan sampai tega mendzaliminya. Naudzubillahi min dzalik. Padahal yang seperti inilah yang semakin marak di kalangan masyarakat kita saat ini.

Sepatutnya bilamana kita masih kesulitan membayar hutang tsb, maka beberapa hari sebelum jatuh temponya segera menyampaikan dengan berterus terang perihal kesulitannya, dengan tetap berkomitmen untuk segera membayar hutang bilamana telah ada kecukupan untuk pembayarannya.


5. Segera menikahkan anak perempuannya jika sudah baligh dan jelas jodohnya.
Menjadi keprihatinan kita bersama bilamana saat ini perzinahan di kalangan generasi muda ini sudah kelewat batas. Nilai keperawanan kadang begitu murahnya, ... secara ironis bisa disamakan dengan harga semangkok bakso dan segelas air es teh manis (menu yang umum dipesan saat dua insan berpacaran sebelum nikah). Naudzubillah.

Maka kewajiban dari orang tua yang telah memiliki anak perempuan yg sudah baligh untuk mensegerakan menikahkan anak perempuannya tsb, apalagi jika sudah jelas jodohnya.

Memang kesalah kaprahan di masyarakat kita yang kadang menyulitkan kita sendiri. Walimatul Ursy sesungguhnya tidak mengharuskan dilakukan dengan menyebar ratusan undangan yang se-eksemplarnya senilai minimal 25.000 rupiah. Tidak harus di gedung aula, dengan segala gebyar pesta, kostum, catering, dandanan perias yang mahal, dsb, dsb. Pernikahan itu sudah syah jika ada pengantin laki-laki dan perempuan, wali yang menikahkan, petugas negara yang mencatat pernikahan tsb, dua orang saksi, dan mahar/mas kawin. Dan nilai mas kawinnya pun tak perlu besar, hutang dulu pun boleh.

Lebih sederhananya cukup dilakukan langsung di KUA dengan membawa serta 2 saksi utama, (sehingga pak penghulu tak perlu repot-repot ke sana ke mari menikahkan orang yang terkadang berjauhan lokasi resepsinya), dan selanjutnya cukup diumumkan di rumah bersama keluarga serta tetangga. Jamuan secukupnya saja. Kalau memang ada kelebihan rejeki, ya silakan saja sewajarnya menghormati tamu undangan dari keluarga, teman dan tetangga. (Nggak usah menyediakan celengan yang gede segala, seperti berharap balik modal yang malah merepotkan tamu-tamu kita)


Demikianlah semoga kiranya kita dijauhkan dari sifat ketergesa-gesaan yang berasal dari syaithan, melainkan makin bertambah-tambah kesabaran kita, dan pula kita dapat selalu melaksanakan lima ketergesa-gesaan yang disunnahkan tersebut.




Catatan OMG ... Catatan Oleh-oleh dari Masjid, Gus!

Pengajian Malam Rebo Legi, Masjid Nurul Dholam, PG. Lestari - Patianrowo Nganjuk - 1 April 2014
Pembicara Gus Ni'am Badri dari Baron Nganjuk

Nidzam Al Mahmudi, Sang Milliarder yang Sederhana nan Bersahaja

"Jika anak Adam mempunyai dua telaga dari emas, pasti ia ingin memiliki tiga telaga. Dan tidak puas perutnya kecuali bila ditimbun dengan tanah atau mati." (HR Bukhari dan Muslim)


Orang kaya atau pejabat bergaya hidup mewah sudah menjadi hal biasa bagi masyarakat. Bahkan ada buruh atau pegawai level bawah memakai mobil mahal saat bekerja, pun sudah nyaris menjadi hal yang biasa.

Namun tidak demikian halnya dengan NIDZAM AL MAHMUDI, seorang milliarder, ia tetap tinggal di perkampungan dalam sebuah rumah kecil nan sederhana. Selain penduduk kampung itu sendiri, mungkin tidak ada yang tahu jika ia pengusaha sukses dengan bisnis yang menggurita. Uniknya, secara kasat mata pula, tingkat kemapanan ekonomi para buruhnya seakan lebih tinggi ketimbang dirinya.


Suatu ketika anaknya bertanya, "Mengapa ayah tidak membangun rumah mewah, sementara ayah mampu melakukannya?"


dengan senyum Nidzam menjelaskan :

"Anakku, betapa pun besarnya rumah kita, yang kita butuhkan hanya tempat untuk duduk dan berbaring. Rumah besar sering menjadi penjara bagi penghuninya. Seharian ia mengurung diri menikmati keindahan istananya. Ia terlepas dari masyarakat. Dan ia juga terlepas dari alam bebas yang indah ini. Akibatnya, ia kurang bersyukur kepada Allah."

"Dengan menempati sebuah rumah kecil, saat kalian menjadi dewasa maka kalian ingin segera memisahkan diri dari ayah dan ibu, supaya dapat menghuni rumah yang lebih leluasa."

"Kami dulu hanya berdua, ayah dan ibumu. Kelak akan menjadi berdua lagi setelah kalian semua berumah tangga. Jika ayah dan ibumu menempati rumah yang besar, bukankah kelengangannya akan lebih terasa dan menyiksa?"

"Jika ayah membangun istana, biaya yg besar untuk membangunnya cukup untuk membangun rumah-rumah sederhana untuk tempat tinggal. Berapa banyak orang miskin yang akan terangkat martabatnya? Ingatlah anakku ... Dunia ini disediakan Allah untuk segenap makhluk-Nya dan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup semua penghuninya. Akan tetapi, dunia ini akan menjadi sempit, kecil dan tidak akan pernah cukup untuk memuaskan seorang keturunan Adam yang rakus."



Ditulis kembali dari : Lentera Qalbu, majalah Bilyatimi edisi 169 - Mei 2014

Bakul Tepo vs Bakul Bakso


Suatu hari saat dalam perjalanan pulang ke rumah ibu saya, kami singgah sebentar di SPBU seputar Caruban Madiun. Agenda utamanya sih ke toilet, maklumlah cewek-cewek yang bersama dalam perjalanan saya ini nggak betah-betah banget kalau jalan 1-2 jam tanpa mampir toilet. Syukurlah SPBU di Indonesia ini rata2 cukup komplit, karena selain pom BBM-nya, juga ada toilet, mushola, dan toko, sehingga tak susah2 amat kalo ada hajat hidup yg harus ditunaikan.

Seperti halnya SPBU yg kami singgahi kali ini pun juga komplit demikian, plus pedagang yg "nunut" buka lapak utk jualan jeruk, bakso, penthol dan tepo (tepo ini semacam lontong, khas madiun dan sekitarnya, bentuk bungkusnya segitiga, tidak silinder. Tapi isi, rasa dan daun pisang utk bungkusnya pun sama dengan lontong. Biasanya sbg paduan makan pecel khas madiun dalam porsi kecil).

Selepas menunaikan keperluan, saya tertarik dengan tepo plus ote-ote yg kebetulan dijajakan seorang nenek sepuh di sebelah toko SPBU tsb. Jadilah saya mampir ke beliau untuk membeli tepo tsb. Cukup murah karena sebungkusnya cuman 1.500 rupiah. Namun saya perlu dua bungkus utk benar2 bisa mengatakan pujian "mak nyuuuus" ala pak Bondan, "̮ ƗƗɐƗƗɐƗƗɐƗƗɐƗƗɐƗƗɐ"̮

Selagi saya menikmati bungkusan yg pertama, obrolan saya dg nenek bakul tepo ini pun dimulai. Berawal dari asal rumah beliau, siapa yg memasak tepo tsb, sampai kemudian beliau memberi nasehat yg menarik bagi saya.

"Le, le ... Ojo tuku ning bakul bakso sing kuwi. Mendhing sing ngarep toko kae wae. (Jangan beli ke penjual bakso yang itu, mendingan yg di depan toko itu saja)" begitu kata beliau sambil menunjuk bakul bakso yg dimaksud.

"Kenapa Mbah?" Tanya saya

"Wonge kuwi nyrandu (orangnya itu galak)!" Jawab beliau.

Saya pun tertawa terkekeh mendengar jawaban beliau, kemudian bertanya lagi, "Apa njenengan juga digalaki to Mbah?"

Kemudian beliau menceritakan pengalaman pahitnya ketika sekali-kalinya beli bakso ke pedagang yg dimaksud yg ternyata tidak diperlakukan sbg konsumen semestinya (ingat kan, "Customer is a King/Queen"), bahkan "digalaki" tadi.

Hanya sekali saja tindakan itu terjadi, dan seolah-olah hanya kepada konsumen dari kalangan yg kurang berarti, namun efeknya luar biasa kepada pemasarannya di kemudian hari.

"Saben tiyang tumbas nopo nggih njenengan critani ngaten to Mbah (setiap pembeli apakah Anda beritahu seperti ini)?" Tanya saya yang diiyakan oleh beliau.

Dan benar memang saya lihat pedagang bakso tsb sepi-sepi saja, kalah ramai dengan pedagang bakso yg di depan toko seperti yg ditunjukkan nenek ini tadi.

Bisa dibayangkan saja, jika setiap hari dari mulut nenek tsb menginformasikan "black campaign" ke minimal 10 pembelinya, sungguh menjadi kampanye efektif utk mematikan pemasaran pedagang bakso tsb.

Pesan moral yang bisa kita ambil, bahwa satu perbuatan baik/buruk kita kepada orang lain, dapat memberi efek lanjut yg lebih besar sebagai balasan perbuatan tsb, baik langsung maupun tidak langsung, shg tidak semestinya kita memperlakukan seseorang (siapa pun mereka) dengan cara merendahkannya. Puji atau hormatilah mereka, shg martabat mereka lebih terjaga atau bahkan lebih Anda muliakan.


Selamat pagi Kawan, selamat berlibur puuuuaanjang!

Nganjuk, 24 Mei 2014

Kisah Umar bin Khattab dan Sungai Nil ... dan tradisi syirik di lingkungan kita.

Sering kali, untuk alasan keselamatan dalam bekerja, atau demi lancarnya keberlangsungan suatu acara, atau dengan dalih tertentu untuk menutupi kelemahan berpikir kita, maka kita melakukan permohonan bantuan kepada "sesuatu" yang selanjutnya kebablasan menjadi suatu "tradisi", yg terus-menerus kita uri-uri atau kita lestarikan.
Bahkan bilamana terjadi aral atau ketidak lancarannya prosesi pekerjaan tsb, selalu kita gandengkan dengan hitungan harinya, tumbalnya, dsb, dsb, dsb.

Menuruti apa saja anjuran dukun/paranormal, membuat sesaji-sesaji, menyediakan tumbal (yang biasanya sangat keji caranya), menyembah pundhen/berhala/pusaka, dan makin parahnya justru memerintahkan bawahan kita untuk ikut melaksanakan "tradisi" tersebut secara kolosal.

Naudzubillah, ... Bagaimanapun juga semestinya kita harus senantiasa menanamkan prinsip utama dari kalimat "Laa illaha illallah" ke dalam qalbu dan akal pikiran kita, sehingga terhindarkan menyekutukan-Nya dg "sesuatu yg bodoh" tadi. Syirik = otomatis masuk neraka Jahannam, neraka yang paling dasar dan tidak ada grasi/remisi/abolisi/rehabilitasi apapun untuk keluar darinya.

Sebaiknya dan sebagusnya, marilah kita tauladani bagaimana sikap seharusnya terhadap "tradisi syirik" tsb dari kisah Khalifah Umar bin Khattab dan Sungai Nil berikut ini :

Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab r.a, negeri Mesir telah menjadi bagian dari pemerintahan Islam di Madinah. Sekitar th 20 H, suatu hari perwakilan pemimpin masyarakat Mesir mendatangi sahabat Amr bin ‘Ash r.a yang saat itu ditugaskan Khalifah Umar untuk menjadi Gubernur Mesir.

“wahai Amr, Sungai Nil kami ini memiliki tradisi yang dengan tradisi itu maka arus sungai Nil ini dapat mengalir terus menerus” ujar mereka

lalu Amr bertanya “apakah tradisi itu ?”

mereka menjawab “di malam ke sekian dari bulan ini, kami akan mencari seorang wanita perawan yang paling cantik dan paling sempurna, yang kami ambil dari orangtuanya ... meskipun kami juga akan berusaha membujuk orangtuanya agar merelakan anaknya kami bawa” lanjutnya

“setelah itu, kami akan menghiasnya dengan berbagai perhiasan yang membuatnya sangat cantik, juga pakaian yang paling indah untuknya..”

dengan sedikit ragu mereka meneruskan penjelasannya “... setelah itu kami akan korbankan dirinya dengan membuangnya ke Sungai Nil”

Amr pun langsung menjawab “Astaghfirullah, tradisi ini dilarang dalam islam, sesungguhnya kita harus meruntuhkan tradisi syirik seperti ini!”

jawaban tegas dari Amr membuat mereka diam dan tidak berani berbuat apa apa.

Dan sungguh, dalam kenyataannya beberapa hari kemudian sungai Nil menjadi kering sekering keringnya.

Telah beberapa bulan berlalu, Sungai Nil tidak sedikitpun mengalirkan airnya, sehingga muncul suara-suara sumbang dari penduduk sekitar sungai Nil terhadap kebijakan Gubernur, akibat kepayahan mereka tanpa adanya air dari Nil. Penduduk yg telah tidak tahan dg kepayahan tsb telah bersiap siap melakukan eksodus, mengungsi dari Mesir.

Amr bin Ash segera mengirim surat kepada Khalifah Umar memberitakan kejadian tersebut, dan mohon solusi secepatnya.

Dalam balasan suratnya khalifah Umar berkata “sesungguhnya kebijakan yang kau (Gubernur Amr bin Ash) ambil sudah tepat,.. dan aku telah mengirim bersama surat ini sebuah lembaran. maka lemparkanlah lembaran ini ke dasar sungai Nil”

Maka Amr bin ‘Ash segera ketepian sungai Nil untuk melakukan perintah Khalifah Umar, melemparkan sebuah lembaran dari Khalifah ke dasar sungainya.

Dan di pagi harinya, tentu atas ijin Allah, sungai Nil telah kembali mengalirkan airnya. Bahkan dalam hari itu pula permukaan air bertambah tinggi sehingga kembali menggenangi keringnya seluruh sungai Nil yang luas dan panjang. Dan sejak tahun itu, tradisi syirik jahiliah di Mesir terkait sungai Nil hingga sekarang telah dihilangkan.

Gubernur Amr bin ‘Ash sendiri masih mengingat isi lembaran yang harus ia lemparkan itu, yang hanya berupa tulisan/surat yang bunyinya;

“dari hamba Allah Umar bin Khattab kepada Sungai Nil milik penduduk Mesir, Amma ba’du : “jika engkau mengalir karena dirimu dan atas keinginanmu sendiri, maka tidak usah kau mengalir dan sungguh kami tidak membutuhkanmu karena hal itu. tetapi jika engkau mengalir karena perintah Allah Yang Maha Satu dan Perkasa, sebab Dia-lah yang membuatmu mengalir, maka kami memohon kepada Allah agar membuatmu mengalir”




Semoga menjadi pencerahan bersama,

Nganjuk, 11 Mei 2014

Kisah Tabib Bian Que dan Penyakit Kaisar

Tersebutlah di era 400 s.d 300 SM di daratan Cina, pada masa pemerintahan Kaisar Chia Huangkung, seorang tabib yang sangat ahli bahkan sampai disebut-sebut sangat sakti. Nama tabib tersebut adalah Tabib Bian Que.

Pada suatu hari, ketika memasuki ibukota kerajaan Tabib Bian Que berkenan menghadap sang Kaisar untuk mengabarkan kondisi kesehatan masyarakat di kerajaan tsb. Setelah usai menyampaikan berita, Tabib Bian Que kemudian berkata :

"Duhai Kaisar yang agung, aku melihat ada penyakit yang menempel pada kulitmu. Perkenankanlah aku mengobatinya."

Kaisar demi mendengar perkataan tsb tentu saja terkejut, namun gengsinya mengalahkan kebijaksanaannya, meskipun yang memberi saran adalah seorang tabib yang sudah tersohor kepandaiannya. Sang Kaisar menjawab :

"Tidak, aku tidak sakit, dan aku tidak berpenyakit."

Setelah mendengar jawaban sang Kaisar tsb, Tabib Bian Que segera berpamitan meninggalkan sang Kaisar. Sepeninggal sang tabib, sang Kaisar berkata kepada para menterinya :

"Ya namanya saja tabib, tentu saja cuma berniat jualan obatnya. Orang tidak sakit pun diaku-aku sakit."

Hari pun berganti hari, minggu kemudian berganti minggu. Telah 2 minggu semenjak kedatangannya yang lalu, Tabib Bian Que menghadap Kaisar kembali, dan menyampaikan :

"Wahai Kaisarku yang agung, aku melihat penyakit itu sudah memasuki dagingmu. Perkenankanlah aku menyembuhkannya."

Kaisar seketika itu marah, dan berkata lantang :

"Hai Tabib, aku ini sehat-sehat saja, dan tidak berpenyakit."

Sekali lagi sang tabib kembali dari istana kaisar tanpa hasil sama sekali. Dan berulang beberapa minggu kemudian sang tabib kembali menemui kaisar.

"Wahai Kaisarku yang agung, aku melihat penyakitmu telah memasuki ususmu. Ijinkanlah aku untuk segera menanganinya, sebelum semuanya terlambat."

Sebenarnya kala itu sang kaisar memang telah merasakan rasa sakit yang cukup payah dalam tubuhnya. Namun masih saja rasa gengsinya karena telah dua kali berhasil mengusir sang tabib, mengalahkan kejernihan berpikirnya. Dan sekali lagi sang kaisar menolak permintaan sang tabib, bahkan malah mengusirnya lagi.

Tak berselang lama, sang Kaisar betul-betul jatuh sakit yang amat parah sehingga tak dapat beranjak dari pembaringannya. Barulah kejernihan berpikirnya sebagai seorang raja membawanya utk menekan rasa gengsinya. Ia pun bertitah kepada perdana menterinya utk memerintahkan para pengawal menjemput Tabib Bian Que untuk mengobati sakitnya.

Namun apa yang terjadi kemudian ketika sang Tabib telah datang ke kamar peristirahatan sang Kaisar? Demi melihat kondisi sang kaisar, Tabib Bian Que justru langsung balik kanan hingga nyaris berlari pergi. Para pengawal dengan sigap menghalangi langkah sang Tabib. Kemudian perdana menteri memanggil kembali sang tabib untuk memohon penjelasan.

"Kaisarku yang agung dan tuan perdana menteri, maafkanlah aku. Kedatanganku kini sudah terlambat. Penyakit kaisar telah memasuki tulang. Jika kemarin masih berada di kulit, aku masih bisa mengobati dengan memberikan ramuan dalam bak mandi kaisar. Saat penyakit itu masih berada di dalam daging, jarum akupunturku masih mampu menyembuhkannya, dan ketika penyakit itu memasuki usus, aku masih memiliki jamu-jamu untuk menghilangkan penyakit itu. Sekarang aku sudah tidak berdaya mengobati Kaisarku yang agung. Aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Hanyalah sang raja neraka yang dapat menyembuhkannya. Perkenankan saya mohon diri."

Benarlah apa yg disampaikan sang Tabib, beberapa hari kemudian sang Kaisar pun mangkat karena sakitnya.

Sang putra mahkota setelah pelantikannya sebagai Kaisar pengganti ternyata cukup bijaksana. Ia menyampaikan kepada para menteri dan masyarakatnya, "Sedini mungkin suatu ketidak baikan muncul, haruslah bersegera kita memperbaikinya. Jika telah berlangsung lama, segala sesuatunya akan terlambat dan sia-sia. Rasa malas akan membawa kehancuran. Dan seorang raja dan para pemimpin haruslah terbuka akan pendapat atau masukan dari masyarakatnya, terlebih dari para cerdik pandai dan para ahlinya."


Nganjuk, 4 Juni 2014

SAAT MENATA BEKAL UNTUK PERPISAHAN

Saya yakin, semua kawan-kawan di sini pasti mencintai dan menyayangi dengan amat sangat seluruh keluarganya. Kepada suami/istri, kepada anak cucu cicit, kepada ayah ibu, kepada kakak adik, dan kepada saudara2 yg lain. Walaupun setiap hari ada saja yg diributkan, buah pertengkarannya hingga kadang saling mendiamkan, tetapi dengan adanya rasa cinta dan sayang itu pasti akan saling melekatkan satu sama lain. Tak ada yg ingin keluarganya sakit atau disakiti, tak ada yg ingin keluarganya terkena bencana ataupun musibah.


Tak hanya keluarga, demikian pula dengan sahabat-sahabat karib kita, kita pun tak rela jika mereka jatuh sakit, terkena cobaan dan musibah. Tetapi ... Yang sebatas kita mampu upayakan hanyalah mengobati si sakit, dan menolong yg sedang terkena musibah. Itu saja.


Ketika tiba saat kita berpisah atau dipisahkan, baik yg sifatnya sementara ataupun yg selamanya, itulah sesuatu yg tak mampu kita berbuat apapun utk mencegahnya, sering kali kita lupa bahwa masa itu PASTI DATANG dan PASTI TERJADI.


Saat perpisahan yg bersifat selamanya itu adalah MAUT yg kelak menjemput kita. Entah itu sedetik lagi, sehari berikutnya, sebulan kemudian atau bahkan berpuluh tahun yg akan datang.


Ada banyak macam sikap yg muncul terhadap datangnya saat perpisahan tersebut. Terkadang bahkan ada yg tak terima dengan kenyataan perpisahan itu, sehingga kemudian menyalah-nyalahkan orang lain yg dianggap tdk berusaha keras utk mencegahnya terjadi, hingga terkadang kebablasen .... Menyalahkan TUHAN.


Ada pula yg sedemikian takutnya bertemu dengan kematian, sehingga jika dia kaya maka diupayakan segala pengamanan berlapis-lapis untuk menjaga nyawa satu-satunya itu dengan mepekerjakan bodyguard yg jago gelut atau bahkan tentara bayaran satu batalyon, anjing2 galak di balik tembok pagar rumahnya yg seperti benteng, semua orang yg akan bertemu dengannya dan makanannya pun harus "steril".


Ada yg menurut saya lebih gila lagi, karena sudah tak tahan dengan beratnya cobaan hidup, justru meminta-minta agar kematiannya disegerakan. Bahkan hingga BUNUH DIRI.


Yg tak kalah gila dan terkutuknya adalah orang-orang yg sedemikian ringan hatinya utk mendatangkan kematian atau mempercepat kematian bagi orang lain. Kita sudah pasti mengutuk orang2 seperti Hitler, Mussolini, Stalin dan Westerling yg mewakili para pembunuh2 keji itu. Tapi sadarkah kita akan peranan diri kita sbg "pembunuh yang tersamarkan"? Mengendarai kendaraan secara ugal-ugalan, makan dengan pola yg tidak sehat, tidak berolahraga, bekerja secara ceroboh, merokok, konsumsi psikotropika/miras, dan sex bebas juga termasuk dalam golongan itu. Sadarkah kita?


Orang bijak mengatakan bahwa "penyesalan hanya datang di akhir kemudian", ... karena yang datang di awal itu namanya "pendaftaran", hehehehe ... Senyampang kita belum bertemu ujung akhir dari sebuah acara perpisahan, bolehlah kita menata bekal bagi diri kita maupun anggota keluarga kita.


Bekal apa saja itu?


1. Bekal hatinya
Ingatkan terus diri kita dan keluarga kita bahwa siapa pun pastilah akan tiba masa perpisahan, entah kapan dan bagaimana kejadiannya. Sehingga tak perlu takut untuk meninggalkan atau pun ditinggalkan.

Ingatkan pula bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara, bukan kehidupan yang sesungguhnya akan abadi kelak. Justru kebahagiaan bagi mereka yg telah tiba waktunya, jikalau bekal mereka telah siap jauh-jauh hari. Tak perlu lagi mereka risau dengan naiknya tarif listrik dan bbm, setoran target perusahaan, ruwet dan macetnya jalan ke tempat kerja, atau masalah2 dunia yg lainnya.


2. Bekal materi utk yang ditinggalkan
Sebelum bepergian, pastikan kita telah menyiapkan materi untuk yg akan ditinggalkan.
- Uangnya utk belanja/biaya hidup, bahkan jika perlu jaminan hidup dalam jangka panjang berupa tabungan/investasi/asuransi.
- ilmu pengetahuannya utk tak sekedar bisa survive, bahkan harus overcome dalam kehidupannya,
- akhlaknya yg teguh dlm menjalani hidup agar kelak bertemu di tempat yg sama dg yg kita janjikan nantinya


3. Bekal untuk jarak dekatnya utk yg akan bepergian.
Sifat bekal adalah utk urusan duniawi, misal progres dan tanggung jawab pekerjaan2nya shg tidak membebani siapapun yg kelak jadi penerusnya.
Tak hanya yg intern dalam diri sendiri, namun juga yg melibatkan orang lain juga harus disiapkan.
Mencerdaskan anak buah dan anak didik adalah salah satu contohnya.


4. Bekal untuk jangka panjangnya utk yg akan bepergian.
Inilah bekal yg akan dibawa masing2 utk melalui alam barzah hingga sampai alam akhir.
Kelas mana yg kita pilih nantinya tergantung dari bekal ke-4 ini.
Jika ingin kelas VVIP yg eksklusif dan serba nyaman, ya tentu harus ikhlas doa dan niatnya, berlebih-lebih amalannya, tegak akhlak dan iman taqwanya, tak tertinggal wajib dan sunnahnya, terperhatikan amal muamalahnya.


Jika sekedar kelas Bisnis atau ekonomi, ya asal serba baik saja ketaqwaannya mungkin cukuplah.


Jika suka perjalanan akhir yg penuh "tantangan" dan pengin merasakan kelas "adventuring" yg penuh siksaan, justru lebih gampang bekalnya ... Eh, malah nggak usah menyiapkan apa2. Hehehehe, siapa tahu tetap bisa eksis dan survive. Siapa tahu ya?


Coba disimak sebuah syair lagu Acil Bimbo berikut ini (kalau paham lagunya, bolehlah sambil dinyanyikan, asal tidak mengganggu orang di sekitarnya) :


Hidup bagaikan garis lurus, tak pernah kembali ke masa yang lalu
Hidup bukan bulatan bola yang tiada ujung dan tiada pangkal


Hidup ini merangkak terus, semakin mendekat ke titik terakhir
setiap langkah hilanglah jatah menikmati hidup nikmat di dunia


Pesan nabi tentang mati
jangan takut mati karna pasti terjadi
Setiap insan pasti mati, hanya soal waktu


Pesan nabi tentang mati
janganlah minta mati datang kepadamu
dan janganlah kau berbuat menyebabkan mati


Tiga rahasia Illahi yang berkaitan dengan hidup manusia
Kesatu tentang kelahiran
Kedua pernikahan
Ketiga kematian


Penuhi hidup dengan cinta, ingatkan diri saat untuk berpisah
Tegakkan sholat lima waktu dan ingatkan diri saat disholatkan


Pesan Nabi jangan takut mati
meski kau sembunyi, dia menghampiri
takutlah pada kehidupan sesudah kau mati
Renungkanlah itu




Selamat bersiap-siap, Kawan!




1st December 2013 ...
ditulis ulang sbg kenangan bersama abah H. Setiyanto

Sebuah Pidato Kenegaraan Yang Sesungguhnya

Makkah, dalam pelaksanaan haji th. 23 Hijriyah

Amirul Mukminin Umar ibn Khattab r.a berdiri di hadapan seluruh jamaah haji, untuk menyampaikan khutbahnya sbb :

"Tugas penguasa yang paling penting terhadap rakyatnya,
adalah mendahulukan kewajiban mereka terhadap Allah,
seperti yang dijelaskan di dalam agama sebagai petunjuk-Nya.

Tugas kami untuk meminta kalian,
memenuhi apa yang Allah perintahkan kepadamu
sebagai Hamba-Nya yang taat,
serta menjauhkan kalian dari perbuatan maksiat terhadap Allah.

Kami juga harus menerapkan perintah-perintah Allah
di mana mereka diperlakukan sama untuk setiap orang, dalam keadilan yang nyata.

Dengan begitu, kita memberikan kesempatan kepada orang bodoh untuk belajar,
yang lengah untuk memperhatikan, dan seseorang yang sedang mencari contoh untuk diikuti

Untuk menjadi orang beriman yang sejati, tidak didapatkan dengan mimpi,
tetapi dengan perbuatan yang nyata.
Makin besar amal perbuatan seseorang, makin besar pula balasan dari Allah
dan Jihad adalah puncaknya amal kebaikan.
dan Barangsiapa yang ikut berjihad dan meninggalkan perbuatan dosa
dan ikhlas terhadapnya
sebagian orang menyatakan telah ikut berjihad,
tetapi jihad di jalan Allah yang sesungguhnya adalahmenjauhkan diri dari dosa.

Tidak ada yang disayangi Allah yang Maha perkasa, dan bermanfaat bagi manusia
daripada kebaikan pemimpin berdasarkan pemahaman yang benar dan wawasan yang luas.
Tidak ada yang paling dibenci Allah selain ketidaktahuan dan kebodohon pemimpin

Demi Allah, aku tidak menunjuk gubernur dan pejabat di daerah kalian
sehingga mereka bisa memukulmu atau mengambil hartamu.
Aku mengirim mereka untuk membimbing kalian dalam agama kalian
dan mengajarkan sunnah nabi shalallahu 'alaihi wassalam
barang siapa yang diperlakukan tidak adil, segera laporkan padaku

Demi Allah yang nyawaku di tangan-Nya,
aku akan menegakkan keadilan terhadap kezaliman mereka.
dan jika aku gagal, aku termasuk orang-orang yang tidak adil.

Lebih baik bagiku mengganti gubernur tiap hari
daripada membiarkan orang zalim sebagai pejabat dalam sejam

Mengganti gubernur lebih mudah daripada merubah rakyat.
Apabila semuanya yang dibutuhkan rakyat disiapkan dengan baik
untuk mengganti gubernurnya, maka itu hal yang mudah.

maka barangsiapa yang mengurusi urusan orang Muslim
bertakwalah kepada Allah dalam memperlakukan rakyatnya.
kepada semua pejabat, jangan memukuli orang untukmenghinakan mereka.
jangan meniadakan hak mereka, dan tidak mengurus mereka
dan jangan menyusahkan mereka sehingga mereka terasa berat.

Wahai Manusia, jika kamu telah menyelesaikan ritual haji,
orang dari daerah yang berbeda berkumpul denganku, gubernur dan pejabatnya.
Sehingga aku bisa melihat situasi mereka.
Aku akan mendengarkan keluhan mereka dan memberikan keputusanku,
memastikan yang lemah diberikan haknya, dan keadilan ditegakkan semua."


(dicuplik dari film sejarah Umar Ibnu Khattab episode 1-30)

Surat untuk Ananda

Anandaku tersayang,

Bilamana HARI INI ayahbunda selalu cerewet memperingatkanmu,
Akan saatnya sembahyang,
Akan saatnya mandi atau makan,
Akan saatnya belajar dan mengaji,
Akan saatnya menyiapkan barang2mu sendiri,
Itu agar ananda selalu ingat WAKTU ananda yang paling berharga.


Anandaku terkasih,

Bilamana HARI INI ayahbunda selalu ribut meminta bantuanmu,
Untuk ikut membersihkan rumah,
Untuk ikut merapikan perabotannya,
Untuk membantu memasak dan menata hidangan di meja makan,
Untuk menolong berbelanja di toko sebelah,
Untuk mengantar sesuatu ke sana ke mari,
Itu agar ananda selalu terbiasa BEKERJA dan RINGAN TANGAN membantu orang lain


Anandaku tercinta,

Bilamana hari ini ananda masih belum ikhlas dengan peringatan dan permintaan ayahbunda,
Janganlah menjawab dengan omelan-omelanmu,
Janganlah menjawab dengan keluhan-keluhanmu,
Janganlah menjawab dengan alasan-alasanmu,
Agar hatimu tak semakin berat menggapai IKHLAS hingga kelak nanti,

KELAK bilamana ananda harus mulai hidup mandiri jauh dari ayah bunda,
KELAK bilamana ayahbunda tutup usia,
KELAK bilamana ananda berganti menjadi ayahbunda bagi cucu2nda
KELAK bilamana Ananda tersadar bahwa ridlo Allah adalah ridlo ayahbunda,
KELAK bilamana Ananda mengerti bahwa surga di bawah telapak kaki ibunda

Bersabarlah, Nak!
Kuatkanlah hatimu dengan energi ikhlasmu dan imanmu,
Simpanlah dulu omelan, keluhan dan alasanmu itu jauuuuuh di dasar bumi sana,
Dan silakan ceritakanlah hari2 terpedihmu, seperti HARI INI,
nanti bilamana ananda telah mandiri dan menjadi ayahbunda pula seperti kami

Sajadah Milik Pierre (Bagian 5 - Terakhir)

Langkah kaki Pierre bersama Sebastian semakin cepat saja, bahkan setengah berlari. Degupan jantungnya pun makin kencang saja. Bukan terengah-engah karena setengah berlari itu yang membuat degupnya makin kuat, namun lebih karena ketakutan mereka. Takut bilamana mereka tertinggal menunaikan jamaan ashar, sedangkan tadi mereka telah lalai dengan adzan yang sudah jelas mereka dengar. Sibuk dengan urusan belanja seusai jamaah jumat tadi.


"Allah hanya memanggil kita 3 kali dalam hidup ini," ustad Abou Baker pernah mengingatkan hal yang penting tentang adzan itu. "Yang pertama adalah panggilan adzan, yang menyeru kita untuk bersegera sholat. Yang kedua adalah panggilan berhaji atau setidaknya berumroh bila mampu. Dan terakhir adalah panggilan saat kematian kita nantinya."

"Adzan itu adalah panggilan Allah yang pertama. Panggilan ini sangat jelas terdengar di telinga kita, bahkan sangat kuat terdengar. Ketika kita sholat, sesungguhnya kita menjawab panggilan Allah. Tetapi Allah masih fleksibel, Dia tidak 'cepat marah' akan sikap kita. Kadang kita terlambat, bahkan tidak sholat sama sekali karena malas. Allah tidak marah seketika. Dia masih memberikan rahmat-Nya, masih memberikan kebahagiaan bagi umat-Nya, baik umat-Nya itu menjawab panggilan Adzan-Nya atau tidak. Allah hanya akan membalas umat-Nya ketika hari Kiamat nanti" tegas ustadz Abou Baker kembali.

Tak terasa air mata Pierre menitik dan mulai membasahi pipinya, saat kaki-kakinya mulai menapaki jalanan di bawah Menara Jam. Iqomah sudah mulai dikumandangkan, mereka tak bisa mengejar tempat di dalam lingkungan masjid Al Haram. Mau tidak mau, mereka harus bergabung dengan jamaah lain yang mulai menggelar sajadah mereka di trotoar atau selasar pertokoan di bawah Menara Jam itu. Tak memungkinkan menerobos jamaah yang sudah mulai berhenti berjalan itu. Dzalim malah lebih dekat dengan mereka jika tetap menerobosnya.

"Kamu masih punya wudhu?" tanya Sebastian kepadanya.

"Entahlah, ... kamu sendiri bagaimana?" Pierre balik bertanya.

"Aku belum batal. Ini pakailah untuk berwudhu." jawab Sebastian sembari mengulurkan botol minum kepada Pierre. "Basuh secukupnya saja." pesan Sebastian menyambungkan. Pandangannya sambil menyapu ke arah yang lebih layak untuk mereka sholat, saat Pierre memulai wudhunya di pinggir trotoar di depan toko roti Broast. Kumandang iqomah sudah hampir berakhir, namun mereka masih belum bersiap pula di dalam barisan sholat.

Seorang laki-laki tua dengan jenggot yang disemir merah, umumnya jamaah haji dari Bangladesh memakai pewarna dari tumbuh-tumbuhan untuk menyemir rambut, kumis dan jenggot mereka, tampak melambaikan tangan mengajak mereka merapat ke shaf yang telah disusun laki-laki tua itu bersama dua jamaah yang lain. Sebastian segera merapatkan diri, berniat dan segera bertakbiratul ikrom. Pierre segera menyusul di sebelah kanannya.

Tanpa alas sajadah sama sekali, Pierre merasakan sengatan panas ketika paving trotoar itu bersentuhan dengan dahi pada setiap sujudnya. Ya, walaupun sudah masuk waktu ashar pun, tempat berpijak mereka saat itu masih cukup mendapat terik sinar matahari. Apalagi suhu udara Makkah saat ini bisa mencapai 45 sampai 47 derajat Celcius. Maka tak ayal kemudian, Pierre pun menangis terisak-isak dalam sholatnya. Di dalam hatinya terus berdzikir beristighfar memohon ampun atas kesalahannya melalaikan panggilan sholat ashar tadi. Ia merasa Allah sedang menghukumnya saat itu juga. Air wudhu sudah tak berbekas sama sekali di kulitnya saking panasnya pavement di sore itu.

"Ini masih ashar saja sepanas ini, bagaimana kalo ini waktu dhuhur? Terima kasih ya Allah, aku ikhlas Engkau hukum seperti ini. Aku lalai ya Allah, ampunilah aku. Sayangilah aku ya Allah!" jerit dalam hatinya berulang-ulang seperti gemuruh ombak yang bergulung-gulung tiada usai dan memecah di tepi pantai saja. Isak tangisnya masih susul menyusul, bahkan hingga jamaah fardhu selesai berganti dengan ajakan muadzin berjamaah berikutnya untuk shalat jenazah. Di Al Haram, hampir setiap usai jamaah fardlu selalu disusul dengan sholat jenazah.

"Lain kali atur waktu dan rencana lebih baik lagi. Malu aku kalau tertinggal seperti ini." gerutu Pierre pada dirinya sendiri setelah jamaah ramai mulai berdiri dan bubar. Sesekali tangannya berusaha menyeka mata dan pipinya. Sebastian yang mendengarnya hanya tersenyum. Ia pun juga mahfum akan gerutuan sahabatnya itu.

Sebenarnya rancangan mereka tadi sudah cukup baik. Jam satu seusai jamaah jumat, mereka segera bergegas ke arah pertokoan di distrik Misfalah selatan Al Haram. Harapannya mereka punya cukup waktu sekitar dua setengah jam sebelum masuk waktu ashar, untuk berbelanja atau setidaknya survey barang di Misfalah sana. Itu sudah cukup dengan bolak-baliknya juga, semestinya. Namun naasnya, mereka tak menyadari bahwa bubaran jamaah jum'ah dari Haram menuju Misfalah, sebagaimana juga ke arah Jarwal dan Aziziah, merupakan perjuangan menembus rapatnya manusia yang seolah berbaris dalam gerakan perlahan. Sehingga jarak pertokoan yang tak lebih jauh dari setengah mil itu pun baru bisa mereka jangkau dalam waktu setengah jam pula.

Ditambah lagi akibat tersesat arah karena belum pernah melancong sama sekali ke daerah itu. Mereka sempat berbelok ke kanan ke arah Bakhutmah, karena jalannya yang tampak lebih besar dan lebih banyak pula jamaah yang berbelok ke arah itu.

Meskipun semalaman mereka sudah banyak bertanya kepada Diouf, petugas hotel Le Meridien tempat mereka menginap dan yang dulu bertugas mendampingi umroh awal mereka, namun karena tak dilanjutkan dengan melihat ke lokasi langsung, akhirnya mereka tersesat juga. Sebenarnya pula, hotel Le Meridien sangat dekat dengan blok pertokoan ini, karena Le Meridien di sebelah timur bukit Misfalah, dan pertokoan di sebelah baratnya. Hanya saja itu harus ditempuhi dari terowongan yg juga rutin dilalui bus Saptco pada arah pulangnya dari Menara Jam.

Apesnya bagi mereka berdua, bahasa Inggris keduanya tak begitu fasih, didukung aksen perancis mereka yang sengau, membuat percakapan mereka dengan orang-orang yang mereka jumpai cukup menyulitkan untuk saling paham. Bangsa Arab, India, Asia Timur maupun rumpun Melayu yang banyak mereka temui di distrik pertokoan itu semuanya kesulitan bercakap-cakap dengan mereka.

Nasib baiknya, setelah sempat berputar-putar tak tentu arah di daerah pertokoan itu, hingga sempat kebablasan di bawah fly over tempat pembagian halalan dari Raja Arab, akhirnya mereka berjumpa dengan seorang pemuda asal Indonesia yang bisa berbahasa Perancis pula di seputaran kios buah. Pemuda itu bahkan rela menemani mereka mencari-cari toko dan barang yang sedang mereka tuju.

Sebenarnya, Pierre ingin membeli sajadah berwarna ungu yang tampak cantik saat dilihatnya beberapa hari sebelumnya. Sajadah Turki yang dipegang oleh Fatimah, seorang nenek dari Indonesia pula. Ia sempat mencari di toko-toko di dalam Menara Jam, namun tak ditemuinya sajadah yg sama dengan milik nenek dari Indonesia itu. Sekarang kebetulan ada seorang Indonesia yang menemaninya, ia pikir pemuda Indonesia itupun tahu pasti letak toko yang menjual sajadah yang sama persis dengan milik nenek tersebut. Sayangnya, walaupun pemuda yang menemani mereka itu pemuda Indonesia, dan pertokoan Misfalah juga merupakan pusat perdagangan karpet, sajadah, kain dan pakaian yang sangat lengkap di Mekkah, akan tetapi bahkan ketika adzan ashar mulai berkumandang pun mereka belum pula menjumpai sajadah yang diidam-idamkan itu. Banyak pilihan sajadah, namun belum sama dengan yg diinginkan Pierre.

Usai bangkit dari trotoar tempat sholat tadi, mereka mulai menepi dan meneruskan berjalan ke arah serambi Al Haram. Proritas mereka saat ini untuk merampungkan jamaah maghrib dan isya di dalam masjid dulu, rencananya di lantai atas bergabung dengan rombongan mereka yang lain yang dipimpin Abdullah. Mereka sudah saling berjanji untuk bertemu di depan gerbang no. 91, di bawah tiang lampu terdekat. Urusan belanja belakangan saja. Nyali mereka betul-betul ciut jika sampai tak bisa berjamaah dengan baik seperti tadi, apalagi bila sampai terlewatkan jamaahnya. Langkah mereka sempat terhambat kerumunan orang yang mulai memesan makanan di toko roti yang mulai buka kembali. Semua toko memang menutup counternya saat jamaah fardlu, bahkan semua staffnya pun ikut bergabung berjamaah di trotoar atau selasar di depan tokonya masing-masing. Begitu jamaah usai, aktivitas dagang pun dimulai kembali. Seperti halnya toko roti itu tadi.



Jelang pukul lima sore, di dalam masjid Al Haram, Sayid mulai terkantuk-kantuk saat mendarus Al Quran-nya. Ia terpaksa harus mengulangi bacaannya dari ujung atas halaman bilamana terlewatkan ayat mana dia terakhir kali membaca sebelum akhirnya terkantuk-kantuk lagi. Selepas ashar memang waktu yang paling berat baginya. Di waktu yang lain, ia bisa bebas bergerak sehingga tidak sampai mengantuk dengan menunaikan sholat-sholat sunnah, selain pilihan mendarus Al Quran. Namun jika lepas ashar, tak ada pilihan lain selain mendarus Al Quran. Ada pula pilihan untuk tidur-tiduran saja di sini, atau malah sekalian thawaf di bawah sana. Ia tak sampai hati untuk merebahkan diri beristirahat sejenak seperti beberapa jamaah yang lain di dekat situ. Khawatir jika betul-betul tertidur, dan harus mengulang wudhu di saat yang sudah dekat dengan adzan, karena ia tak sanggup untuk bolak-balik dari tempat wudhu di serambi masjid di bawah sana dan kembali ke lantai tiga ini. Oleh karenanya, wudhunya betul-betul dijaga agar tak sampai batal bila sudah tinggal setengah jam dari waktu adzan. Untuk ke kamar kecil di bawah tanah serambi sana, biasanya hanya dilakukannya bila sudah persis selesai jamaah fardhu. Waktunya akan sangat longgar. Bahkan cukup pula waktu untuk memesan segelas teh susu dan sekotak kentang goreng di toko roti sana.

Beberapa rekan memang ada pula yang berwudhu di tempat kran air zamzam. Namun baginya untuk menyia-nyiakan zamzam seperti itu bila tidak terpaksa dan mendesak betul merupakan satu hal yang berat. Malu sekali rasanya kepada Allah bila ia harus berbuat berlebihan seperti itu. Demi mencegah kantuknya, sebotol sprayer yg telah diisi air dari kamar penginapan disemprotkannya guna membasahi dan membasuh wajahnya. Percikan air itu cukup menyejukkan kulitnya di saat udara Al Haram mulai kering dan panas seperti sore ini. Hatinya mulai menimang-nimang, apakah dia sebaiknya turun ke lokasi thawaf di bawah sana atau dia akan tetap duduk di sini saja sambil menahan kantuknya. Belum selesai ia menimang-nimang, tiba-tiba bahunya disergap oleh tangan yang cukup kuat milik pak Mursyid, ketua regunya.

"Mbah Sayid di sini rupanya." pak Mursyid atau rekan-rekan yang lain lebih akrab memanggilnya pak Karu membuka percakapan. "Dengan siapa di sini Mbah?"

"Enggih Mas, cuma sendirian. Tadi dengan pak Tono dan pak Mochtar waktu jumatan. Trus, mereka pamitan makan siang kok belum balik lagi ke sini. Mungkin pindah di tempat lain. Kebetulan ada Njenengan di sini sekarang, saya nggak jadi ngantuk. Hehehe" jawab Sayid menimpali pertanyaan pak Karu.

Pak Karu cuman ikut terkekeh mendengarnya. "Lha mbok dipakai tadarusan, ketimbang ngantuk, mbah!"

"Sampun, Mas. Dapat lima klebet, mata saya sudah minta merem terus. Klira-kliru wae ini tadi, mesti ngulangi dari atas lagi di halaman terakhirnya. Saya nyerah wis, ga kuat." terang Sayid.

Tak berselang lama obrolan mereka mulai berganti tema. Dari membicarakan sisi barat bangunan di Haram yang terus dikebut penyelesaiannya, berganti kabar bu Tutik salah satu jamaah rombongan mereka yang pagi tadi harus dilarikan ke rumah sakit, terus persiapan ke Armina dalam waktu dekat, hingga tentang cara menembus rapatnya barisan thawaf di seputaran Hajar Aswad, Multazam dan Hijir Ismail.

"Njenengan sudah bisa sampai di sana semuanya, mbah?" tanya pak Mursyid yang dijawab dengan gelengan pelan Sayid.

"Belum, Mas. Dua kali saya coba mepet ke sana, kalah kuat dengan jamaah-jamaah lain. Saya kalau harus rebutan begitu nggak bisa, Mas. Saya takut dzolim." jawab Sayid lirih. Pandangan matanya menatap lekat ke arah Multazam Ka'bah, yang berada di antara hajar aswad dan pintu Ka'bah. Sinar matanya masih memancar seperti menegaskan api harapannya untuk dapat menggapai Hajar Aswad dan Multazam, sekaligus sholat sunnah di Hijir Ismail.

"Habis maghrib nanti turun ke sana bareng saya nopo pripun, mbah? Kita coba lagi, siapa tau Gusti Allah paring gampil semuanya" pak Mursyid mengajak thawaf selepas jamaah maghrib. Sayid menoleh dan menatap erat ke wajah Mursyid seolah-olah berharap tidak salah dengar.

"Bakdo maghrib itu pas padat-padatnya lho Mas." ada keraguan terbersit dalam jawabannya.

"Sepertinya begitu, mbah. Asalkan niat kita kuat, insya Allah diparingi gampil." Mursyid menyemangati kembali. Tak berselang lama, adzan maghrib berkumandang menghentikan percakapan mereka. Keduanya pun mulai bersiap merentangkan sajadah mereka kembali.


Di saat bersamaan dengan Sayid dan Mursyid menggelar sajadahnya, serombongan orang yang tinggi besar menyeruak menembus ke shaf-shaf terdepan. Sayid beringsut merapatkan barisannya dengan Mursyid, untuk memberi ruang yang lebih lapang kepada jamaah lain yang terdesak oleh rombongan yang baru datang tadi.

Di ujung belakang rombongan tadi tampak tergopoh-gopoh Pierre bersama beberapa rekannya yang lain, tampaknya ia cukup terhambat untuk mencapai shaf di lantai 3 ini bersama rekan-rekan satu rombongan yang telah bertemu di depan gerbang masjid ini. Pierre ikut menyusul menerobos barisan sholat yang tampak agak longgar setelah didesak rombongan di depannya. Kebetulan sekali lokasi barisan yang mereka tuju di depannya sudah penuh, sehingga sebagian yang lain terpaksa mundur kembali. Demikian pula dengan Pierre dan kawan-kawannya, terpaksa membuat shaf yang benar-benar baru di antara shaf depan yg telah penuh dan shaf Sayid di belakangnya yang juga telah penuh, karena tidak kebagian barisan. Bahkan kakinya saat ini berpijak di bagian atas sajadah milik Sayid. Ia gugup menemui dirinya berada di tempat yang "salah" ini. Konsentrasinya jadi kacau, bahkan keringatnya mulai menitik di dalam udara yang kering di dalam masjid Al Haram ini.

Sayid demi menemui tempat sholatnya menyempit tinggal kurang dari 3/4 panjang sajadahnya saja, hanya melafadzkan istighfar secara beruntun, sambil menegaskan keyakinan dalam hatinya seperti yang telah dialami sebelumnya.

"Tidak ada tempat sempit di dalam masjid Allah ini. Semuanya tamu Allah, akan dijamu Allah dengan sebaik-baiknya pula." Demikian ia menegaskan dalam tekadnya. Memang sebelumnya, beberapa kali ketika berada di shaf depan, ia sempat mengalami harus terdesak oleh beberapa jamaah yg memaksa mendapatkan tempat sholat. Namun ia dengan segala keyakinannya akan kebesaran Allah yang menjadikan dirinya tamu Allah, masih bisa melaksanakan sholat tanpa merasa kesempitannya sama sekali.

Bahkan saat ini, ketika nampak olehnya gerak-gerik kegugupan jamaah di depannya, yang muncul justru rasa kasihan di dalam batinnya kepada jamaah itu. Sholat maghrib telah dimulai, hati dan pikiran Sayid mulai ia pusatkan sepenuh-penuhnya utk menghadapkan wajahnya hanya kepada Allah. Dia seolah telah mendapati dirinya di antara jutaan jamaah yg bersama-sama rukuk dan sujud, membentuk suatu barisan yg begitu indah dan rapi dalam padang hijau yang sedemikian luasnya.

"Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar" kalimat itu terus mengalir dalam benaknya hingga usai bersalam. Allah Maha Besar, dan dia sangat kecil dalam pandangan itu. Ruang yang semula sempit di sekitarnya tadi betul-betul menjadi lebar selebar-lebarnya. Sekali lagi, Sayid mengalaminya di dalam Al Haram ini, dalam lingkup yang semestinya dia kesulitan bergerak, apalagi untuk bersujud, ternyata badan dan kepalanya begitu bebas dalam lingkup yang sesungguhnya hanya lebih sedikit panjang dari separuh sajadahnya itu. Air matanya terus berderai demi menyadari kebesaran kuasa Allah ini.

Usai bersalam, Sayid bergegas menyusulinya dengan sholat rawatib sebelum sholat jenazah dimulai. Pierre diam tak bergerak dalam duduknya, karena ia belum bisa menyibak separuh sajadah yang didudukinya. Pemilik sajadah di belakangnya cepat sekali dalam menyambungkan sholat demi sholat.

"Hei, sajadah ini sajadah yang kucari-cari tadi!" Pekik dalam hatinya girang demi mengetahui sajadah ungu yang didudukinya ini sama persis dengan sajadah yang diburunya tadi.

"Aku akan segera minta maaf, sekaligus cari tahu di mana kakek ini mendapatkannya." Rencana itu begitu saja mengalir dalam benak Pierre, diikuti dengan bayangan wajah penuh senyuman Marrion yg bahagia menerima hadiahnya ini, sebelum kemudian bayangan itu terbuyarkan oleh tangan Sebastian yg meraih pundaknya, mengajak untuk segera bangkit berdiri menyisih dari sajadah yang dipijaknya.

Saat Pierre menoleh ke belakang kemudian, didapatinya kakek di belakangnya telah selesai melipat sajadah ungunya dengan rapi. Tak lama kemudian pandangan kedua insan ini saling beradu, dan disusul tangan kiri sang kakek yang meraih tangan kanan Pierre. Sayid menyodorkan sajadah ungu itu kepada Pierre sambil berkata, "Ini sajadahmu, Nak!"

Pierre hanya terbengong saja ketika tangan kirinya pun didekapkan ke sajadah itu oleh tangan kanan Sayid. Ia tak bisa berkata-kata ketika telunjuk Sayid menuding-nuding sajadah itu dan dada Pierre, seolah menegaskan bahwa sajadah itu benar-benar diberikan kepadanya. Ia masih terpaku terharu mendapati kebaikan hati sang kakek tersebut, yang mana tak marah sedikit pun akibat sajadahnya terinjak oleh Pierre, melainkan malah dengan penuh senyuman dan rasa senang hati menghadiahkan sajadah ungu yang diidam-idamkannya itu.

Udara di lantai satu seputar Ka'bah terasa sangat sejuk bagi Sayid yg sedang menuruni anak-anak tangga dari lantai dua bersama Mursyid untuk mulai melaksanakan thawaf. Kerumunan jamaah yang sedang berthawaf itu seolah tersibak membentangkan jalan memberi ruang bagi keduanya. Dalam dua putaran thawaf saja, Sayid mendapati dirinya telah berada di depan hajar Aswad, dan sejenak berikutnya telah berada di bawah Multazam tanpa bersusah payah ataupun saling berdesakan dengan jamaah lain.

"Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!" Sayid mulai melafadzkan doa dan puji syukurnya kepada Sang Khalik di bawah Multazam itu. Kakinya terus merambat ringan di antara ribuan jamaah yang ada di sekitarnya hingga Mursyid menepuk pundaknya untuk beralih berganti dengan jamaah lain di dalam lingkup Hijir Ismail itu.

Di tempat lain di lantai tiga Al Haram tadi, Pierre menjalankan sholat-sholat sunnah dengan penuh kesyukurannya di atas sajadah "baru"-nya itu. Ia merasakan Allah sebegitu dekat dengan dirinya, seolah memeluk dirinya dengan penuh kasih sayang dan kehangatan. Rakaat demi rakaat terus dia sambungkan. Entah sholat apa yang dilakukannya, yang terutama tersembul bulat dalam hatinya adalah niat syukurnya atas segala karunia Allah kepadanya selama ini. Pierre, sang mualaf, menemukan dirinya berada di sebuah jalan yang sangat terang benderang namun tiada menyilaukan.

Sajadah Milik Pierre (Bagian 4)

Pagi baru saja menjelang di beranda Hotel Le Meridien, tepatnya pukul satu dini hari waktu Mekkah, ketika 10 bus jamaah haji Perancis mulai merapat dan menimbulkan kegaduhan panjang di depan lobby hotel tersebut. Empat belas pemuda berkulit hitam yang menjadi tenaga borongan hotel itu bergegas menyambut di tepi jalan, ikut mengatur bus maupun penumpangnya, sebelum melanjutkan untuk membongkar bagasi masing-masing bus tersebut dan mengantarkannya ke depan pintu masing-masing kamar nantinya. Hampir tiap hari di musim haji tahun ini, kegaduhan yang sama selalu terjadi di tengah malam sampai menjelang fajar di hotel ini. Le Meridien memang menjadi pilihan utama di luar ring pertama hotel-hotel sekitar Masjidil Haram, khususnya jamaah dari Eropa Barat, ataupun jamaah-jamaah dari Asia yang finansialnya lebih mapan. Biasanya memang tamu hotel ini datang dari biro-biro travel perjalanan haji dan umroh dengan kelas plus.

Beberapa pria yg mungkin menjadi ketua rombongan dari tiap-tiap bus mulai turun dan nyaris berteriak memberi aba-aba kepada anggotanya untuk bergegas berbaris sesuai rombongan masing-masing di trotoar di depan hotel itu. Satu karom yang cukup menonjol karena suaranya yang paling lantang adalah Abdullah. Rupanya mereka akan bergegas melanjutkan perjalanan ritual umroh qudum, sebagai awal dari rangkaian manasik haji mereka.

Sebagian jamaah itu mulai meliuk-liukkan badan sedikit bersenam, meregangkan otot dan persendian tulang mereka, yg rasanya mungkin kaku semua seperti habis dikurung selama berjam-jam akibat perjalanan panjang dari Paris ke Jeddah hingga ke Mekkah. Sebagian kecil lainnya terlihat kasak-kusuk di sekitar sang ketua rombongan, bertanya ini-itu yang perlu disiapkan. Sang ketua dengan telaten dan sabar memberikan penjelasan, sambil sekali-kali tangannya menunjuk-nunjuk arah untuk lebih menegaskan penjelasannya kembali. Satu orang tiba-tiba mendekat dan berdiri di sebelah sang karom, seorang pemuda afrika yang merupakan petugas pemandu haji dari hotel itu, yang kemudian mengangkat sebuah papan penunjuk nama rombongan masing-masing.

"Mulai dari sini, kita akan bersama naik bus merah di depan itu, dipandu saudara kita ini." Ujar sang ketua sambil menunjuk bus umum warna merah bertuliskan "Saptco" dan menunjuk sang petugas hotel yg akan memandu mereka.

"Tiap-tiap rombongan dalam satu bus. Bus yang ini akan tetap di sini untuk penurunan bagasi kalian. Nanti setiba di terminal di depan sana, kita lanjutkan berjalan kaki ke tempat wudlu. Awas, jangan sampai terpisah dengan rekan satu rombongan." Pesan lanjut sang ketua rombongan.

Rombongan Abdullah menjadi rombongan ketiga yang bersiap menaiki bus Saptco merah, yang akan membantu mengangkut mereka melintasi terowongan dari sisi Kuday menuju sisi Bab Malik menembus bukit batu yang memisahkan wilayah Kuday dengan wilayah Misfalah lainnya.

Satu per satu anggota rombongan naik dengan tertib tanpa berdesakan. Mengantri dengan tertib seolah sudah menjadi adab yg sudah menjiwa dalam diri mereka, seolah tumbuh secara refleks dari kesadaran saling menolong dan saling bertoleransi di antara mereka, sehingga memudahkan segala urusan yg berkaitan dengan kebutuhan orang banyak. Hmmm, ... jauuuuh sekali dengan adab dan polah sebagian bangsa Asia dan Eropa Timur yg masih gemar selonang-selonong, bahkan tega main sikut menerobos antrian seenaknya sendiri. Mungkin, dengan semakin maju tingkat pendidikan suatu bangsa, kesadaran tertib dalam mengantri juga semakin baik pula. Ataukah mungkin juga tidak tentu demikian, karena adab memang perlu pembiasaan panjang ya?

Terowongan Kuday-Bab Malik sebenarnya adalah satu terowongan panjang di utara distrik Misfalah, yang menghubungkan terminal bus Kuday, yg menjadi terminal transit bus-bus dari beberapa distrik seperti Bakhutmah, Misfalah, ataupun Syarif Mansyur, yang mana terminal itu terletak persis di timur simpang empat sebelah hotel Le Meridien itu dengan terminal Bab Malik yg berada di ujung utara terowongan itu dan tepat di bawah hotel Tower Jam di sebelah selatan Masjidil Haram. Hotel Le Meridien sendiri sebenarnya terletak tepat di ujung selatan terowongan tersebut. Sehingga setiap jamaah yg menjadi tamu hotel Le Meridien tak perlu naik dari terminal Kuday, melainkan bisa naik kemudian dari halte kecil di depan hotel tsb. Tentu dengan risiko tidak akan ikut terangkut jika bus sudah sesak penumpang sedari Kuday.

"Tak perlu khawatir jika bus dari Kuday penuh. Sopir-sopir bus ada yg berangkat tanpa penumpang dari Kuday, khusus untuk melayani Le Meridien." Jelas pemuda afrika yg menjadi pemandu mereka kepada Abdullah, saat Abdullah menanyakan bilamana siang nanti mereka hendak kembali naik bus merah ini.

"Tapi ... Karena tarif semua bus ini free, karena telah ditanggung semua oleh kerajaan, maka sekembalinya dari Haram nanti kalian terpaksa harus berebut dengan penumpang umum lainnya." Sambung Diouf, si pemandu tadi.

"Jika terminal Bab Malik yang di sana nantinya penuh sesak dengan penumpang, biasanya terjadi seusai sholat isya, kalian bisa juga langsung berjalan kaki ke sini menyusuri trotoar di tepi jalan terowongan ini. Toh sebenarnya tak begitu jauh, dan jalannya di dalam terowongan pun lurus saja menuju ke tempat ini." Diouf memberikan alternatif pilihan bila Abdullah dan kawan-kawannya menemui kesulitan beroleh bus untuk pergi dan pulang dari Haram. "Asalkan jangan lupa mengenakan masker kalian, karena debunya di dalam terowongan cukup banyak."

Abdullah hampir saja menyampaikan satu pertanyaan lagi ketika bus mulai berhenti. Rupanya mereka sudah tiba di Bab Malik yang benar saja memang cukup dekat dari hotel mereka. Ia menunda pertanyaannya untuk ganti memberi aba-aba lagi kepada rombongannya. Mereka perlu bergegas ke ruang wudlu dulu sebelum memulai ritual thawaf dan sai untuk umroh qudum mereka. Dan itu perlu komandonya sebagai ketua agar rombongan tidak tercerai berai. Untung ada Diouf yg membantu mengarahkan sehingga memudahkannya dalam mengatur barisan rombongannya.

Sebastian, salah satu rombongan yang dipimpin Abdullah yang berangkat haji bersama dua sahabatnya yg lain David dan Pierre, menoleh ke satu jalan yang diapit pertokoan di bawah Tower Jam di sebelah selatan Haram saat mereka hampir sampai di tempat wudlu. Itu merupakan sebuah jalan utama dari distrik Misfalah untuk menuju ke masjil Al Haram. Rupanya di jalan itu sudah ramai orang karena ada dua rombongan besar berihram yang sama-sama sedang menuju ke Haram, sehingga langsung menyita perhatian Sebastian. Menilik benderanya, mereka dari Cina dan Indonesia. Dua negara yang memiliki jamaah haji terbanyak di setiap tahunnya.

"Hebat ya! Jam segini masih terus ramai saja yang pergi ke masjid!" Seru Sebastian kepada Pierre yang melangkah lebih dulu di depannya. Pierre ikut menoleh ke arah jalan tersebut, kemudian menggeleng-gelengkan kepala, dan lalu berkata, "Subhanalloh!"

Abdullah kembali mengomandoi rombongan mereka untuk bergegas membentuk barisan lagi bila usai berwudlu. Lalu sambil menunggu mereka yang masih berwudlu, ia pun membantu merapikan letak kain ihram beberapa rekan yang nyaris lepas selama dalam perjalanan maupun saat berwudlu tadi. Beberapa bahkan keliru menyelempangkannya. Diouf ganti mengambil alih menyampaikan informasi tentang apa-apa yg akan mereka lakukan saat thawaf dan sa'i nanti.

Satu orang jamaah dari Distrik 3 Paris, yaitu seorang wanita dengan usia sekitar 60-an dan berbadan cukup gendut, lantas mengangkat tangannya bermaksud menanyakan sesuatu kepada Diouf. Rupa-rupanya kakinya kesakitan, sehingga tidak cukup kuat untuk terus berjalan. Diouf pun mengangguk-angguk berusaha menenangkan wanita itu.

Seorang pria pendorong kursi roda yang standby agak jauh dari tempat mereka berbaris segera dipanggil dengan lambaian tangannya. Pria dengan rompi hijau, jubah putih, dan surban merah putih itu sigap mendorong kursi rodanya mendekati Diouf. Setelah tawar-menawar harga, yang disepakati dengan 150 riyal untuk thawaf hingga selesai sa'i, Diouf kemudian menunjuk sebuah tiang lampu di depan gerbang no. 91 sebagai tempat nantinya mereka berkumpul kembali dengan pria pendorong kursi roda itu.

"Dia akan memakai jalurnya sendiri, di lantai ke-dua atau ke-tiga. Sedangkan kita nanti akan mulai dari lantai utama di bawah, agar bisa lebih dekat dengan Ka'bah." Jelas Diouf kepada keluarga si wanita tua tadi. Memang ada banyak pria penyedia jasa kursi roda yang selalu siap di seputaran serambi Haram guna melayani jamaah yg akan membutuhkan bantuan untuk pelaksanaan thawaf ataupun sekaligus sa'inya. Seragam mereka pun sangat khas, seperti halnya seragam pria yg telah dipanggil Diouf tadi. Diouf meyakinkan suami wanita itu bahwa istrinya tetap aman dipandu pria pendorong kursi roda tadi.

Tak berselang lama, semua anggota rombongan telah bersiap dalam barisan, dan mereka pun memulai ritual thawaf diawali dari gerbang King Abdul Azis, gerbang nomor pertama dengan menara kembar yang mengapitnya dan gerbang itu tepat berhadapan dengan Tower Jam di selatannya.

"Umumnya jika berhaji atau umroh, jamaah mengutamakan melalui pintu nomor 10, yaitu gerbang Babus Salam. Namun kali ini kita lewat pintu nomor 1 ini saja ya, agar tidak berjubel dengan jamaah di depan kita ini." Diouf menjelaskan sambil menunjuk satu barisan besar jamaah berbendera Indonesia yg lewat di depan mereka yang saking banyaknya seperti tak habis-habisnya barisan mereka itu, dan sambil kompak bertalbiyah, seperti suatu choir paduan suara yang sangat indah. Abdullah dan kawan-kawannya hanya menggeleng-gelengkan kepala pertanda kekagumannya.

"Kalian akan bertemu mereka di mana saja di penjuru kota ini," kata Diouf menggambarkan tentang banyaknya jamaah haji asal Indonesia itu ,"jumlah mereka kira-kira 300.000 orang jika sudah berkumpul di sini semua saat haji nanti."

Tepat ketika mereka mulai mengemasi alas kaki masing-masing di depan gerbang King Abdul Azis, satu rombongan besar berikutnya yang berbendera Cina ikut melintas menuju ke pintu lainnya, mungkin menuju babus salam atau entah pintu yg mana. Dan waktu itu rupanya sudah hampir menunjuk jam setengah dua saat bayangan mereka semua lenyap ke dalam gerbang besar itu.


Di sisi lain di kota Mekkah, Sayid dan Fatimah, sepasang suami istri yg sudah sepuh sedang berkemas untuk berangkat ke Haram dari penginapan mereka di ujung jalan Hijrah. Botol plastik kecil seukuran 350 ml sedang diisi dengan air dari dispenser oleh tangan kecil Fatimah. Sedangkan Sayid yang berdiri di dekatnya itu masih sibuk membenahi letak surbannya. Ia tak ingin udara dingin dari AC di dalam masjid nanti mengganggu kekhusyukan sholat malamnya.

"Kita nanti berjalan kaki atau naik bus sholawat saja?" Tanya Sayid memberi opsi kepada istrinya.

"Jam berapa to sekarang, bi?" Tanya Fatimah balik kepada Sayid, yang kemudian menjulurkan lengan kiri menunjukkan jam tangan di pergelangannya.

"Baru setengah dua to? jalan sajalah ya?" Fatimah menawar. Memang waktunya masih sangat longgar menuju shubuh di jam 5 pagi nanti. Sedangkan perjalanan dengan berjalan kaki hanya perlu waktu setengah jam dari penginapan mereka.

"Aku sih manut saja, Mi. Cuman agendanya pagi ini apa? Mau thawaf dulu sebelum shubuh, sebelum dhuha atau mau nanti sore saja?" Sayid belum memutuskan. Tangannya menyambut satu botol minum yang disodorkan Fatimah kepadanya, untuk dimasukkan ke dalam tas "rojokoyo"-nya.

"Aku nanti sore saja, bakdo ashar ya Bi." Jawab Fatimah. "Pagi ini sholatul lail saja, sekalian aku pengin sholat tasbih. Biar ndak kesusu-susu."

"Baiklah, aku sebenarnya pengin mencoba thawaf di lantai atap. Kata pak Mursyid kok lantainya yang utara sudah selesai dicor hingga bersambung dengan lantai yg segaris dengan rukun Yamani. Kemarin blok plastik pembatasnya juga sudah disingkirkan. Ya besok sajalah dicobanya." Kata Sayid mengulang informasi dari pak Mursyid ketua regu mereka.

Fatimah hanya tersenyum mendengarnya. Ia paham betul akan sifat keingin tahuan suaminya itu, yg selalu ingin mencoba-coba hal yg baru di saat "eling" atau bersemangat, ... namun kemudian bakal angin-anginan lagi kalo tidak ada yg mengingatkan atau menyemangati. Padahal, yang didengar Fatimah dari info pak Mursyid pula, satu putaran thawaf di lantai atap itu sama dengan tiga sampai empat kali putaran thawaf di lantai utama di bawah. Terbayang olehnya bagaimana siang nanti si suami bakal ribut meminta dipijiti karena capek kakinya bilamana saja jadi melakukan thawaf di lantai atap dini hari ini.

"Kok pakai sajadah yang itu, bi?" Tanya Fatimah saat melihat sajadah tebal yang digantungkan si suami di tas rojokoyo-nya. "Apa ndak jadi bawa sajadah yg dibeli pagi tadi?"

"Pakai ini saja kalau malam, biar gak kedinginan kena lantainya nanti." Sayid menerangkan mengapa ia tetap memakai sajadah Turki yg tebal itu, sajadah yang dulu dihadiahi seorang kawan yg pulang haji. Kata kawannya itu, biar ia segera ketularan berhaji. Sayid hanya terkekeh bila mengingat itu, karena ia tahu di beberapa pasar di Surabaya pun gampang sekali ia jumpai sajadah yg sama dengan sajadah ini. Apalagi di pasar Turi dan di pasar Slompretan, tinggal pilih sesuai budget masing-masing.

"Nanti siang saja aku bawanya." Sambung Sayid sambil memencet tombol lift untuk turun di tempat penginapan itu. Fatimah segera mengekor di belakangnya saat pintu lift terbuka di lantai lobby. Tangan kecilnya segera meraih lengan Sayid, untuk sedikit menahan langkah cepat suaminya itu. Dua insan sepuh ini pun mulai membelah jalan Hijrah, dalam tiupan angin yang masih berasa gerahnya, menyusuri sepanjang trotoar dan jalan pertokoan Misfalah, menuju ke Haram, dengan diterangi lampu-lampu jalan yang benderang.

Saat mentari mulai menampakkan semburat sinarnya di bukit-bukit batu di sekeliling Haram, langkah Fatimah ketika keluar dari pintu annisa no. 89 sedikit terhenti karena terhalang sosok-sosok lelaki yang tinggi besar yang masih berihram yang baru saja turun dari escalator di gerbang 91. Ia menahan dirinya sesaat, ketimbang kalah tenaga bertubrukan dengan jamaah tadi. Namun rupanya mereka sama-sama berhenti di bawah tiang lampu di depan gerbang 91. Di tempat yang sama yang dipakai sebagai gathering point dengan Sayid, suaminya. Fatimah agak kesulitan menebarkan pandangan saat mencari-cari bilamana sosok suaminya mungkin telah muncul di dekat situ.

Sosok-sosok lelaki besar yang tak lain adalah Pierre, David dan Sebastian itu masih saja menghalangi pandangan Fatimah, sehingga kecemasan dan kejengkelan mulai merasuki hati Fatimah. Namun ia segera menepisnya dengan cepat dalam kalimat istighfar.

"Astaghfirullohal adziim." Fatimah terus berdzikir menenangkan hatinya. Ia berharap sang suami segera muncul di hadapannya.

Desis istighfar Fatimah rupanya terdengar juga di telinga Pierre. Ia menoleh kepada perempuan tua di dekatnya itu yang masih kesulitan melongokkan kepala karena terhalang tubuhnya dan rekan-rekannya yang lain. Demi membantu nenek ini, Pierre mengingsutkan badannya agak ke timur menjauhi si nenek sembari menarik pundak David dan Sebastian, sehingga pandangan Fatimah bisa lebih bebas lagi. Bola matanya melirik sajadah ungu yg cantik yang didekap sang nenek itu. Sebuah sajadah yg pasti tidak mengecewakan jika ia hadiahkan pada Marrion. Namun belum sempat ia bertanya di mana ia bisa mendapatkan sajadah yg sama seperti itu, seorang kakek datang menghampiri nenek itu, menggamit tangan sang nenek dan segera beranjak pergi. Mulut Pierre tak jadi bersuara untuk bertanya. Pandangannya terpaku pada sosok kakek-nenek yang asyik bergandengan menembus kerumunan kecil jamaah lainnya. Ada kegelian dan juga rasa iri dalam hatinya yg tiba-tiba muncul.

"Ah, seandainya itu adalah aku dan Marrion." Ujarnya dalam hati.

Sajadah Milik Pierre (Bagian 3)

"Sebaiknya selama di sini kita pakai sim card lokal saja untuk komunikasi di antara rombongan kita. Banyak operator lokal yang bagus dan murah di sini. Nanti kita urus setibanya di hotel di Mekkah. Sekarang jangan aktifkan dulu ponsel kalian. Berhematlah. Siapkan saja pasport masing-masing!" Saran Abdullah kepada rekan2 satu rombongannya, sambil mengemasi tas kecil tempat pasport dan gadgetnya setelah ada informasi pendaratan dari pilot pesawat Airbus mereka. Sebagai ketua rombongan yg membawahi 49 rekan lainnya, Abdullah cukup ceriwis dalam mengingatkan apa-apa yg harus dan akan dilakukan oleh rombongan mereka. Kebetulan ia sudah pernah berhaji tujuh tahun yg lalu. Dan sekarang saat ia ingin berhaji yang kedua kalinya, pemilik tour haji menunjuknya sebagai leader 49 rekannya yg lain.

Airbus milik Saudi Arabian Airlines penerbangan dari Paris baru saja mendarat di bandara King Abdul Azis International Airport (KAIA), mengantarkan sekitar 470 calon jamaah haji dari total sekitar 30.000 jamaah Perancis tahun ini, ketika adzan isya' pada hampir pukul delapan malam itu mulai berkumandang bersahutan di langit Jeddah yang cerah.

Sebenarnya pesawat tsb berangkat dari bandara Charles de Gaulle sebelum dhuhur, pada pukul 11.10 waktu Paris, dan lama penerbangannya pun hanya 6 jam kurang. Namun karena Jeddah dan Paris berselisih 2 jam, di mana waktu Jeddah lebih awal, maka akhirnya Abdullah dkk pun baru tiba di KAIA pada isya' ini. Hanya terlambat 5 menit dari yang dijadwalkan.

Pierre, salah satu anggota rombongan Abdullah yang duduk tepat di dua baris belakang dari kursi Abdullah tampak gelisah. Dia duduk di sisi gang way bersebelahan dengan dua sahabatnya, David dan Sebastian. Pierre berulang kali berusaha melongok ke jendela, yang mana hanya terlihat olehnya hamparan tanah yg gelap dengan temaram lampu landas pacu.

"Ada masalah, Pierre?" Tanya David yg duduk tepat di samping jendela tempat Pierre berulang kali melongok keluar. David menangkap kecemasan di wajah Pierre tersebut.

"Ya, bagaimana ya ... Akhirnya kita tiba di sini, dan hatiku makin kacau saja." Jawaban Pierre mengambang.

David hanya tersenyum saja karena ia paham dengan kegelisahan Pierre itu. Dia pun paham apa yg ada dalam benak dan pikiran Pierre saat ini, karena David dan Pierre sama-sama seorang muallaf. Hanya kebetulan David sudah hampir genap setahun menjadi muslim. Sedangkan Pierre baru sekitar lima bulan yang lalu mengikrarkan dua kalimat syahadatnya. Kalau Sebastian sebenarnya sudah lima tahun jadi muslimin, tapi tetek bengek urusan agama pun dia masih belum pede juga. Oleh karena itu, kecemasan ini pun wajar saja muncul setiap saat dalam benak mereka. Terlebih perjalanan haji mereka kali ini bisa dikatakan sebagai satu keajaiban saja.

Dalam kondisi keislaman dan keimanan yg belum kuat benar, dua bulan yang lalu tiba-tiba mereka bertiga disodori ajakan berhaji oleh Syaih Rozaq Boubaker, seorang ulama besar sekaligus pejabat puncak di kantor walikota Paris, saat mereka bertemu sang Syaih ketika singgah sembahyang jamaah ashar di masjid dekat kantor walikota. Jangankan untuk memiliki keberanian pergi berhaji, bahkan nyali untuk sholat sendirian saja mereka masih ragu ... Takut jika sholat mereka salah dan tak diterima Alloh, sehingga amalan mereka nihil lagi, tak jauh beda dg amalan mereka saat belum jadi muslim. Maklum saja mereka belum hapal betul gerakan dan doa bacaan dalam sholat. Sedangkan saat ini mereka sebentar lagi bakal menjejakkan kaki di bumi Nabi, tempat berhimpunnya orang-orang yg sudah bersiap diri untuk menyempurnakan iman dan ibadah-ibadah mereka. Jutaan orang-orang yang sudah ahli beribadah, bukan tiga gelintir mualaf seperti mereka.

Pernah dalam satu pengajian ada guru yg menjelaskan tentang kesempurnaan wudlu, di mana sang guru waktu itu membacakan salah satu hadits tentang akan dibakarnya kaki dengan api neraka jika tak sempurna membasuh dalam wudlunya. Hiiii ... Langsung terbayang deh kengeriannya di pikiran David, Pierre dan Sebastian.

Tangan David menggapai pundak dan punggung Pierre, berusaha menenangkan sahabat seimannya itu.

"Jangan cemas, Saudaraku! Kita sekarang menjadi tamu Allah. Maka Allah pasti tidak akan mempermalukan kita sebagai tamu-tamunya, bilamana kita bersungguh-sungguh memenuhi panggilannya. Betul kan? Ingat, ... Man Jadda wajada, ... Ingatkan?!" David mencoba menguatkan hati Pierre.

Pierre tersenyum mendengar kalimat "man jadda wajada" tersebut. Angannya sejenak terbayang ke hari-hari sebelum ia mengikrarkan dua kalimat syahadatnya lima bulan yg lalu. Hari ketika kakinya mendadak terhenti sendiri saat melintasi distrik 5 di Paris, tepat di depan Grande Mosquee de Paris (Masjid Agung Paris), dalam perjalanannya menuju stasiun metro Place Morge.

Saat itu pandangan kedua bola matanya tersita untuk melihat lima anak-anak kecil yg berlomba lari dengan riang gembira melompati anak tangga menuju ke dalam masjid itu. Tangan kanan mereka sambil menggenggam buku kecil hijau yang sama, sambil memekikkan tawa yg tiba-tiba menghujam dan menenangkan hati Pierre. Topi-topi bulat putih, yg belakangan dikenalnya sebagai peci ikut menghiasi kepala, menambah kelucuan malaikat-malaikat kecil itu. Beberapa orang tua usia sebaya, yang mungkin ayah dan ibu dari anak-anak kecil tadi, tampak tenang mengikuti mereka dari belakang. Ada aura penuh kedamaian terpancar dari wajah keluarga itu.

"Hei ... Ayo ambil tas kita!" Seruan David membuyarkan sejenak angannya tadi. Pierre bergegas berdiri membuka kabin di atasnya, dan dengan sigap menurunkan ketiga tas koper kecil milik mereka. Sebastian yg duduk di antara Pierre dan David ikut berdiri membantu menata tas koper tsb di atas kursi mereka.

Ketika penumpang yg duduk di depan mulai meninggalkan tempat, berjalan menuju ke pintu keluar, segera pula ketiga sahabat ini pun bergegas menyusul. David sedikit keheranan demi melihat raut wajah Pierre yg tiba-tiba sudah berubah penuh senyuman. Tak seperti tadi yg penuh kecemasan. Tangan David memegang pundak Pierre sekali lagi. Pierre menoleh ke arahnya. Mereka hanya saling berpandangan dan tersenyum.

"Man jadda wajada!" Kata Pierre sambil balas memegang tangan David yang berada di pundaknya, seolah menjawab apa yg ingin diketahui oleh benak David tadi. Sehingga senyum David pun makin lebar karena senang mendengarnya. Tangannya kemudian kembali menepuk-nepuk pundak Pierre menandakan kepuasannya.

"Setelah pemeriksaan dokumen oleh petugas bandara, nanti segera ambil tas koper masing-masing di ruang baggage claim ... Tapi jangan pergi jauh dari situ. Kita nanti bersama-sama ke ruang tunggu di luar, untuk sama-sama bersiap ihram." Komando Abdullah kembali terdengar lantang saat rombongan mereka telah melintasi jalur kedatangan.

Saat di dalam antrian pemeriksaan dokumen, angan Pierre seolah menyambungkan kisah di depan Grande Mosquee de Paris tadi. Setelahnya, selama tiga sore berturut-turut ia lalui hanya dengan berdiri di depan masjid itu, tak kurang tak lebih, tak beranjak sejengkal pun dari tempat ia pertama kali berhenti dan berdiri. Namun sore ini, tak berselang lama kemudian ada satu tanda tanya besar menyeruak muncul di dalam hatinya.

"Mengapa kakinya tiba-tiba selalu berhenti di sana?"

"Dan mengapa pula hatinya ikut menjadi begitu damai saat melihat keluarga-keluarga kecil yg hendak masuk ke dalam masjid itu?"

Dan suara-suara itu, entah orang menyanyikan apa dari dalam masjid sana (yg di kemudian hari akan dikenalinya sebagai adzan), seperti menariknya untuk mulai berani melangkah menapaki tangga masjid ... Hingga nyaris menginjakkan kakinya di pintu masjid itu, saat dirinya tersadar dan berhenti melangkah lebih jauh.

"Assalaamu alaikum." Sapa lembut seorang pemuda tampan, sepertinya mahasiswa dengan wajah layaknya orang Eropa timur, seakan menghentikan geraknya yg berniat menarik mundur kakinya dari pintu masjid itu.

"Anda akan masuk atau apa?" Sambung pertanyaan si pemuda itu ketika Pierre tidak menjawab salam darinya.

Suara Pierre seolah terkunci di kerongkongannya, tak bisa keluar sepatah kata pun. Ia gelagapan demi ketahuan telah berdiri di muka pintu itu.

"Mari masuk saja, sebentar lagi jamaah ashar akan segera dimulai." Ajak si pemuda itu.

Pierre mengumpulkan segenap kekuatan dan keberaniannya untuk menjawab ajakan tsb. Menolak, mungkin lebih tepatnya.

"Saya bukan muslim!" Tegas Pierre akhirnya setelah berani berkata-kata.
Namun Si pemuda justru meraih tangannya dan menggeretnya masuk.

"Tak apa, Anda bisa melihat-lihat sisi dalamnya. Setelah itu terserah Anda, apakah akan pulang atau ikut saya berkeliling melihat-lihat masjid ini." Si pemuda berusaha menjelaskan niatnya.

"Banyak juga kok nonmuslim yg berkunjung ke masjid ini, meski ya hanya sampai di tamannya saja." Sambung si pemuda sambil tetap menggandeng tangan Pierre. "Baiklah, saya akan melanjutkan sembahyang di dalam masjid sana, sedangkan Anda silakan jika ingin berkeliling terlebih dahulu. Tapi sebaiknya lepaskan sepatu Anda itu, biar lebih bebas melihat bagian bangunan yg lain."

Pierre hanya mengangguk mengiyakan semua kata-kata si pemuda tadi, karena saat ini matanya sedang terbelalak kagum demi memandang kolam dan taman yg terhampar di dalam masjid itu. Dirinya yg sebenarnya seorang jurnalis gaya hidup di sebuah majalah anak muda, justru baru kali ini bisa melihat langsung sebuah keelokan di dalam masjid Paris ini. Padahal hampir setiap hari dia lalu lalang di depannya.

Teringat pesan si pemuda tadi, Pierre segera bergegas melepas sepatunya. Ia memandang berkeliling hingga terlihat olehnya beberapa deret loker untuk meletakkan sandal dan sepatu. Selesai mengurus sepatunya, Pierre mulai melangkah menapaki sisi taman dan kolam yg ada di sekitar situ. Hatinya masih takjub setakjub-takjubnya. Bahkan kedamaian yg tadi sudah menghiasi hatinya, saat ini makin menggelora, hingga tiba-tiba air matanya mengucur tak tertahankan olehnya.

Pierre kelabakan demi mendapati dirinya menangis tanpa sebab seperti itu. Terburu-buru dikeluarkannya sapu tangan dari saku celananya, sehingga malah sempat jatuh ke lantai, menarik perhatian seseorang yg berdiri tak jauh darinya. Akhirnya setelah dengan penuh perjuangan menyeka pipi, mata, hidung dan menenangkan hatinya, tinggallah matanya saja yg masih berkaca-kaca. Ada satu ruang hampa yg mendadak muncul dalam hatinya. Sebuah kehampaan seperti sedang merindukan sesuatu yg amat sangat. Namun Pierre sendiri tak tahu apa yg sedang dirindukannya itu, dan mengapa pula timbul rasa sedemikian.

"Hai ..!" Tiba-tiba sebuah sapaan lembut terdengar di sampingnya. Sapaan yg ketika ditolehnya berasal dari satu makhluk manis yg sudah berdiri tak jauh darinya.

"Anda nonmuslim?" Tebak wanita berkerudung hijau itu melanjutkan sapanya. Pierre tersipu malu ditebak sedemikian, namun ia jujur langsung mengiyakan dengan anggukannya.

"Namaku Pierre!" Ia memperkenalkan diri dengan menjulurkan tangan kanannya hendak bersalaman. Agak canggung juga suasananya ketika si Cantik itu hanya menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada sambil sedikit membungkuk. Tersadar, pierre segera menarik uluran tangannya, sambil ikut-ikutan menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Kedua insan itu pun jadi tertawa ringan demi sadar kecanggungan yg sudah terjadi.

"Namaku Marrion." Balas Si cantik itu memperkenalkan diri. "Baru pertama datang ke sini?"

Pierre kembali mengangguk. Dengan jujur kemudian diceritakannya peristiwa yg telah terjadi sejak 3 hari yg lalu hingga sore hari ini. Hingga sekarang ia terisak menangis di dalam masjid ini.

Marrion menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum dan berujar, "Subhanalloh!"

Pierre yg tak paham dengan apa yg diucapkan Marrion hanya mengernyitkan dahinya, seolah minta penjelasan lebih lanjut dari ucapan Marrion itu.

Tanggap akan kebingungan Pierre tersebut, Marrion kemudian menjelaskan tentang ungkapan kekagumannya itu.

"sebaiknya aku antarkan Anda berkeliling dulu, sebelum nanti aku perkenalkan Anda dengan saudara-saudaraku." Marrion menawarkan diri menjadi pemandu berkeliling masjid itu. Awalnya Pierre menolak karena pemuda yg sebelumnya tadi sudah menawarkan diri juga.

Marrion hanya tertawa kecil mendapat penolakan tsb, dan kemudian menerangkan bahwa tak apa-apa krn pemuda tadi juga temannya. Namanya Ahmad, berasal dari Albania, namun sudah tinggal cukup lama di Paris ini, begitulah Marrion menerangkan tentang pemuda tadi. Kakinya mulai melangkah perlahan, yg akhirnya diikuti pula oleh Pierre. Mulailah Marrion menjadi guide dadakan, menjelaskan awal mula berdirinya masjid ini sebagai hadiah dari raja Perancis waktu itu kepada para pejuang Islam di Perang Dunia pertama. Ia juga menyambungkannya dengan kisah penyelamatan Yahudi di Paris dari kejaran tentara Nazi Jerman di dalam masjid itu pada masa perang Dunia kedua. Beberapa ruang seperti perpustakaan, ruang kantor dan bagian yang lain pun ikut diperkenalkannya. Pierre mengangguk-angguk menyimak cerita Marrion itu.

"Itu saudara-saudaraku sudah selesai sembahyang. Mari aku perkenalkan dengan guru yg ada di sini, mungkin beliau bisa lebih menjelaskan apa yg telah terjadi dengan Anda beberapa hari ini." Ajak Marrion untuk menemui beberapa orang saudaranya dan guru yg disebutkannya tadi.

Sang guru yg dimaksud ternyata adalah imam besar Masjid Paris ini. Seorang lelaki tua tinggi kurus namun terlihat tetap gagah dalam balutan jubah kuning dan kain surban merah putih menghiasi kepalanya. Pembawaannya lemah lembut, dan dengan sabar menyimak keterangan yg disampaikan Marrion sebagai awal pembuka perkenalan sang guru dengan Pierre.

"Subhanalloh, walhamdulillah ... Inilah hidayah!" Kata sang guru ketika Marrion selesai menuturkan cerita Pierre tadi. Yang sontak disahut dengan takbir dari beberapa saudara Marrion yg ikut menyimak perkenalan tsb. "Allahu akbar, Allahu akbar!"

Sang guru kemudian mengajak Pierre untuk masuk dan duduk di serambi masjid agar lebih santai dalam berbincang. Namun sebelum melangkah lebih jauh, Marrion minta ijin karena dia sedang berhalangan shg tdk dapat mengikuti masuk ke serambi masjid. Pierre sebenarnya ingin si cantik itu tetap bersamanya, menemani dirinya saat berbincang lebih lanjut dengan sang guru. Namun Marrion hanya melambaikan tangan, seakan memintanya untuk tetap tenang saja mengikuti sang guru. Telunjuknya menuding ke arah tempat mereka bertemu pertama kali tadi, seolah membuat janji untuk bertemu di tempat itu lagi seusai urusannya dengan sang guru.

Dan demikianlah singkatnya selama hampir lebih dari satu setengah jam sang guru menjelaskan tentang "hidayah" yg telah turun kepada Pierre pada sore itu, sembari mulai memperkenalkan ajaran Islam kepadanya, dan pada akhirnya mengembalikan semua tekad dan niat kepada Pierre. Apakah dia akan menyambut hidayah itu ataukah disia-siakannya begitu saja. Pierre sendiri demi mendengar penjelasan yg terang dan runut dari sang guru justru semakin berbunga-bunga hatinya. Mungkin inilah jawaban dari kekosongan hatinya tadi.

Dan di senja itu, ketika awan-awan di langit Paris makin memerah, beberapa saat sebelum adzan maghrib berkumandang, Pierre menegaskan ikrar dua kalimat syahadatnya dalam bimbingan sang Guru. Pierre telah menjadi muslim dengan niat yg mantab. Sang guru bahkan kemudian membekalinya dengan sebuah kalimat untuk terus meneguhkan niatnya sebagai muslim.

"Man jadda wajada!" Ujar sang guru, sambil menerangkan artinya. Sebuah bekal kalimat yg terus dipegangnya, terkhusus di saat hatinya ciut atau gentar dgn kesulitannya menjadi muslimin.

"Apa yg kau pikirkan?" Sergah Sebastian demi melihat Pierre yg tersenyum-senyum sendiri saat mereka mulai melangkah naik ke dalam bus yg akan membawa mereka ke Makkah al Mukaromah.

"Kau sendiri apa yg kau pikirkan?" Pierre malah balik bertanya kepada Sebastian. Ia berusaha menyembunyikan angan-angannya yang barusan melintasi pikirannya sedari turun dari pesawat tadi.

"Hahahaha ... Aku sedang memikirkan nama apa yg akan aku pakai nanti sepulang haji." Jawab Sebastian.

"Zidane ... Ya, Zidane. Nama itu yg akan kupakai!" Sebastian mantab menjawab, yg disusuli dengan tepukan tangan David di pipinya, pertanda menyetujui harapan Sebastian tersebut. "Kalau kamu?" Sebastian balik bertanya kepada Pierre.

Pierre tidak segera menjawab. Pandangannya yang dihiasi senyumannya seakan melayang jauh, membayangkan sesuatu yg diinginkannya kemudian. Sebuah keinginan yg belum lama dipendamnya sebelum keberangkatan mereka ini. Senyumannya yang makin menggemaskan Sebastian.

"Hei ... Ini tidak adil!" Cetus sebastian mendesak jawaban darinya. David hanya menepuk-nepuk pundak sebastian agar bersabar sejenak.

"Kalau aku setelah ini?" Pierre membuat jeda jawaban yg agak panjang, ... "Bolehkah aku menikahi adikmu, Marrion?" Jawab Pierre pada Sebastian.

David dan sebastian hanya ternganga mendengar jawaban itu, namun tak lama kemudian ketiga sahabat itu langsung berangkulan erat.

"Tentu saja, Saudaraku! Tentu saja!" Jawab sebastian mantab. Air matanya sampai menetes karena kebahagiaannya.

"Hei, hei ... Awas kain ihram kalian bisa lepas itu nanti! Awas!" Teriakan Abdullah mengingatkan ketiga sahabat itu yg masih saja berangkulan dan tertawa-tawa penuh kebahagiaan.

Dan bus mereka pun mulai melintas perlahan membelah jalan raya Jeddah menuju Makkah.