Minggu, 14 Mei 2017

Cinta Rasulullah ala Tsumamah bin Itsal R.A


Seorang lelaki Arab bernama Tsumamah bin Itsal dari Kabilah Al Yamamah pergi ke Madinah  dengan  tujuan  hendak  membunuh Nabi Muhammad SAW. Segala persiapan telah matang, persenjataan sudah disandangnya, dan ia pun sudah memasuki Madinah kota suci  tempat  Rasulullah tinggal  itu.  Dengan  semangat  meluap-luap  ia  mencari  majlis Rasulullah,  langsung  didatanginya untuk melaksanakan maksud  tujuannya.

Tatkala Tsumamah datang, Umar bin Khattab ra. segera menghadangnya karena melihat  gelagat buruk pada penampilan orang tersebut.

Umar bertanya, “Apa tujuan kedatanganmu ke Madinah? Bukankah engkau seorang musyrik?”

Dengan  terang-terangan  Tsumamah  menjawab,  “Aku  datang  ke  negeri  ini  hanya untuk membunuh Muhammad!”.

Mendengar ucapannya, dengan sigap Umar langsung memberangusnya. Tsumamah tak sanggup  melawan Umar yang perkasa, ia tak mampu mengadakan perlawanan. Umar berhasil merampas senjatanya dan mengikat tangannya kemudian dibawa ke masjid. Setelah mengikat Tsumamah di salah satu tiang masjid  Umar segera melaporkan kejadian ini pada Rasulullah.

Rasulullah  segera  keluar  menemui  orang  yang  bermaksud  membunuhnya  itu. Setibanya di tempat pengikatannya, beliau mengamati wajah Tsumamah baik-baik, kemudian berkata pada para sahabatnya,  “Apakah ada di antara kalian yang sudah memberinya makan?”.

Para shahabat Rasul yang ada di situ tentu saja kaget dengan pertanyaan Nabi. Umar yang sejak  tadi  menunggu perintah  Rasulullah  untuk  membunuh  orang  ini  seakan  tidak percaya  dengan  apa  yang  didengarnya  dari Rasulullah.



Maka Umar  memberanikan  diri bertanya, “Makanan apa yang anda maksud wahai Rasulullah? Orang ini datang ke sini ingin membunuh bukan ingin masuk Islam!”

Namun Rasulullah  tidak menghiraukan sanggahan Umar.  Beliau  berkata,  “Tolong  ambilkan  segelas  susu  dari  rumahku,  dan  buka  tali pengikat orang itu”.

Walaupun  merasa  heran,  Umar  mematuhi  perintah  Rasulullah.
Setelah  memberi minum Tsumamah, Rasulullah dengan sopan berkata kepadanya, “Ucapkanlah Laa ilaha illallah (Tiada ilah selain  Allah).”
Si musyrik itu menjawab dengan ketus, “Aku tidak akan mengucapkannya!”.

Rasulullah membujuk lagi, “Katakanlah, Aku bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muhammad itu Rasul Allah.”

Namun Tsumamah tetap berkata dengan nada keras, “Aku tidak akan mengucapkannya!”

Para sahabat Rasul yang turut menyaksikan tentu saja menjadi geram terhadap orang yang tak tahu  untung itu. Tetapi Rasulullah malah membebaskan dan menyuruhnya pergi.

Tsumamah yang musyrik itu bangkit seolah-olah hendak pulang ke negerinya. Tetapi belum berapa jauh dari masjid, dia kembali kepada  Rasulullah dengan wajah ramah berseri.

Ia berkata, “Ya Rasulullah, aku bersaksi tiada ilah selain Allah dan engkau Muhammad..adalah Rasul Allah.”

Rasulullah tersenyum dan bertanya, “Mengapa engkau tidak mengucapkannya ketika aku memerintahkan kepadamu?”

Tsumamah menjawab, “Aku tidak mengucapkannya ketika masih belum kau bebaskan karena khawatir ada yang menganggap aku masuk Islam karena takut kepadamu. Namun setelah  engkau bebaskan, aku masuk Islam semata-mata karena mengharap keridhaan Allah Robbul Alamin.”

Pada suatu kesempatan, Tsumamah bin Itsal berkata, “Ketika aku memasuki kota Madinah, tiada  yang lebih kubenci dari Muhammad. Tetapi setelah aku meninggalkan kota itu, tiada seorang pun di muka bumi yang lebih kucintai selain Muhammad Rasulullah.”

Salam ’alaika ya Rasulullah…

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَآلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدُ مَجِيْدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَآلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدُ مَجِيْدٌ

"Ya Allah berikanlah rahmat kepada Muhammad dan  keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberikan rahmat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahaagung. Dan  berikanlah karunia kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberikan karunia kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Agung”.
(HR. Ahmad, Nasa’I dan Abu Ya’la dengan sanad shahih)

Rabu, 03 Mei 2017

Makna Takbir

Sebelum ustadz Muhammad menutup pengajian bakdo Shubuh di daerah Kemayoran, seorang rekan jamaah bertanya,

"Mengapa Rasulullah SAW mengajarkan meneriakkan takbir untuk melerai orang yang sedang bertengkar?"

Sambil tersenyum ustadz Muhammad menjawabnya,

"Karena Rasulullah SAW tahu bahwa yang bertengkar itu sahabat mukmin yang sudah paham akan makna takbir. Kalau yang bertengkar itu bukan mukmin yang memahami takbir ya percuma saja."

Pemahaman kalimat "ALLAHU AKBAR", diawali dari kesadaran kita akan perbandingan ukuran diri kita dengan ukuran Bumi atau luasnya wilayah tempat kita masing-masing tinggal. Dari situ kita akan mulai memahami bahwa kita ini sangatlah kecil bila dibandingkan dengan HANYA ukuran bumi tempat kita hidup.


Ketika seorang hamba bertanya di manakah Allah berada, maka Allah SWT bersemayam di atas Arsy. Ilmu kita sangat kurang untuk dapat memahami bagaimana Arsy Allah itu. Oleh karena itu, Rasulullah SAW mengibaratkan sebuah cincin dan sebuah gurun pasir nan luas untuk gambaran perbandingan lebih lanjut.

Bumi itu sendiri ibarat sebutir merica dibandingkan matahari yang ibarat sebesar tempayan.
Matahari itu ibarat sebuah cincin jika dibandingkan gugusan bintang-bintang (galaksi) yang ibarat gurun pasir nan luas.
Gugusan bintang itupun ibarat sebuah cincin jika dibandingkan luasnya kursi Allah yang ibarat luasnya gurun pasir.
Dan kursi Allah itu juga ibarat sebuah cincin jika dibandingkan luasnya Arsy Allah yang ibarat gurun nan luas.
Dan kemaha besaran Allah melingkupi segala sesuatu ciptaan-Nya

oleh karena kemaha besaran-Nya itulah Allah menjadi sangat dekat kepada setiap makhluk-Nya
oleh karena kemaha besaran-Nya itulah Allah menjadi Maha Mendengar kepada setiap makhluk-Nya

Oleh karena paham akan kemaha besaran Allah SWT itulah, seorang mukmin akan menghentikan setiap aktivitasnya untuk menjawab takbir tadi.

Dari Siti Aisyah r.a dikisahkan, ketika dikumandangkan adzan maka Rasulullah SAW seperti tidak mengenali orang-orang yang di sekitarnya karena bergegasnya beliau dalam memenuhi panggilan tersebut.


Surabaya, 3 Mei 2017

Senin, 01 Mei 2017

Jabatan itu Titipan Amanah ... Bukan Hak Milik Kita

Hasil gambar untuk kursi




Di suatu kegiatan kajian, seorang kawan bertanya kepada pengasuh :

"Kenapa setelah saya pensiun, orang-orang yang sebelumnya membutuhkan dan menghormati saya, sekarang melihat saya pun tidak mau?”

Perasaan kehilangan kekuasaan dan jabatan sering sekali mengganggu kehidupan banyak orang. Sering sekali orang-orang tidak mau mempersiapkan dirinya sejak awal untuk hidup tanpa jabatan, tanpa kekuasaan, dan tanpa wewenang. Sekali seseorang sudah menikmati kekuasaan, jabatan, dan wewenang; dia akan kecanduan dan sulit melepaskannya kembali.

"Ketika kesadaran diri seorang pemimpin rendah. Maka, kekuasaan, jabatan, otoritas, kekuatan yang dipercayakan kepadanya akan mengambil jiwanya. Dan, dia akan kehilangan jati diri untuk memimpin.”

Kecanduan kekuasaan seperti penyakit yang menghilangkan jiwa seseorang. Ketika kekuasaan sudah tidak dimiliki lagi, dirinya *merasa kehilangan hidup*. Kekuasaan dan jabatan yang sudah dijadikan sebagai identitas kehidupan sosial, kalau sekarang hilang, maka dirinya merasakan dampak dari kehilangan identitas sosial tersebut. Jelas, hal ini akan menjadikan dirinya depresi dan kehilangan akal sehat untuk dapat kembali ke dalam diri sejatinya.

Jabatan dan kekuasaan yang dimiliki seorang pemimpin *hanyalah alat, untuk  melayani kepemimpinannya dengan profesional dan penuh tanggung jawab*. Sifat kekuasaan memberikan kekuatan agar pemimpin memiliki kemampuan lebih untuk menjalankan misi dengan profesional. Kekuasaan menguatkan wewenang pemimpin untuk bertindak dan bersikap dengan tegas dan pasti. Jadi, kekuasaan dan jabatan itu hanyalah alat ketika seseorang diberikan wewenang dan tanggung jawab. Bila kekuasaan, jabatan, dan wewenang diambil dari dirinya; dia sesungguhnya hanya kehilangan alat untuk melayani pekerjaannya, dia tetap memiliki diri sejatinya dan kompetensi untuk melayani kehidupan dengan bahagia.

Seseorang diberikan kekuasaan dan wewenang agar dia mampu memimpin dengan tegas, jelas, pasti, melayani, dan terfokus untuk mencapai sukses. Kekuasaan hanyalah alat yang dipinjamkan untuk menguatkan posisi seorang pemimpin. Dengan kekuasaan yang diberikan, pemimpin harus mampu menguatkan karisma, pengaruh, memiliki dorongan untuk pencapaian visi, orientasi pelayanan dan nilai tambah, dan memiliki strategi yang tepat untuk memimpin dan menjalankan organisasi.

Kekuasaan dan jabatan adalah atribut dari organisasi kepada pemimpinnya. Atribut ini dipinjamkan dan tidak diberikan menjadi hak milik pemimpin, hanya hak guna selama menjadi pemimpin. Kesadaran ini haruslah sudah ada sejak pemimpin dipinjamkan atribut-atribut, yang berfungsi untuk menguatkan kepemimpinannya.

Integritas dan komitmen haruslah menjadi bagian dari kesadaran pemimpin terhadap sifat dari atribut-atribut sebuah kepemimpinan. Pemimpin harus memahami konteks dari kekuasaan dan jabatan yang dipinjamkan oleh organisasi kepadanya. Bila dia memahami bahwa kekuasaan dan jabatan bukan milik, tetapi hanya hak pakai selama menjadi pemimpin, maka dia mampu bekerja keras dan melayani pekerjaannya dengan diri sejatinya, bukan karena kekuasaan ataupun jabatan.

Jadi, jawaban untuk pertanyaan kawan di atas ... *Bila sewaktu memiliki kekuasaan dan jabatan dia melayani dengan hati dan kebaikan, maka kehormatan dan perhatian tidak mungkin hilang. Tetapi, bila dia melayani dengan kekuasaan dan jabatan, maka ketika kekuasaan dan jabatan hilang, dia juga akan kehilangan kehormatan dan perhatian*.

Pemimpin yang hebat tumbuh dari diri sejatinya, bukan tumbuh dan berkembang dari kekuasaan dan jabatan yang dimiliki. Pemimpin sejati berkembang dari sikap *rendah hati dan melayani*, bukan dari sikap otoriter yang berkekuatan kekuasaan dan wewenang. Pemimpin sejati tidak pernah pensiun, di sepanjang hidupnya dia tetap memimpin dan melayani hidup, walau dia sudah tidak memiliki kekuasaan dan jabatan formal.

Bila Anda memimpin dari hati dan tidak terjebak dalam candu kekuasaan, maka kemampuan Anda tetap dibutuhkan dan dihargai oleh kehidupan di sepanjang kehidupan Anda. Pemimpin sejati tidak memerlukan penguatan dengan kekuasaan, jabatan, dan wewenang. Dia sudah memiliki kekuatan dari diri sejatinya, untuk memimpin dan melayani kehidupan, tanpa jabatan dan tanpa kekuasaan.