Selasa, 30 Oktober 2018

Tabayyun ... Senjata dari Allah untuk memerangi HOAX


TABAYYUN 
Senjata dari Allah untuk memerangi HOAX 
(sebuah kajian surat Al Hujurat ayat 6)

Sumber :




I. PENDAHULUAN

Sebelum memasuki kajian tentang Surat Al-Hujurat Ayat ke-6, kita perlu mengetahui arus utama kajian surat Al-Hujurat. Hal ini diperlukan untuk memotret secara tepat arah kajian ayat ini, sebelum kemudian melakukan penjelasan terhadap makna ayat agar tidak kehilangan kendali menuju orientasi yang tidak tepat.

Surat Al-Hujurat ini diturunkan setelah Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah). Sejak saat itu suku-suku yang ada di Jazirah Arab berbondong-bondong masuk Islam. Termasuk di dalamnya adalah Suku al-Musthaliq, yang di pimpin oleh al-Haris bin Dlirar. Meskipun masuknya Islam al-Harits diawali dengan sebuah peperangan, toh keislaman al-Harits ini tidak diragukan. Apalagi putrinya yang bernama al-Juwairiyah dinikahi oleh Rasulullah saw.

Surat al-Hujurat secara keseluruhan membimbing kehidupan bermasyarakat yang Islami. Surat ini mengajarkan bagaimana bersikap yang benar terhadap Rasulullah, bagaimana bersikap yang baik terhadap sesama mukmin, dan juga mengajarkan kewajiban dan tanggung jawab terhadap masyarakat Islam. Petunjuk-petunjuk tersebut bertujuan untuk menjaga dan memelihara keutuhan masyarakat Islam, dijauhkan dari kecerobohan internal umat Islam yang membahayakan masyarakat Islam.

Tak bisa dielakkan, kehidupannya manusia selalu dihadapkan pada berbagai masalah, baik pribadi maupun sosial. Tidak ada kehidupan tanpa masalah, justru dengan berbagai masalah itulah manusia hidup. Demikian juga yang dihadapi oleh kaum muslimin dan masyarakat Islam. Berbagai masalah muncul di hadapan mereka untuk dihadapi dan diselesaikan dengan sebaik-baiknya.

Dalam menyelesaikan masalah ini, ada satu faktor kunci yang menjadi dasar pijakan, yaitu informasi. Bagaimana pun, seseorang mengambil keputusan berdasarkan kepada pengetahuan, dan pengetahuan bergantung kepada informasi yang sampai kepadanya. Jika informasi itu akurat, maka akan bisa diambil keputusan yang tepat. Sebaliknya, jika informasi itu tidak akurat akan mengakibatkan munculnya keputusan yang tidak tepat. Dan giliran selanjutnya, muncul kedhaliman di tengah masyarakat.


II. AYAT DAN TERJEMAH SURAT AL HUJURAT AYAT 6

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. ( QS. Al-hujurat (49): 6)

Al-Umm, Bab At-Tatsabbut fi al-hukm wa Ghairih


III. ASBABUN NUZUL

Ayat ini, menurut laporan Ibn ‘Abbâs, diturunkan berkaitan dengan kasus al-Walîd bin ‘Uqbah bin Abî Mu’yth, yang menjadi utusan Rasul saw. untuk memungut zakat dari Bani Musthaliq.

Ketika Bani Musthaliq mendengar kedatangan utusan Rasul ini, mereka menyambutnya secara berduyun-duyun dengan sukacita. Mendengar hal itu, al-Walîd, menduga bahwa mereka akan menyerangnya, mengingat pada zaman Jahiliah mereka saling bermusuhan. Di tengah perjalanan, al-Walîd kemudian kembali dan melapor kepada Nabi, bahwa Bani Musthaliq tidak bersedia membayar zakat, malah akan menyerangnya. Rasul saw. marah, dan siap mengirim pasukan kepada Bani Musthaliq. Tiba-tiba, datanglah utusan mereka seraya menjelaskan duduk persoalan yang sesungguhnya. Lalu, Allah menurunkan surat al-Hujurat (49) ayat 6 ini.[2]

Dalam suatu riwayat di kemukakan bahwa Al- Harits menghadap Rasulullah saw. Beliau mengajaknya untuk masuk Islam. Ia pun berikrar menyatakan diri untuk masuk Islam. Rasulullah saw mengajaknya untuk mengeluarkan zakat, ia pun menyanggupi kewajiban itu, dan berkata;
Ya Rasulullah, aku akan pulang kekaumku untuk mengajak mereka masuk Islam dan menunaikan zakat. Orang – orang yang mengikuti ajakanku akan ku kumpulkan zakatnya. Apabila telah tiba waktunya, kirimlah utusan untuk mengambil zakat yang telah ku kumpulkan itu.

Ketika Al- Harits telah banyak mengumpulkan zakat, dan waktu yang telah di tetapkan telah tiba, tak seorang utusan pun menemuinya. Al- Harits mengira telah terjadi sesuatu yang menyebabkan Rasulullah saw marah kepadanya. Ia pun telah memanggil para hartawan kaumnya dan berkata,
Sesungguhnya Rasulullah saw telah menetapkan waktu untuk mengutus seseorang untuk mengambil zakat yang telah ada padaku, dan beliau tidak pernah menyalahi janjinya. Akan tetapi saya tidak tahu mengapa beliau menangguhkan utusannya itu. Mungkinkah beliau marah? Mari kita berangkat menghadap Rasulullah SAW. "

Rasulullah saw, sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, mengutus Al- Walid bin Uqbah untuk mengambil dan menerima zakat yang ada pada Al- Harits. Ketika Al-Walid berangkat, di perjalanan hatinya merasa gentar, lalu ia pun pulang sebelum sampai ketempat yang dituju. Ia melaporkan (laporan palsu) kepada Rasulullah saw bahwa Al-Harits tidak mau menyerahkan zakat kepadanya, bahkan mengancam akan membunuhnya.

Kemudian Rasulullah saw mengirim utusan berikutnya kepada Al-Harits. Ditengah perjalanan, utusan itu berpapasan dengan Al-Harits dan sahabat- sahabat nya yang tengah menuju ketempat Rasulullah saw.

Setelah berhadap- hadapan , Al-Harits menanyai utusan itu ; “ Kepada siapa engkau di utus?

Utusan itu menjawab ; “ Kami di utus kepadamu.”

Dia (Al Harits) bertanya; “ Mengapa?

Mereka (utusan itu) menjawab;
Sesungguhnya Rasulullah saw telah mengutus Al-Walid bin Uqbah. Namun, ia mengatakan bahwa engkau tidak mau menyerahkan zakat, bahkan bermaksud membunuhnya.”

Al-Harits menjawab ; “Demi Allah yang telah mengutus Muhammad SAW dengan sebenar- benarnya, aku tidak melihatnya. Tidak ada yang datang kepadaku. "

Ketika mereka sampai dihadapan Rasulullah saw, bertanyalah beliau Rasulullah SAW ;
Mengapa engkau menahan zakat dan akan membunuh utusanku?

Al-Harits menjawab ;  ” Demi Allah yang telah mengutus engkau sebenar- benarnya, aku tidak berbuat demikian.

Maka turunlah ayat ini (QS. 49 Al-Hujurat :6) sebagai peringatan kepada kaum mukminin agar tidak hanya menerima keterangan dari sebelah pihak.[3]


IV. MUNASABAH AYAT

Munasabah suratt al-Hujurat ayat 6 adalah ayat selanjutnya yaitu ayat ke-7 dan 8.

Dan ketahuilah olehmu bahwa dikalanganmu ada Rasulullah. Kalau dia menuruti (kemauan)mu dalam beberapa urusan, benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikanmu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikanmu benci kepada kekufuran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus” ( Al Hujurat ayat ayat 7 )

Sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana “ ( Al Hujurat ayat ayat 8 )


Ayat yang selaras maknanya dengan Surat Al Hujurat Ayat 6

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً

Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya." (QS al-Isrâ’ [17]: 36).


V. TAFSIR SURAT AL HUJURAT AYAT 6

Imam Syafi’i berkata, “ Allah memerintahkan kepada seseorang yang akan memutuskan suatu hal pada orang lain agar terlebih dahulu melakukan klarifikasi.”

Manaaqib asy-Assfi’iyy, Bab Maa Jaa fi Kuruujih ilaa al-Yaman wa Maqaamuh bihaa, Tsuma fi Hamlih min al-Yaman ilaa Haaruun[4]

Imam Baihaqi menuturkan bahwa khalifah ar-Rasyid mendengar kabar tentang Syafi’i yang hendak mengusir seorang ‘alawi ( pengikut Imam Ali ) dari Yaman, padahal kabar itu tidak benar.
Ar-Rasyid marah, kemudian dia mengirim pasukan untuk menagkap Imam Syafi’i. Selain Imam Syafi’i ada 17 orang yang juga ditangkap. Muhammad bin Hasan memberikan pertolongan, namun itu tidak berarti apa-apa. Ar-Rasyid membunuh sembilan orang diantara mereka, kemudian Imam Syafi’i dibawa menghadap kepadanya.

Begitu berada dihadapan Ar-Rasyid, Imam Syafi’i berkata, “ Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, jika seseorang yang fasik datang kepada kalian membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya agar kalian tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan ( kecerobohan ), yang akhirnya kalian menyesali perbuatan itu. ( QS. Al-hujurat (49): 6) 

Ar-Rasyid kemudian berkata, “ Bukankah berita tentangmu itu benar ?

Wahai Amirul Mukminin, bukankan setiap orang dimuka bumi ini yang mengaku pengikut Ali pasti beranggapan bahwa semua orang adalah budaknya ? Bagaimana mungkin aku akan mengusir seseorang yang akan menjadikanku sebagai hambanya ? bagaimana mungkin aku dengki dengan keutamaan Bani Abdi Manaf sedang aku bagian dari mereka dan mereka bagian dariku. “ jelas Imam Syafi’i. Amarah ar-Rasyid pun reda.[5]

Konteks turunnya ayat ini memang terkait dengan kasus al-Walîd, tetapi berdasarkan kaidah Al-‘ibrah bi’umûm al-lafzhi lâ bi khushûsh as-sabab (makna ayat ditentukan berdasarkan keumuman ungkapan, bukan berdasarkan spesifikasi sebab), maka ayat ini berlaku untuk umum. Berdasarkan ayat inilah, para ulama hadis kemudian membuat kaidah periwayatan hadis sehingga menjadi karakteristik khas ajaran Islam.

Tidak hanya itu, secara praktis, ayat ini juga menjadi kaidah berpikir para politikus untuk mengambil keputusan sehingga pantas jika Rasulullah SAW menyatakan:

»اَلتَّبَيُّنُ مِنَ اللهِ وَالْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ«

"Pembuktian itu berasal dari Allah, sedangkan ketergesa-gesaan itu berasal dari setan." (Dikeluarkan at-Thabari).[6]

Ayat ini dinyatakan oleh Allah kepada orang-orang yang beriman agar mereka berhati-hati ketika ada orang fasik membawa berita kepadanya; agar mereka memeriksanya dan tidak menelannya mentah-mentah (Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû in jâ’akum fâsiqun binaba’in fatabayyanû).

Dalam konteks ayat ini, Allah menggunakan jumlah syarthiyyah (kalimat bersyarat), "in jâ’akum" (jika [orang fasik] membawa kepadamu), dengan fâ’il (subyek) yang berbentuk sifat yaitu, "fâsiqun" (orang fasik). Berdasarkan konteks tersebut, dapat diambil mafhûm mukhâlafah (konotasi terbalik) sehingga para ulama membolehkan diambilnya hadis ahâd yang disampaikan oleh orang yang adil dan tidak fasik. Hal yang sama juga berlaku untuk pengetahuan yang disampaikan oleh seorang guru yang adil.

Fâsiq (fasik) sendiri mempunyai konotasi al-khurûj min at-thâ‘ah (keluar dari ketaatan). Menurut as-Syawkâni, ada yang menyatakan, bahwa fasik dalam konteks ayat ini adalah dusta atau bohong.[8]

Sementara itu, menurut istilah para ahli fikih, fasik adalah orang yang melakukan dosa besar dengan sengaja atau terus-menerus melakukan dosa kecil.[9]

Penggunaan kata naba’ (berita) dalam ayat ini mempunyai konotasi, bahwa berita tersebut adalah berita penting, bukan sekadar berita. Menurut ar-Râghib al-Ashfahâni, berita pada dasarnya tidak disebut naba’ sampai mempunyai faedah besar, yang bisa menghasilkan keyakinan atau ghalabah azh-zhann (dugaan kuat). [10]

Di sisi lain, kata naba’ tersebut merupakan bentuk nakirah (umum), yang berarti meliputi semua jenis dan bentuk berita; baik ekonomi, politik, pemerintahan, sosial, pendidikan dan sebagainya. Karena itu, dapat disimpulkan, jika ada orang fasik membawa berita penting, apapun jenis dan bentuknya, yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan, maka berita tersebut harus diperiksa.

Sedangkan kata tabayyanû, berarti at-ta‘arruf wa tafahhush (mengindentifikasi dan memeriksa) atau mencermati sesuatu yang terjadi dan berita yang disampaikan. [11]

An tushîbû qawman bi jahâlatin (supaya kalian tidak menjatuhkan keputusan kepada suatu kaum tanpa pengetahuan). Bi jahâlatin (dalam kondisi kalian tidak mengetahui) adalah keterangan hâl (keadaan yang menjelaskan perbuatan subyek).

Menurut as-Shâbûni, konteks bi jahâlatin tersebut sama artinya dengan wa antum jâhilun (sementara kalian tidak mengetahui) yaitu sebuah keterangan yang menjelaskan keadaan subyek ketika membuat keputusan atau kesimpulan. Keadaan ini umumnya terjadi karena informasi yang digunakan untuk mengambil keputusan atau kesimpulan tersebut tidak dicek terlebih dulu. Fatushbihû ‘alâ mâ fa‘altum nâdimîn (sehingga kalian menyesali apa yang telah kalian lakukan). Penyesalan tersebut terjadi tentu karena keputusan yang dijatuhkan sebelumnya ternyata salah, tidak akurat, dan merugikan orang lain; termasuk pengambil keputusan.


VI. MAKNA KANDUNGAN AYAT

Turunnya ayat ini untuk mengajarkan kepada kaum muslimin agar berhati-hati dalam menerima berita dan informasi. Sebab informasi sangat menentukan mekanisme pengambilan keputusan, dan bahkan entitas keputusan itu sendiri. Keputusan yang salah akan menyebabkan semua pihak merasa menyesal. Pihak pembuat keputusan merasa menyesal karena keputusannya itu menyebabkan dirinya mendhalimi orang lain. Pihak yang menjadi korban pun tak kalah sengsaranya mendapatkan perlakuan yang dhalim. Maka jika ada informasi yang berasal dari seseorang yang integritas kepribadiannya diragukan harus diperiksa terlebih dahulu.

Perintah memeriksa ini diungkapkan oleh al-Qur’an dalam kata fatabayyanu. Makna kata tersebut akan semakin mantap kita fahami dengan memperhatikan bacaan al-Kisa’i dan Hamzah, yang membaca kata tersebut dengan fatatsabbatu.

Kedua kata tersebut memiliki makna yang mirip. Asy-Syaukani di dalam Fath al-Qadir menjelaskan, tabayyun maknanya adalah memeriksa dengan teliti, sedangkan tatsabbut artinya tidak terburu-buru mengambil kesimpulan seraya melihat berita dan realitas yang ada sehingga jelas apa yang sesungguhnya terjadi.

Atau dalam bahasa lain, berita itu harus dikonfirmasi, sehingga merasa yakin akan kebenaran informasi tersebut untuk dijadikan sebuah fakta. Informasi yang perlu dikonfirmasikan adalah berita penting, yang berpengaruh secara signifikan terhadap nasib seseorang, yang dibawa oleh orang fasik.

Tentang arti fasik, para ulama’ menjelaskan mereka adalah orang yang berbuat dosa besar. Sedang dosa besar itu sendiri adalah dosa yang ada hukuman di dunia, atau ada ancaman siksa di akhirat. Berdusta termasuk dalam salah satu dosa besar, berdasarkan sabda Rasulullah SAW; “ Maukah kalian aku beritahukan tentang dosa besar yang paling besar, lalu beliau menjelaskan, kata-kata dusta atau kesaksian dusta ” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Dan mengenai berita yang perlu dikonfirmasi adalah berita penting, ditunjukkan dengan digunakannya kata naba’ untuk menyebut berita, bukan kata khabar.

M. Quraish Shihab membedakan makna dua kata itu. Kata naba’ menunjukkan berita penting, sedangkan khabar menunjukkan berita secara umum.

Al-Qur’an memberi petunjuk bahwa berita yang perlu diperhatikan dan diselidiki adalah berita yang sifatnya penting. Adapun isu-isu ringan, omong kosong, dan berita yang tidak bermanfaat tidak perlu diselidiki, bahkan tidak perlu didengarkan karena hanya akan menyita waktu dan energi.”[13]

Dalam soal mentabayyun berita yang berasal dari orang yang berkarakter meragukan ini ada teladan yang indah dari ahli hadis. Mereka telah mentradisikan tabayyun ini di dalam meriwayatkan hadis.

Mereka menolak setiap hadis yang berasal dari pribadi yang tidak dikenal identitasnya (majhul hal), atau pribadi yang diragukan intgritasnya (dla’if). Sebaliknya, mereka mengharuskan penerimaan berita itu jika berasal dari seorang yang berkepribadian kuat (tsiqah).

Untuk itulah kadang-kadang mereka harus melakukan perjalanan berhari-hari untuk mengecek apakah sebuah hadis yang diterimanya itu benar-benar berasal dari sumber yang valid atau tidak.

Tetapi sayang, tradisi ini kurang diperhatikan oleh kaum muslimin saat ini. Pada umumnya orang begitu mudah percaya kepada berita di koran, majalah atau media massa. Mudah pula percaya kepada berita yang bersumber dari orang kafir, padahal kekufuran itu adalah puncak kefasikan. Sehingga dalam pandangan ahlul hadis, orang kafir sama sekali tidak bisa dipercaya periwayatannya.

Teladan untuk bertawaqquf terhadap berita yang tidak jelas ini pernah diberikan oleh Rasulullah saw dan para shahabat ra ketika terjadi berita dusta mengenai diri Aisyah. Orang-orang munafik sengaja menyudutkan Aisyah, yang tertinggal di tengah padang pasir sekembali dari perang bani Mushthaliq. Mereka menuduhnya telah melakukan selingkuh dengan orang lain. Para shahabat yang telah teruji keimanannya ketika ditanya tidak ada yang mau memberikan komentar, hingga akhirnya Allah swt menjelaskan persoalan itu yang sebenarnya. Dan dengan berhati-hatinya terhadap berita ini menjadikan kaum mukminin terhindar dari penyesalan, karena menfitnah orang, apalagi dia Ummul Mukminin.[14]


VII. ASPEK PENDIDIKAN DALAM PEMBINAAN MASYARAKAT

Begitu besar keburukan dan kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh suatu berita yang tidak akurat, begitu banyak kemudharatan dan kedzaliman yang akan menimpa suatu kaum dikarenakan berita yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Oleh sebab itu, agama Islam ini telah mengajarkan kepada kita untuk dapat mengelola berita atau informasi secara bijaksana sesuai dengan Allah SWT syariatkan dan Rasulullah saw contohkan, yaitu :

1. Berbaik sangka atau Husnudzan
Apabila kita mendapatkan berita ataupun informasi yang buruk tentang saudara muslim kita, maka yang pertama kali harus kita kedepankan adalah membangun prasangka baik kita kepadanya (husnudzan). Boleh jadi bahwa berita buruk yang sampai ke telinga kita adalah berita fitnah dan jauh dari kebenaran, dan boleh jadi berita tersebut adalah benar adanya tetapi juga jauh dari keakuratan. Sehingga alangkah bijaksananya jika kita tidak mempercayai begitu saja berita yang kita dengar tentang saudara muslim kita lainnya apalagi jika berita tersebut disampaikan oleh seorang munafik dan kafir.

Allah SWT berfirman di awal surat Al-Hujurat ayat 12 :

 يا أيها الذين آمنوا اجتنبوا كثيرا من الظن إن بعض الظن إثم

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan dari prasangka (kecurigaan), karena sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa..” (Qs.49 : 12)

2. Melakukan tabayyun
Allah SWT firmannya di surat Al-Hujurat ayat 6 :
“Wahai orang-orang yang beriman !, jika seorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu” (Qs. 49 : 6)

Allah SWT mengajarkan kita untuk melakukan tabayyun atau memeriksa kembali dengan seksama terhadap berita yang kita terima, baik dari seorang muslim, lebih-lebih jika kita terima dari seorang kafir. Hal ini kita lakukan agar kita tidak terjebak fitnah yang dilontarkan oleh orang-orang yang fasik, yang menginginkan tersebarnya keburukan orang lain. Kita harus berlaku adil terhadap sesama muslim, bahkan keadilan terhadap berita yang menceritakan tentang dirinya yang tersampaikan kepada kita.

Melakukan tabayyun lebih baik dilakukan terhadap kedua pihak, terhadap objek yang diberitakan maupun kepada pembawa berita ataupun pihak yang disengketakan, sehingga kita bisa mendapatkan informasi yang akurat dan berimbang. Dengan begini, kita bisa menjaga diri dari berpikiran buruk atau su’udzan terhadap saudara muslim kita lainnya, dan kita juga terhindar menjadi penyebar berita buruk yang mengada-ada tentang saudara muslim kita tersebut.

3. Tidak menyebarkan berita keburukan saudara muslim yang lain
Jika berita keburukan saudara kita telah sampai kepada kita, hendaknyalah sebisa mungkin kita menahan diri untuk tidak turut andil dalam menyebarkan keburukan saudara muslim kita itu, kecuali dengan pertimbangan bahwa keburukan yang dilakukan oleh saudara kita dapat mengakibatkan keburukan bagi kaum yang lain.

Kita harus senantiasa menjaga lisan ini, untuk digunakan sesuai dengan yang Allah ridhai, bukan malah menjadi alasan untuk lebih menjerumuskan kita kedalam neraka,
sebab Rasulullah SAW bersabda :
أكثر ما يدخل الناس النار الفم والفرج) رواه الترمذي وابن حبان في صحيحه

“Yang paling banyak menjerumuskan manusia ke-dalam neraka adalah mulut dan kemaluan”
(H.R. Turmudzi dan dia berkata hadits ini shahih.)

4. Mengingatkan kesalahan dan membantunya
Manusia adalah makhluq Allah yang lemah yang Allah ciptakan bersama dengan Nafsu yang menyertainya. Jama’ah manusia bukanlah jama’ah Malaikat, yang diciptakan-Nya tanpa mempunyai nafsu dan terhindar dari kesalahan karena kepatuhan dan ketundukkannya kepada Allah SWT. Hingga suatu keniscayaan bahwa manusia akan melakukan kesalahan dan kekhilafan dalam kehidupannya.

Sudah menjadi tugas seorang muslim untuk saling mengingatkan kesalahan saudaranya dan membantunya untuk memperbaikinya. Saling mengisi kekurangannya, dan saling memperkuat kelebihannya. Akan indah kehidupan ini, jika kaum muslimin bisa hidup saling membantu dan memberi manfaat, bukan saling menyebarkan keburukan dan menjatuhkan.

Rasulullah saw bersabda :
Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat kepada manusia (lain)”.
(Hadist Hasan, diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdullah ra).

5. Mendo'akan bagi kebaikan saudara muslim lainnya
Akhirnya setelah kita mengetahui kejelasan berita secara akurat tentang saudara muslim kita lainnya, lalu kita bersabar dengan tidak menyebarkan keburukannya dan ikut andil dalam nasehat mengingatkan kesalahannya, maka hal terakhir yang bisa dilakukan oleh seorang mukmin adalah mendo’akan bagi kebaikannya.

Mendo’akan bagi kebaikan saudara muslim yang lain adalah salah satu bentuk kepedulian dan kecintaan kita pada saudara kita dalam wujud amalan yang paling sederhana, manakala kita tidak bisa ikut membantu menyelesaikan beban dan masalah yang menimpanya, maka hendaknyalah dalam setiap sujud sholat kita, dalam setiap keheningan malam munajat kita pada Sang Maha Kuasa, kita sertakan nama saudara kita dalam untaian kata penuh harap kepada Sang Maha Penyayang. Kita do’akan kebaikan saudara kita sebagaimana kita berdo’a untuk kebaikan kita diri kita sendiri.

Rasulullah SAW bersabda,
do’anya seorang saudara muslim untuk saudaranya muslim yang lain tanpa sepengetahuannya adalah tidak ditolak”.
(HR. Al Bazzar, dengan sanad Shahih).


VIII. KESIMPULAN

Ada beberapa kesimpulan yang bisa kita ambil pelajaran dari surat al-Hujurat ayat 6 yaitu :
  • Ayat di atas menunjukkan bahwa mengklarifikasi berita yang dibawa orang fasik adalah salah satu kesempurnaan keimanan
  • Allah memerintahkan kepada mukmin untuk selalu meneliti berita yang dibawa oleh orang fasik
  • Ayat ini menjadi dasar bahwa dilarang seorang ahli hadits untuk mengambil hadits yang diriwayatkan oleh orang fasik
  • Diperintahkan untuk meneliti setiap berita dari orang fasik, agar kita tidak merugikan atau menimpakan bahaya kepada orang lain.

Senin, 22 Oktober 2018

Cheetah Kill by Alison Buttigieg .. Dan cerita Hoax dari album photonya




Pernahkah Kawanku mendapatkan pesan berupa foto seperti tersebut di atas?


Pesan yang menyertai foto tersebut berupa kisah yang sangat menyentuh hati kita mungkin disampaikan seperti ini ya?


Tahukah cerita di balik foto segerombolan cheetah yang nampak memangsa induk Rusa dengan tatapan mata yang sangat tenang itu?

Foto tersebut adalah hasil jepretan dari seorang fotografer asal Kanada.
Foto ini berhasil memenangkan award untuk kategori best foto dekade tahunan di Jepang.

Cerita di balik foto ini, yaitu : rusa yang Anda lihat adalah seekor rusa betina yang memberikan dirinya mati dimakan cheetah.

Alasannya, karena awalnya cheetah mengincar kedua anaknya, si induk yang tahu akan bahaya pada kedua anaknya berusaha menarik perhatian cheetah-cheetah itu sampai dia harus merelakan dirinya dimangsa, agar fokus cheetah tertuju padanya sehingga kedua anaknya bisa lolos.

Si induk rusa ini tak terlihat sedikit pun melawan, memberikan dirinya dimangsa sampai kedua anaknya terluput. Si induk rusa hanya terlihat tenang sambil matanya terus mengawasi kedua anaknya yang terus berlari meninggalkannya.

Sebagai manusia yang memiliki perasaan dan pemikiran, sudahkah kita berani berkorban untuk orang orang yang kita cintai? Memberikan yang terbaik bagi mereka tanpa mengharapkan balas jasa?

Tidak perlu sampai mengorbankan nyawa, dapat dimulai dengan memberikan waktu kita untuk mereka, mendengarkan mereka disaat mereka membutuhkan kita, membagi kebahagiaan dan kesuksesan kita?

Berguna untuk orang lain nilainya jauh lebih berarti daripada berguna hanya untuk diri kita sendiri...
.



Cerita yang sangat menyentuh hati ya? Tunggu dulu ...





Yuk kita simak cerita yang lain lagi, karena ternyata informasi yang sangat menyentuh perasaan tersebut tidak sesuai dengan informasi yang sesungguhnya.



Alison Buttigieg dari Finlandia



Beberapa orang yang kenal dengan sang photographer mencoba mencari informasi langsung atas kisah tersebut dari Alison Buttigieg. Sang photographer yang tinggal di Finlandia (bukan Kanada) kemudian memberikan konfirmasi dalam wall Facebook-nya sebagai berikut :



The picture is very much about motherhood, but not the impala's! The picture shows a mother cheetah teaching her young how to kill prey. The impala's "calm" look which was interpreted by earnest humans as "martyrdom" was actually paralysis due to fear and shock, Alison says.


(Foto ini sungguh-sungguh kisah tentang keibuan, tapi bukan tentang impala-nya! Foto ini menunjukkan usaha induk cheetah dalam mengajari anak-anaknya bagaimana cara membunuh mangsanya. Penampilan "tenang" impala yang ditafsirkan oleh manusia yang seakan sebagai "kemartiran" sebenarnya adalah kelumpuhan karena rasa takut dan syok, kata Alison.)


Note :
Dari pernyataan Alison tampak jelas deskripsinya tentang proses perburuannya, bukan pada kisah impala-nya (note : bukan rusa).

Speaking to DNA, Alison said, "It is not true that I suffered from depression - it was just lies so that some people get more likes on their page. People steal photos all the time to get attention, but this was very rude and hurtful."



(Berbicara kepada DNA, Alison berkata, "Tidak benar bahwa saya menderita depresi - itu hanya kebohongan sehingga beberapa orang mendapatkan lebih banyak "like" di halaman yang mereka buat. Orang-orang mencuri foto sepanjang waktu untuk mendapatkan perhatian, tapi ini sangat kasar dan menyakitkan. ")


I witnessed this Cheetah kill in September 2013 in the Maasai Mara, Kenya. Narasha, the cheetah mom, was teaching her youngsters how to kill prey. However they were a bit slow on the uptake and they were playing with the hapless Impala prey instead of killing it. Narasha, the cheetah mom is the one that is grabbing the impala by the neck in all the photos. The youngsters practice some skills like pouncing and tripping which they get right, but they cannot seem to be able to get how to strangle the impala effectively.




(Saya menyaksikan Cheetah ini membunuh mangsanya pada bulan September 2013 di Maasai Mara, Kenya. Narasha, sang induk cheetah, sedang mengajari anak-anaknya bagaimana cara membunuh mangsa. Namun mereka agak lambat menyerap pelajarannya dan malah bermain-main dengan mangsa "Impala yang malang ini" alih-alih untuk segera membunuhnya. Narasha, induk cheetah yang tampak di semua foto tersebut adalah cheetah yang tampak memegang leher impala. Anak-anaknya berusaha mempraktekkan beberapa keterampilan seperti menerkam dan merobohkan mangsa dengan benar, tetapi tampaknya belum bisa melakukan cara mencekik impala dengan efektif.)

What is out of the ordinary in this sequence of photos is how calm the impala is throughout its ordeal. It is probably in shock and thus paralysed with fear. It is disturbing how it seems to be posing in some photos, especially in the 6th one as if determined to stay beautiful and proud until its very end. The defiance in its eyes are in stark contrast with its lack of interest in self-preservation. This allowed me to get unique pictures of a kill that are seemingly choreographed in their grace. I wanted the viewer to sympathize with the impala, and at the same time witness with me the disturbing nature of this unusual kill.

(Apa yang luar biasa dalam urutan foto ini adalah betapa tenangnya impala di seluruh cobaan akhir hidupnya. Mungkin karena terkejut dan lumpuh karena ketakutan. Hal ini mengganggu pikiran kita bagaimana impala ini seakan ingin berpose di beberapa foto, terutama di foto keenam seolah-olah bertekad untuk tetap cantik dan bangga "menjadi mangsa" sampai akhir. Pembangkangan yang tergambarkan di matanya sangat kontras dengan kurangnya minat dalam melarikan diri. Ini memungkinkan saya untuk mendapatkan gambar-gambar unik dari sebuah drama pembunuhan yang tampak sebagai koreografi dari mereka. Saya ingin pemirsa untuk bersimpati dengan impala ini, dan pada saat yang sama menyaksikan bersama saya pembunuhan yang tidak lazim dan menggangu pikiran kita ini.)

In the end, after what seemed like an interminable eternity (but it was just a few minutes), the cheetah mom put the impala out of its misery, and the cats got to enjoy a nice meal. 

(Pada akhirnya, setelah apa yang tampak seperti keabadian tak berkesudahan (tapi itu hanya beberapa menit), ibu cheetah melepaskan impala dari kesengsaraannya, dan kucing-kucing itu bisa menikmati makanan yang enak.)


Trapped
No escape
the strangle hold


Training day

End of Game

Dinner is served

Ceritanya tidak semenyentuh cerita yang pertama ya? Hehehe ... biar saja.

Setidaknya menjadi pelajaran berharga buat kita semua untuk cek dulu sumber berita, terutama bila sudah ada clue ketidak laziman di dalam penulisannya ... sumber beritanya dapat dipercaya atau tidak ... detail-detail seperti nama sang photographer dan apa penghargaannya yang tersamarkan ... sehingga kita tidak turut membagikan cerita yang justru salah dan dapat menyakiti hati sang pemilik ceritanya secara langsung. Kredit khusus untuk Alison Buttigieg atas karya dan pengabdiannya yang sangat bermanfaat bagi kita semua.


Anda tertarik untuk tahu lebih banyak tentang karya Alison Buttigieg ... silakan kunjungi situsnya di :
http://www.alisonbuttigieg.com/cheetahkill/


Keutamaan Shalat Jamaah dan I'tikaf di Masjid


Dari Abu Hurairah R.A. :
bahwa Rasulullah SAW bersabda, 

"Pahala shalat seseorang dengan berjamaah melebihi pahala shalatnya di rumah dan di pasar sebanyak dua puluh lima derajat. Hal tersebut, karena apabila seseorang di antara kalian berwudlu, lalu memperbagus wudlunya, kemudian pergi ke masjid semata mata karena untuk mengerjakan shalat, dan kesempatan itu hanya dipergunakan untuk shalat, maka orang tersebut tidak melangkahkan satu langkah, kecuali setiap langkahnya itu diangkat baginya satu derajat, dan dihapus darinya satu dosa, sampai dia masuk ke dalam masjid. Apabila dia telah masuk masjid, maka dia dihitung dalam keadaan shalat selama tertahan karena shalat (tidak keluar dari masjid karena menunggu shalat). Para malaikat akan bershalawat kepada seseorang di antara kalian, selama dia tetap berada di tempat dia mengerjakan shalatnya. Para malaikat berdoa, 'Ya Allah, ampunilah dia, rahmatilah dia dan terimalah taubatnya. Para malaikat itu berdoa demikian selama orang itu tidak mengganggu orang lain di tempat itu atau berhadats"

(H.R.  Abu Dawud, Shahih Nomor 472).

Rabu, 17 Oktober 2018

HIPOKRIT ... Salah Satu Sifat Negatif Bangsa Indonesia

Bagi Mochtar Lubis, seorang wartawan sekaligus sastrawan yang telah menjumpai kehidupan di masa penjajahan (kolonialisme Belanda dan pendudukan Jepang di era 1922-1945) maupun masa kemerdekaan Indonesia sejak tahun 1945, hingga tutup usianya di tahun 2004, ... keberaneka ragaman suku dan etnis yang hidup di Indonesia, dengan berbagai macam sifat, perilaku dan kultur khasnya masing-masing ... yang hingga saat ini mungkin masih juga menjadi PR panjang bagi para ilmuwan sosiologi maupun antropologi untuk dapat dipetakan mana yang unggul maupun yang buruknya .. ternyata dapat disarikan dalam telaah yang mudah dipahami dan selanjutnya dituangkan di dalam bukunya yang berjudul "Manusia Indonesia ( Sebuah Pertanggungjawaban ). Di dalam buku itu Mochtar Lubis memberikan gambaran tentang 11 sifat yang berpotensi negatif dari total 12 sifat khas Manusia Indonesia, di mana salah satu di antaranya adalah sifat HIPOKRIT.



Sebelumnya ... kita cari tahu dahulu apa yang dimaksud dengan hipokrit itu sendiri.

(1). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makna kata "hipokrit" adalah munafik atau orang yang suka berpura-pura.

(2). Dalam pandangan Murtadha Muthahari, hipokrit dimaknai sebagai sifat bermuka dua dan menampakkan dirinya secara berbeda dari keadaan yang sesungguhnya.

(3). Di dalam ajaran agama Islam, hipokrit digambarkan sebagai orang yang memiliki salah satu dari tiga hal berikut, yaitu apabila ia berbicara maka ia berdusta, apabila ia berjanji maka ia ingkar, dan apabila ia dipercayai maka ia berkhianat. 

(4). Menurut Amin Siahan, yang merupakan salah seorang kompasianer, hipokritisme sosial sudah ada jauh sebelum Indonesia menjadi sebuah negara. Pada zaman kerajaan, kaum birokrat berusaha memberikan pujian ataupun berita yang menyenangkan raja. Imbalannya adalah berupa jabatan atau kekayaan yang diberikan raja. Dan hal ini adalah contoh konkrit dari prinsip ABS yang disampaikan oleh Mochtar Lubis. Ternyata, Hipokritisme sosial ini masih berlanjut beriringan dengan sistem yang semakin berkembang. Ketika Nusantara dikuasai VOC (1602-1799) perilaku hipokrit juga terjadi. Yaitu melalui praktek-praktek korupsi secara masif sehingga mengakibatkan kongsi dagang ini bubar.


(5). Oleh Mochtar Lubis sendiri disebutkan sebagai orang yang mempunyai penampilan yang berbeda di depan dan belakangnya.  Sifat  ini  muncul karena sejak lama  manusia  Indonesia mengalami  penindasan  sehingga tidak mampu untuk  mengungkapkan  apa sebenarnya yang dikehendakinya, dan sesuai dengan hati nuraninya.



Lalu mengapa muncul sifat Hipokrit pada Manusia Indonesia dan apa yang harus kita lakukan agar terhindar dari sifat Hipokrit ini?

Meskipun pemahamannya begitu gamblang ... namun celakanya sekarang ini sifat hipokrit tidak lagi dipandang sebagai aib yang harus dihindari. Ia justru menjadi senjata untuk dapat "survive". Dan lebih celakanya lagi karena sudah menjadi kebiasaan dan kelaziman, akhirnya hipokrit ini pun berubah menjadi “budaya yang terlestarikan". Akan menjadi aneh jika kita tidak mengikuti polah tingkah hipokritnya manusia di sekitar kita. Kita akan dicap sebagai "alien" di tengah lingkungan masyarakat kita. Pola kerja asal bapak senang (ABS), menjilat, memuji-muji dengan maksud yang sama dengan ABS juga, lapor asal beres dan asal baik walau sejatinya belum tuntas, bilang ikhlas dan tidak apa-apa walau aslinya menggerutu di dalam hatinya, merupakan contoh-contoh pola hidup hipokrit yang terlazimkan di lingkungan Manusia Indonesia dari dulu hingga sekarang. Apalagi jika berhadapan dengan orang yang lebih berkuasa dan otoriter, jika tidak ikut menjadi hipokrit maka akan secepatnya pula ditendang keluar. Dan contoh nyatanya adalah dalam rekaman masa yang tercerminkan pada polah tingkah para tokoh di dunia politik. 

Keinginan untuk survive atau asal selamat, untuk mendapatkan jabatan atau kekuasaan, untuk diakui di dalam level golongan tertentu yang lebih bergengsi ... menjadi sumber alasan instant dalam melazimkan diri untuk turut serta menjadi seorang hipokrit.

Sebagai mana yang didefinisikan oleh Mochtar Lubis bahwa sifat ini muncul akibat ketidak mampuan (atau ketidak beranian) di dalam mengungkapkan isi hati sanubari atau apa yang sebenarnya dikehendaki, maka untuk mencegahnya harus ditumbuh kembangkanlah sifat anti hipokrit .. tidak di diri kita saja. namun juga bersama-sama keluarga kita sendiri maupun lingkungan kehidupan kita sendiri di tempat kerja, RT/RW/Kampung, ataupun komunitas.

Sebenarnya di dalam ajaran agama sudah diberikan way out-nya, yaitu untuk berani dan selalu  mengutamakan selalu jujur, tidak berkata dusta, walaupun kadang harus bertentangan dengan keinginan khalayak umum atau suara terbanyak. Menepati setiap janji yang telah disepakati, walaupun terkadang sulit pada momentum tertentu. Dan selalu menjaga amanah yang telah diberikan dengan sebaik-baiknya, walau ada keterbatasan di dalam pelaksanaannya.


Bagaimana sikap kita kepada orang yang memiliki sifat hipokrit?



Sesungguhnya orang munafik lebih berbahaya, karena mereka tidak menampakkan permusuhan, mereka menampakkan keimanan dan persahabatan, padahal mereka benci, dengki dan selalu menyerang dari belakang secara pengecut.


Hendaklah kita berpaling dari mereka, jangan jadikan mereka sahabat atau teman dekat. Dan berilah mereka pelajaran, dan nasihat yang baik. Jangan dengan kekerasan, atau umpatan namun nasihatilah dengan hikmah dan bijaksana. Dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka, hingga mereka bertaubat dari kemunafikan, hingga menjadi mukmin sejati.

Tidaklah rugi bagi Allah, dan hamba-hambaNya yang beriman terhadap tipu daya orang-orang munafik, melainkan tipu daya itu hanya kembali merugikan orang-orang munafik itu sendiri, dan itu tidak disadari oleh mereka.

أُولَـٰئِكَ ٱلَّذِينَ يَعْلَمُ ٱللَّهُ مَا فِى قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُل لَّهُمْ فِىۤ أَنفُسِهِمْ قَوْلاً بَلِيغاً

"Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka." (QS An Nisaa' : 63)

Ayo ... bersama-sama selamatkan Manusia Indonesia dari sifat negatif yang akan menguburnya suatu saat kelak.