Selasa, 30 Desember 2014

Sajadah Milik Pierre (bagian 2)

Jarum jam masih menunjukkan pukul 2 pagi saat mama Lin Lin, jamaah haji dari Sichuan Tiongkok, baru saja selesai menyalakan magic com di dapur umum di sebelah kamar penginapannya. Tangannya sebentar kemudian beralih mengipas-kipas seduhan tehnya dalam gelas besar, dan setelah teh itu menjadi hangat berangsur dituangkannya ke dalam botol minuman ala tupper ware yg akan dibawanya ke Haram nanti. Hanya mirip tupper ware karena memang asli bikinan negerinya, Tiongkok, yang jago tembak produk-produk laris di dunia, ya seperti tupper ware itu misalnya.

Beberapa hari ini Mama Lin Lin memang hanya minum teh hangat saja ketimbang air zam-zam dari Haram. Tenggorokannya mulai gatal menjelang batuk, sepertinya jadi tertular pula oleh batuk jamaah yang lain. Meski masker kain sudah dia dobeli dan rajin dia kenakan, tak ayal masih tetap tertular juga. Mama Hua yang tinggal sekamar dengannya dan kebetulan juga satu-satunya dalam rombongan mereka yang belum batuk yang kemudian berbagi tips kepadanya, menganjurkannya untuk meminum seduhan daun teh hijau hangat-hangat.

Selesai menuang teh, Mama Lin Lin menghela nafas panjang. Ngeri walaupun hanya membayangkan kalau dirinya harus membeli sendiri obat batuk di apotik-apotik di Mekkah ini. Harga obat di sini lumayan mahal, apalagi bagi jamaah haji seperti dirinya. Meski ia mendapatkan living cost sebesar 5.000 yuan atau setara 10 juta rupiah, namun uang itu memang ia upayakan untuk tetap utuh sehingga bisa dibawanya pulang kembali. Untuk berangkat berhaji tahun ini, uang milik keluarga sebesar 35.000 yuan telah ia habiskan sendiri. Belum lagi jika dihitung bersama suaminya, totalnya 70 ribu yuan. Padahal pendapatan sebulan dari hasil kerja seluruh keluarganya, hanya berkisar 500 yuan saja. Sebuah nilai uang yang sangat berarti bagi keluarga petani seperti mereka. Oleh karenanya, untuk berhemat selama di Mekkah ini, mama Lin Lin dan banyak jamaah China yg lain cenderung menahan diri untuk tidak beli-beli sesuatu.

Dalam tas kopernya, mama Lin Lin sudah memenuhinya dengan bekal makanan. 5 kilo beras, 3 kilo mi, 3 kilo tepung. Sisanya hampir 10 kilo makanan dan bahan makanan, termasuk bumbu dapurnya. Tak ayal kalau tas kopernya pun nyaris menyentuh limit ijin kargo. Padahal bekal itupun sudah dibagi bersama dengan kelompoknya, agar bisa saling melengkapi.

Mama Lin Lin pun tak pernah malu untuk mengantri puluhan meter tiap kali ada pembagian "halalan" dalam perjalanan sepulang dari Haram. Entah itu berupa buah, roti, nasi biryani, jus ataupun paket dari Raja Arab. Bagi dirinya, "halalan" itu telah menjadi penyambung hidup selama mereka di Mekkah. Uang saku betul-betul bisa mereka hemat sehemat mungkin.

Memang terkadang mama Lin Lin juga cemburu dengan jamaah lain dari Asia, khususnya jamaah Indonesia, yang tiap pulang dari Masjidil Haram selalu saja mampir ke pertokoan di sepanjang kiri kanan jalan utama Misfalah, yang searah dengan hotel penginapan mama Lin Lin. Entah jamaah Indonesia itu hanya sekedar melihat-lihat ataupun benar-benar berbelanja, namun hal tersebut menjadi hal yg sulit dilakukan oleh mama Lin Lin dan rombongan mereka. Mereka harus teguh betul dalam menghemat uang yang ada, meskipun sebenarnya dalam hati kecil mama Lin Lin pun ingin berbelanja pula. Pakaian, perhiasan, sajadah dan berbagai pernak-pernik lainnya sungguh betul-betul menggoda. Namun sekali lagi, itu harus mampu mereka pendam serapat mungkin dalam lubuk hati terdalam mereka.

Maka ketika sore harinya selepas berjamaah Ashar, demi melihat seorang nenek dari Indonesia mengulurkan sebuah sajadah kepada jamaah Palestina yang duduk tepat di sebelahnya, air mata mama Lin Lin tiba-tiba saja mengalir tak terbendung. Seandainya ia bisa berbincang-bincang dengan nenek itu, mama Lin Lin pun ingin melakukan hal yang sama. Bisa memberi kepada orang lain, bersedekah, tak hanya seperti sekarang yg dilakukannya yg masih harus rela antri demi "halalan-halalan" itu. Tanpa sadar, telapak tangan mama Lin Lin membekap erat mulut dan hidungnya demi menahan isak tangisnya yg makin menggelora. Hatinya pun menjerit-jerit memohon petunjuk dan pertolongan kepada Allah.

Sebuah tangan yang hangat mengelus punggung Mama Lin Lin, berusaha menghiburnya. Entah apa yang diucapkan oleh akhwat Palestina di sampingnya itu, namun perlahan hati mama Lin Lin pun berangsur tenang kembali. Nenek Indonesia di samping akhwat Palestina itu pun mengulurkan sekotak tissu kepadanya dengan tersenyum ikut menghiburnya. Sambil mengangguk berterima kasih, mama Lin Lin menyambut tissue itu untuk mengelap wajahnya yg basah kuyup oleh keringat dan air matanya.

Tiba-tiba seperti mengalir begitu saja dalam benak pikiran mama Lin Lin, seolah ada seseorang yang membisikkan ke telinganya. Sebuah elusan di punggung, selembar tissu, beberapa butir kurma, beberapa teguk air, menunjukkan arah jalan, membantu mengambilkan segelas air zam-zam ... Bukankah itu juga sudah bisa menjadi sedekah? Dan itu pun sedekah yg murah, tak harus berupa sedekah sajadah seperti yg dilakukan nenek Indonesia tadi. Dan Mama Lin Lin pun makin yakin, bahwa dirinya tak akan jadi jatuh miskin karena rajin bersedekah seperti itu.

Mama Lin Lin tersenyum lebar, dan kembali mengangguk-angguk mengisyaratkan berterima kasih kepada wanita Palestina dan Indonesia yang telah menolongnya tadi. Dalam dadanya telah bulat sebuah tekad untuk memulai bersedekah sekarang juga. Tangannya bergegas menyambar botol "tupperware" dalam tas cangklongnya, untuk ditawarkan kepada wanita Palestina dan Indonesia itu. Alhamdulillah, mereka pun menyambutnya, sehingga hati mama Lin Lin menjadi lega.

"Begitu mudahnya Allah membolak-balikkan hatiku. Dan sungguh Allah telah memuliakan diriku. Terima kasih ya Allah." Pekik dalam hati mama Lin Lin bersyukur kepada pemilik Haram di sore itu.