Selasa, 30 Desember 2014

Kisah Pemuda Jepang dan Ibunya Yang Lumpuh

Sore tadi saat perjalanan ke Kediri, saya menyimak cerita ini dari radio Andika 105,7 FM. Kiranya sebuah cerita yg perlu kita teladani bersama di momen terima kasih kita kepada semua Bunda di hari ini.

Berikut kisahnya, ...

Pada jaman dahulu, ada sebuah tradisi di Jepang Kuno untuk membuang orang-orang yg sudah jompo atau orang yg sudah tdk bisa melakukan apa-apa ke dalam hutan, agar tidak memberatkan kehidupan keluarganya. Tentu saja hutan di Jepang pada masa itu masih sangat lebat dan banyak dihuni binatang buas semacam srigala.

Saat itu tingkat ekonomi Jepang kuno tidak seperti Jepang modern saat ini. Penghidupan masih sulit. Perampokan dan kejahatan merajalela. Sehingga adanya anggota keluarga dewasa yg tak bisa membantu apa-apa tentu memberatkan anggota keluarga yg lain. Itulah pola pikir orang Jepang kuno kala itu.

Demikian pula pada hari itu, seorang pemuda sedang berjalan memasuki hutan sambil menggendong ibunya yg sudah tua. Ibunya itu kurus, lumpuh kedua kakinya, dan sudah berminggu-minggu ini hanya terbaring saja di dalam rumah mereka karena tidak mampu untuk mengangkat tubuhnya sendiri.

Di sepanjang perjalanan masuk ke tengah hutan, si ibu yg dalam gendongan anaknya itu meraih-raih batang dan ranting pohon. Sesekali sekedar dipatahkannya saja. Teruuuus sang pemuda itu berjalan, hingga sampailah mereka di tengah-tengah hutan, di tepi sebuah sungai kecil yg berbatu-batu besar.

Si pemuda menurunkan ibunya dari gendongan, kemudian mendudukkannya dalam posisi bersandar pada sebuah batu. Lalu sambil terisak menahan sedih, si pemuda itu berkata,

"Ibu, maafkanlah aku. Sesungguhnya aku mencintai ibu. Aku menyayangi ibu. Ibu telah banyak berjasa kepadaku. Ibu telah banyak mendidikku. Aku belum bisa membalas semua budi baik ibu yg merawatku sedari kecil. Namun, ..."

Belum selesai si pemuda itu berkata, sang ibunda sudah memotong kalimatnya,

"Sudahlah Nak. Ibu paham dengan semua berat pikiranmu. Ibu ikhlas kau tinggalkan di sini. Pulanglah segera selagi matahari masih tinggi. Tadi ibu sudah membuat tanda di sepanjang jalan, ikutilah dahan-dahan yg patah itu, niscaya engkau tidak akan tersesat kembali ke rumah, anakku."

Mendengar perkataan sang Ibunda yg arif itu, si pemuda menangis sejadi-jadinya. Dipeluknya si ibu dengan erat sebagai tanda kasih sayangnya, lalu digendongnya kembali di belakang punggungnya, dan mereka pun berjalan pulang ke rumah.

Si pemuda itu selanjutnya terus merawat ibunya bertahun-tahun, hingga sang ibu wafat di tengah-tengah keluarga mereka.


Semoga memberi hikmah tauladan bagi kita semua.

Selamat hari BUNDA! 




Nganjuk, 22 Desember 2014