Selasa, 30 Desember 2014

Sajadah Milik Pierre (bagian 1)

Pagi itu Sayid dan Fatimah istrinya, berjalan pulang selepas berjamaah shubuh di Haram. Tubuh renta mereka terpaksa harus beradu kuat berhimpit-himpitan dengan jamaah lain yang masih muda ataupun yang berbadan layaknya raksasa, saat mulai membelah jalan di antara pertokoan Misfalah sekeluarnya dari serambi masjid. Tangan kecil Fatimah bergegas menggaet lengan Sayid, khawatirterpisahkan bila terhentak oleh jamaah yang nekad menerobos di antara mereka saat melintas di depan toko roti yang sudah ramai pembeli. Sayid justru tersenyum senang ketika istrinya semakin menggamit kuat lengannya. Serasa terbang ke puluhan tahun yang lampau ketika masih masa remaja mereka berdua, betapa romantisnya mereka kini, mungkin begitu yang bersuara dalam benak Sayid. Langkah kaki mereka pun makin bergeser ke tepi kanan jalan, menghindar dari jamaah yang makin memadat menjelang ujung jalan menuju ke persimpangan Misfalah dan Bakhutmah. Jalan itu memang menyempit karena sedang berlangsungnya proyek monorail di selatan Tower Zam-zam.

“Lewat jalan pertokoan yang tengah itu saja ya, Mi. Keliatannya nggak sepadat jalan yang ke kiri itu.” Tawar Sayid kepada istrinya, yang segera dijawab cepat dengan anggukan Fatimah.

Begitulah,setelah berjalan menyimpang ke barat sedikit menuju jalur Bakhutmah, kakek nenek itu kemudian berbelok kembali ke kiri menapaki jalan pertokoan Misfalah yang sisi tengah. Meski tetap ramai, namun kepadatannya jauh lebih berkurang dibandingkan jalur pertokoan yang sisi timur, yang memang menjadi jalan utama Misfalah. Tubuh pasangan tua itu sudah terbebas dari himpitan ataupun senggolan dengan jamaah yang lain. Langkah kaki mereka mulai melambat ketika melintasi beberapa toko pakaian dan pernak-pernik lainnya.

“Terburu-buru pulang apa nggak, Bi?” Tanya Fatimah dengan maksud meminta ijin untuk singgah sebentar di toko-toko di jalur tengah itu.
“Ummi mau cari apa? Aku juga pengin cari kain surban.” jawab Sayid tersirat mengijinkan.

Hampir setengah tujuh, namun langit timur masih terselimuti mendung ketika Sayid dan Fatimah selesai memilih beberapa sajadah dan tas tenteng dari toko milik orang Bangladesh di dekat fly over Misfalah, sebuah fly over yang biasa ramai untuk pembagian makanan bagi jamaah haji sebagai hadiah dari raja Arab Saudi. Di toko itu mereka sengaja memilih sajadah yang lebar namun tipis, biar nantinya lebih mudah dilipat di dalam tas rojokoyo mereka.

“Aku ingin menghadiahkannya ke akhwat Palestina yang biasanya duduk di sebelahku.” Sebut Fatimah akan tujuannya. Matanya berbinar seolah membayangkan wajah gembira saudarinya dari Palestina itu saat menerima pemberiannya nanti. Meskipun dirinya belum bisa singgah di Palestina, setidaknya sajadahnya sudah bisa mewakili kehadirannya di bumi Baitul Maqdis itu, mungkin demikian harapannya.

“Bagus juga itu. Boleh ya kalo aku juga nanti sedekah sajadah seperti itu?” Tanya Sayid pada istrinya. Fatimah pun mengangguk, sembari kembali menggamit lengan suaminya untuk bergegas pulang ke penginapan mereka. Matahari pun mulai bersinar cerah menembus di antara awan yang tersisa menyelimutinya. Secerah hati dua kakek nenek yang berbahagia itu.