Selasa, 17 Mei 2016

Wisata Blora : Ekokultur Masyarakat Samin Di Blora

Samin memang telah menarik perhatian publik sejak lama, bahkan sejak masa penjajahan. Pemerintah kolonial Belanda menganggap Samin sebagai pemberontak. Ironisnya, meski ikut berjuang, pemerintan RI juga memposisikan Samin sebagai yang dimarjinalkan. "Sekitar tahun 1914-1970-an, Samin masih dianggap sebagai komunitas yang harus diawasi. Pemkab Blora sendiri baru agak sedikit terbuka dengan keberadaan sedulur-sedulur sikep itu pada 1980-an, jika Samin menjadi polemik, karena banyak pihak yang merasa berkepentingan. Ada lima kelompok yang memiliki kepentingan terhadap Samin. Yaitu keturunannya, murid atau pengikutnya, akademisi, penguasa (pemerintah/birokrasi) serta LSM."Kelima kelompok ini memiliki persepsi yang berbeda tentang Samin.



Tetapi, awalnya, Samin disebut sebagai komunitas tradisional dengan ciri-ciri tertentu. Sementara pada awal-awal, pemerintah juga menganggap Samin sebagai pembangkang dan orang bodoh. Berbagai stigma negatif atas Samin atau sedulur sikep itu, menjadi keprihatinan tersendiri. "Nilai- nilai, etika dan kejujuran yang dikembangkan Samin, sangat bagus. Tidak ada kasus kriminalitas di Samin, tidak ada perselingkuhan, bahkan, Samin itu monogami". Lain dari perdebatan yang muncul, Samin kini menyita perhatian banyak orang, bahkan pemerintah, seiring adanya pembangunan di komunitas Samin di Dukuh Karangpace, Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, Blora.



Samin Traveller merasa senang karena akhirnya Samin / Sikep telah menjadi salah satu ikon pariwisata baru, tak hanya Blora tetapi juga untuk Indonesia.



Berikut ini adalah gambaran umum masyarakat samin di blora.

Sedulur Sikep atau lebih dikenal sebagai Wong Samin diketahui bermula dari Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora. Desa ini terletak kurang lebih 25 kilometer di sebelah utara Randublatung. Sebuah perkampungan yang terletak di tengah hutan jati. Meskipun demikian, desa tempat munculnya ajaran Samin ini juga sudah terbilang cukup maju, listrik telah menerangi sejak tahun 1987. Bahkan saat ini masyarakatnya telah mengenal serta memiliki televisi, handphone serta sepeda motor. Sebagian besar masyarakat sedulur sikep bermata pencaharian sebagai petani. Dalam bertani masyarakat samin juga telah menggunakan traktor untuk mengolah sawah. Meskipun demikian, kesan tradisional masih tetap nampak dan tidak akan pernah luntur di wilayah tersebut. Misalnya dengan beberapa rumah masih menggunakan penerangan lampu minyak dan berlantaikan tanah. Suasana kental pedesaan yang masih akrab juga masih sangat terasa sekali disini. Bukan hanya lingkungan fisiknya saja, bahkan kultur yang ada di dalamnya pun masih melekat kental dengan kehidupannya sehari-hari. Prinsip kejujuran yang diterapkan sejak dahulu juga tetap dipegang teguh oleh sedulur sikep.



Pada perkembangannya, penganut ajaran ini lebih menyukainya dengan disebut Sedulur Sikep. Hal ini dikarenakan pada abad ke 18-an Wong Samin mempunyai citra jelek di mata masyarakat Jawa dan dianggap sebagai sekelompok orang yang kelewat lugu hingga terkesan amat bodoh, primitif dan sangat naïf. Padahal sesungguhnya pandangan seperti itu salah besar, dan terkesan sangat konyol. Sebab pada realitanya banyak juga masyarakat samin yang sudah mengenal dunia luar,meskipun tidak semuanya, khususnya para pemuda-pemuda yang berada di desa tersebut. Sedangkan sebutan Sedulur Sikep itu sendiri diartikan sebagai orang yang berprilaku baik hati dan jujur.

Nilai-Nilai Sosial di era modern seperti sekarang, dalam kultur masyarakat samin kebudayaan yang sampai detik ini tidak terpupus zaman adalah nilai-nilai positif yang telah ada pada masyarakat Samin. Misalnya kejujuran dan kearifannya dalam memakai alam, semangat gotong royong dan saling menolong yang masih tinggi. Sampai sekarang, sebenarnya nilai-nilai kegotongroyongan dan kejujuran tanpa disadari masih kental jika kita melihat keseharian dan akitivitas masyarakat samin. Selain kejujuran dan kegotongroyongan, Sedulur Sikep juga terkenal dengan kesederhanaan dan etos kerjanya yang tinggi.

Etos kerja Sedulur Sikep juga terkenal sangat tinggi. Biasanya mereka akan berangkat ke Ladang, sawah maupun hutan pada pagi buta dan baru kembali saat senja menjelang. Di siang hari, suasana senyap akan meliputi pemukiman mereka karena masing-masing masih sibuk bekerja. Bagi mereka siang merupakan waktu untuk berkarya sebaik-baiknya.

Pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan juga sangat positif. Biasanya mereka memanfaatkan alam (misalnya mengambil kayu) secukupnya saja dan tidak pernah mengeksploitasi bahkan sering melakukan ritual-ritual khusus untuk kelestarian alam. Hal ini selaras dengan pola pikiran mereka yang cukup sederhana, tidak berlebihan dan apa adanya. Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka.

Karena sesungguhnya Sedulur Sikep memiliki khasanah budaya yang luhur, dengan kehidupan mereka yang sederhana, dan apa adanya. Satu komunitas itu terasa damai, rukun, segala sesuatu diselesaikan untuk mencari bagaimana baiknya, tanpa adanya suatu peselisihan. Prinsip mereka yang senang membantu serta tidak ingin merepotkan orang lain merupakan sikap yang pantas diacungi jempol dan harus senantiasa dilestarikan. Perjuangan Samin Demi Sebuah Eksistensi Ditengah peradaban yang semakin modern, masih ada beberapa suku atau daerah yang masih mempertahankan tradisi ajarannya. Adanya himpitan kebudayaan tradisional yang makin ditinggalkan, mengakibatkan orang lupa dengan kebudayaan aslinya. Tapi masih banyak orang yang tetap berpegang teguh pada ajarannya. Salah satu suku yang masih mempertahankan eksistensinya adalah Samin.