Pagi itu Sayid dan Fatimah istrinya, berjalan pulang selepas
berjamaah shubuh di Haram. Tubuh renta mereka terpaksa harus beradu kuat
berhimpit-himpitan dengan jamaah lain yang masih muda ataupun yang
berbadan layaknya raksasa, saat mulai membelah jalan di antara pertokoan
Misfalah sekeluarnya dari serambi masjid. Tangan kecil Fatimah bergegas
menggaet lengan Sayid, khawatirterpisahkan bila terhentak oleh jamaah
yang nekad menerobos di antara mereka saat melintas di depan toko roti
yang sudah ramai pembeli. Sayid justru tersenyum senang ketika istrinya
semakin menggamit kuat lengannya. Serasa terbang ke puluhan tahun yang
lampau ketika masih masa remaja mereka berdua, betapa romantisnya mereka
kini, mungkin begitu yang bersuara dalam benak Sayid. Langkah kaki
mereka pun makin bergeser ke tepi kanan jalan, menghindar dari jamaah
yang makin memadat menjelang ujung jalan menuju ke persimpangan Misfalah
dan Bakhutmah. Jalan itu memang menyempit karena sedang berlangsungnya
proyek monorail di selatan Tower Zam-zam.
“Lewat
jalan pertokoan yang tengah itu saja ya, Mi. Keliatannya nggak sepadat
jalan yang ke kiri itu.” Tawar Sayid kepada istrinya, yang segera
dijawab cepat dengan anggukan Fatimah.
Begitulah,setelah
berjalan menyimpang ke barat sedikit menuju jalur Bakhutmah, kakek
nenek itu kemudian berbelok kembali ke kiri menapaki jalan pertokoan
Misfalah yang sisi tengah. Meski tetap ramai, namun kepadatannya jauh
lebih berkurang dibandingkan jalur pertokoan yang sisi timur, yang
memang menjadi jalan utama Misfalah. Tubuh pasangan tua itu sudah
terbebas dari himpitan ataupun senggolan dengan jamaah yang lain.
Langkah kaki mereka mulai melambat ketika melintasi beberapa toko
pakaian dan pernak-pernik lainnya.
“Terburu-buru
pulang apa nggak, Bi?” Tanya Fatimah dengan maksud meminta ijin untuk
singgah sebentar di toko-toko di jalur tengah itu.
“Ummi mau cari apa? Aku juga pengin cari kain surban.” jawab Sayid tersirat mengijinkan.
Hampir
setengah tujuh, namun langit timur masih terselimuti mendung ketika
Sayid dan Fatimah selesai memilih beberapa sajadah dan tas tenteng dari
toko milik orang Bangladesh di dekat fly over Misfalah, sebuah fly over
yang biasa ramai untuk pembagian makanan bagi jamaah haji sebagai hadiah
dari raja Arab Saudi. Di toko itu mereka sengaja memilih sajadah yang
lebar namun tipis, biar nantinya lebih mudah dilipat di dalam tas
rojokoyo mereka.
“Aku ingin menghadiahkannya ke akhwat
Palestina yang biasanya duduk di sebelahku.” Sebut Fatimah akan
tujuannya. Matanya berbinar seolah membayangkan wajah gembira saudarinya
dari Palestina itu saat menerima pemberiannya nanti. Meskipun dirinya
belum bisa singgah di Palestina, setidaknya sajadahnya sudah bisa
mewakili kehadirannya di bumi Baitul Maqdis itu, mungkin demikian
harapannya.
“Bagus juga itu. Boleh ya kalo aku juga
nanti sedekah sajadah seperti itu?” Tanya Sayid pada istrinya. Fatimah
pun mengangguk, sembari kembali menggamit lengan suaminya untuk bergegas
pulang ke penginapan mereka. Matahari pun mulai bersinar cerah menembus
di antara awan yang tersisa menyelimutinya. Secerah hati dua kakek
nenek yang berbahagia itu.