Beberapa hari lalu dalam perjalanan liburan kami sepulang dari Batu
Malang, sempat saya menimba ilmu dari seseorang teman perjalanan di
daerah Ngantang, panggil saja nama beliau "pak Haji" ... "̮
ƗƗɐƗƗɐƗƗɐƗƗɐƗƗɐƗƗɐ"̮ maaf saya juga lupa berkenalan sebelumnya.
Kalau saya bilang "pak Haji", pasti bayangan Anda adalah seseorang yg memakai kopiah atau peci, berbaju koko atau yg semacam itu, berjenggot, dan berpasangan dengan wanita yg berhijab. Betul begitu ya?
Tapi "pak Haji" yg saya maksudkan ini tak tampak seperti itu. Beliau
sangat biasa dari sisi penampilannya. Kemeja batik, tak berpeci, hanya
"gundhulan" saja, bahkan kumis dan jenggot tipis samar-samar. Istrinya
memang berhijab panjang, tapi tak terlalu mencolok juga. Saya yakin
beliau orang "istimewa" bukan dari tampilannya, tapi dari perilakunya di
musholla.
Apa itu? Hal yg tampaknya sederhana, saat hendak meletakkan
sandalnya, dia membungkuk menata merapikan sandal/sepatu yg ada di
sekitarnya sehingga tak sampai terinjak olehnya ataupun orang lain saat
masuk/keluar mushola itu. Kemudian saat akan memulai wudhu, beliau
terlebih dahulu membersihkan lantai di sekitaran tempat wudhu hingga ke
jalan naik ke mushola. Bukan untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk
orang lain yang berwudhu sebelum dirinya.
Ketiga, saat akan memulai sholat, beliau ikut menatakan shaf
sehingga rapat dan rapi lurus. Sesuatu yg kadang juga terlalaikan oleh
imamnya. Dan keempat, gerakannya sebagai makmum selalu menunggu gerakan
imamnya selesai dulu. Tidak terlalu dekat, atau bahkan menyertai. Namun
juga tak terlalu tertinggal. Ke lima, saat beranjak meninggalkan tempat
sholatnya, ia menunggu jamaah lain yg masbuk di belakangnya merampungkan
sholat, kemudian ia bersegera minggir ke belakang utk meneruskan
wirid-nya.
Sepertinya sederhana ya?
Tapi saya yakin belum tentu kita semua bisa mengikuti "pola
istimewa" beliau ini jika tidak secara konsisten dan kontinyu melakukan
pola tsb.
Dan satu kunci yg saya dapat dari beliau saat akhir obrolan kami
ketika hendak bersama-sama beranjak dari musholla itu adalah "ojo dumeh"
tadi.
Beliau ternyata memang sudah berhaji, bahkan dua kali dari hasil
"pemberian" konsumennya. Namun satu "wanti-wanti" yang beliau pesankan
adalah tak boleh berlaku sombong sedikit pun kepada Allah dan semua
makhluk Allah (termasuk kepada dirinya sendiri).
"Di tanah suci itu, mas, semua perbuatan sombong itu dibalas kontan
oleh Allah. Padahal itu susahnya ngudubilah. Kita "poyok-poyokan" dengan
teman itu juga rawan jadi sombong. Tidak patuh pada perintah/anjuran
kepala regu juga rawan sombong, apalagi sampai suuddzon dan "keminter",
atau "tukaran" dengan istri/teman. Jangan sampai kejadian lho ya mas."
Ibadah haji pertama beliau sebenarnya juga sudah mabrur, namun
beliau dan Allah-lah yg tahu pahitnya perjalanan beliau itu akibat
"balasan kontan" dari Allah gara-gara keminter dan menginjak-injak
sepatu kawannya (walau tak disengaja).
Oleh karenanya setahun sebelum haji yang keduanya, beliau mendidik
dirinya sendiri untuk selalu rendah diri, ringan tangan membantu orang
lain, dan menghindari buruk sangka.
"̮ ƗƗɐƗƗɐƗƗɐƗƗɐƗƗɐƗƗɐ"̮ ... Padahal pada saat itu juga saya pas
ngrasani saluran air yg mampet di musholla itu yg menimbulkan bau tak
sedap. Eh, itu pun juga termasuk sombong juga. Definisi yg beliau
sampaikan berasal dari hadits berikut :
“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat
kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana
dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau
menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong
adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim no. 91)
Nah kawan, siapkah kita bertarung dengan diri kita sendiri menekan
segala macam kesombongan/ujub/riya'/buruk sangka dan meremehkan orang
lain tsb?
Mulut saya sendiri hanya bisa berkata lirih "siap", namun pikiran
dan lubuk hati saya mengakui bahwa ini tidak akan pernah mudah. "̮
ƗƗɐƗƗɐƗƗɐƗƗɐƗƗɐƗƗɐ"̮ .. Tetap semangat! Mari ber-evolusi saja jika tdk
bisa ber-revolusi!
Nganjuk, 29 Mei 2014