Tersebutlah di era 400 s.d 300 SM di daratan Cina, pada masa
pemerintahan Kaisar Chia Huangkung, seorang tabib yang sangat ahli
bahkan sampai disebut-sebut sangat sakti. Nama tabib tersebut adalah
Tabib Bian Que.
Pada suatu hari, ketika memasuki ibukota kerajaan Tabib Bian Que
berkenan menghadap sang Kaisar untuk mengabarkan kondisi kesehatan masyarakat di kerajaan tsb. Setelah usai menyampaikan berita, Tabib Bian Que kemudian berkata :
"Duhai Kaisar yang agung, aku melihat ada penyakit yang menempel pada kulitmu. Perkenankanlah aku mengobatinya."
Kaisar demi mendengar perkataan tsb tentu saja terkejut, namun
gengsinya mengalahkan kebijaksanaannya, meskipun yang memberi saran
adalah seorang tabib yang sudah tersohor kepandaiannya. Sang Kaisar
menjawab :
"Tidak, aku tidak sakit, dan aku tidak berpenyakit."
Setelah mendengar jawaban sang Kaisar tsb, Tabib Bian Que segera
berpamitan meninggalkan sang Kaisar. Sepeninggal sang tabib, sang Kaisar
berkata kepada para menterinya :
"Ya namanya saja tabib, tentu saja cuma berniat jualan obatnya. Orang tidak sakit pun diaku-aku sakit."
Hari pun berganti hari, minggu kemudian berganti minggu. Telah 2
minggu semenjak kedatangannya yang lalu, Tabib Bian Que menghadap Kaisar
kembali, dan menyampaikan :
"Wahai Kaisarku yang agung, aku melihat penyakit itu sudah memasuki dagingmu. Perkenankanlah aku menyembuhkannya."
Kaisar seketika itu marah, dan berkata lantang :
"Hai Tabib, aku ini sehat-sehat saja, dan tidak berpenyakit."
Sekali lagi sang tabib kembali dari istana kaisar tanpa hasil sama
sekali. Dan berulang beberapa minggu kemudian sang tabib kembali menemui
kaisar.
"Wahai Kaisarku yang agung, aku melihat penyakitmu telah memasuki
ususmu. Ijinkanlah aku untuk segera menanganinya, sebelum semuanya
terlambat."
Sebenarnya kala itu sang kaisar memang telah merasakan rasa sakit
yang cukup payah dalam tubuhnya. Namun masih saja rasa gengsinya karena
telah dua kali berhasil mengusir sang tabib, mengalahkan kejernihan
berpikirnya. Dan sekali lagi sang kaisar menolak permintaan sang tabib,
bahkan malah mengusirnya lagi.
Tak berselang lama, sang Kaisar betul-betul jatuh sakit yang amat
parah sehingga tak dapat beranjak dari pembaringannya. Barulah
kejernihan berpikirnya sebagai seorang raja membawanya utk menekan rasa
gengsinya. Ia pun bertitah kepada perdana menterinya utk memerintahkan
para pengawal menjemput Tabib Bian Que untuk mengobati sakitnya.
Namun apa yang terjadi kemudian ketika sang Tabib telah datang ke
kamar peristirahatan sang Kaisar? Demi melihat kondisi sang kaisar,
Tabib Bian Que justru langsung balik kanan hingga nyaris berlari pergi.
Para pengawal dengan sigap menghalangi langkah sang Tabib. Kemudian
perdana menteri memanggil kembali sang tabib untuk memohon penjelasan.
"Kaisarku yang agung dan tuan perdana menteri, maafkanlah aku.
Kedatanganku kini sudah terlambat. Penyakit kaisar telah memasuki
tulang. Jika kemarin masih berada di kulit, aku masih bisa mengobati
dengan memberikan ramuan dalam bak mandi kaisar. Saat penyakit itu masih
berada di dalam daging, jarum akupunturku masih mampu menyembuhkannya,
dan ketika penyakit itu memasuki usus, aku masih memiliki jamu-jamu
untuk menghilangkan penyakit itu. Sekarang aku sudah tidak berdaya
mengobati Kaisarku yang agung. Aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi.
Hanyalah sang raja neraka yang dapat menyembuhkannya. Perkenankan saya
mohon diri."
Benarlah apa yg disampaikan sang Tabib, beberapa hari kemudian sang Kaisar pun mangkat karena sakitnya.
Sang putra mahkota setelah pelantikannya sebagai Kaisar pengganti
ternyata cukup bijaksana. Ia menyampaikan kepada para menteri dan
masyarakatnya, "Sedini mungkin suatu ketidak baikan muncul, haruslah
bersegera kita memperbaikinya. Jika telah berlangsung lama, segala
sesuatunya akan terlambat dan sia-sia. Rasa malas akan membawa
kehancuran. Dan seorang raja dan para pemimpin haruslah terbuka akan
pendapat atau masukan dari masyarakatnya, terlebih dari para cerdik
pandai dan para ahlinya."
Nganjuk, 4 Juni 2014