Sore tadi saat perjalanan ke Kediri, saya menyimak cerita ini dari radio
Andika 105,7 FM. Kiranya sebuah cerita yg perlu kita teladani bersama
di momen terima kasih kita kepada semua Bunda di hari ini.
Berikut kisahnya, ...
Pada jaman dahulu, ada sebuah tradisi di Jepang Kuno untuk membuang orang-orang yg sudah jompo atau orang yg sudah tdk bisa melakukan
apa-apa ke dalam hutan, agar tidak memberatkan kehidupan keluarganya.
Tentu saja hutan di Jepang pada masa itu masih sangat lebat dan banyak
dihuni binatang buas semacam srigala.
Saat itu tingkat ekonomi Jepang kuno tidak seperti Jepang modern
saat ini. Penghidupan masih sulit. Perampokan dan kejahatan merajalela.
Sehingga adanya anggota keluarga dewasa yg tak bisa membantu apa-apa
tentu memberatkan anggota keluarga yg lain. Itulah pola pikir orang
Jepang kuno kala itu.
Demikian pula pada hari itu, seorang pemuda sedang berjalan memasuki
hutan sambil menggendong ibunya yg sudah tua. Ibunya itu kurus, lumpuh
kedua kakinya, dan sudah berminggu-minggu ini hanya terbaring saja di
dalam rumah mereka karena tidak mampu untuk mengangkat tubuhnya sendiri.
Di sepanjang perjalanan masuk ke tengah hutan, si ibu yg dalam
gendongan anaknya itu meraih-raih batang dan ranting pohon. Sesekali
sekedar dipatahkannya saja. Teruuuus sang pemuda itu berjalan, hingga
sampailah mereka di tengah-tengah hutan, di tepi sebuah sungai kecil yg
berbatu-batu besar.
Si pemuda menurunkan ibunya dari gendongan, kemudian mendudukkannya
dalam posisi bersandar pada sebuah batu. Lalu sambil terisak menahan
sedih, si pemuda itu berkata,
"Ibu, maafkanlah aku. Sesungguhnya aku mencintai ibu. Aku menyayangi
ibu. Ibu telah banyak berjasa kepadaku. Ibu telah banyak mendidikku.
Aku belum bisa membalas semua budi baik ibu yg merawatku sedari kecil.
Namun, ..."
Belum selesai si pemuda itu berkata, sang ibunda sudah memotong kalimatnya,
"Sudahlah Nak. Ibu paham dengan semua berat pikiranmu. Ibu ikhlas
kau tinggalkan di sini. Pulanglah segera selagi matahari masih tinggi.
Tadi ibu sudah membuat tanda di sepanjang jalan, ikutilah dahan-dahan yg
patah itu, niscaya engkau tidak akan tersesat kembali ke rumah,
anakku."
Mendengar perkataan sang Ibunda yg arif itu, si pemuda menangis
sejadi-jadinya. Dipeluknya si ibu dengan erat sebagai tanda kasih
sayangnya, lalu digendongnya kembali di belakang punggungnya, dan mereka
pun berjalan pulang ke rumah.
Si pemuda itu selanjutnya terus merawat ibunya bertahun-tahun, hingga sang ibu wafat di tengah-tengah keluarga mereka.
Semoga memberi hikmah tauladan bagi kita semua.
Selamat hari BUNDA!
Nganjuk, 22 Desember 2014