Jarum jam masih menunjukkan pukul 2 pagi saat mama Lin Lin, jamaah haji
dari Sichuan Tiongkok, baru saja selesai menyalakan magic com di dapur
umum di sebelah kamar penginapannya. Tangannya sebentar kemudian beralih
mengipas-kipas seduhan tehnya dalam gelas besar, dan setelah teh itu
menjadi hangat berangsur dituangkannya ke dalam botol minuman ala
tupper ware yg akan dibawanya ke Haram nanti. Hanya mirip tupper ware
karena memang asli bikinan negerinya, Tiongkok, yang jago tembak
produk-produk laris di dunia, ya seperti tupper ware itu misalnya.
Beberapa hari ini Mama Lin Lin memang hanya minum teh hangat saja
ketimbang air zam-zam dari Haram. Tenggorokannya mulai gatal menjelang
batuk, sepertinya jadi tertular pula oleh batuk jamaah yang lain. Meski
masker kain sudah dia dobeli dan rajin dia kenakan, tak ayal masih tetap
tertular juga. Mama Hua yang tinggal sekamar dengannya dan kebetulan
juga satu-satunya dalam rombongan mereka yang belum batuk yang kemudian
berbagi tips kepadanya, menganjurkannya untuk meminum seduhan daun teh
hijau hangat-hangat.
Selesai menuang teh, Mama Lin Lin menghela nafas panjang. Ngeri
walaupun hanya membayangkan kalau dirinya harus membeli sendiri obat
batuk di apotik-apotik di Mekkah ini. Harga obat di sini lumayan mahal,
apalagi bagi jamaah haji seperti dirinya. Meski ia mendapatkan living
cost sebesar 5.000 yuan atau setara 10 juta rupiah, namun uang itu
memang ia upayakan untuk tetap utuh sehingga bisa dibawanya pulang
kembali. Untuk berangkat berhaji tahun ini, uang milik keluarga sebesar
35.000 yuan telah ia habiskan sendiri. Belum lagi jika dihitung bersama
suaminya, totalnya 70 ribu yuan. Padahal pendapatan sebulan dari hasil
kerja seluruh keluarganya, hanya berkisar 500 yuan saja. Sebuah nilai
uang yang sangat berarti bagi keluarga petani seperti mereka. Oleh
karenanya, untuk berhemat selama di Mekkah ini, mama Lin Lin dan banyak
jamaah China yg lain cenderung menahan diri untuk tidak beli-beli
sesuatu.
Dalam tas kopernya, mama Lin Lin sudah memenuhinya dengan bekal
makanan. 5 kilo beras, 3 kilo mi, 3 kilo tepung. Sisanya hampir 10 kilo
makanan dan bahan makanan, termasuk bumbu dapurnya. Tak ayal kalau tas
kopernya pun nyaris menyentuh limit ijin kargo. Padahal bekal itupun
sudah dibagi bersama dengan kelompoknya, agar bisa saling melengkapi.
Mama Lin Lin pun tak pernah malu untuk mengantri puluhan meter tiap
kali ada pembagian "halalan" dalam perjalanan sepulang dari Haram. Entah
itu berupa buah, roti, nasi biryani, jus ataupun paket dari Raja Arab.
Bagi dirinya, "halalan" itu telah menjadi penyambung hidup selama mereka
di Mekkah. Uang saku betul-betul bisa mereka hemat sehemat mungkin.
Memang terkadang mama Lin Lin juga cemburu dengan jamaah lain dari
Asia, khususnya jamaah Indonesia, yang tiap pulang dari Masjidil Haram
selalu saja mampir ke pertokoan di sepanjang kiri kanan jalan utama
Misfalah, yang searah dengan hotel penginapan mama Lin Lin. Entah jamaah
Indonesia itu hanya sekedar melihat-lihat ataupun benar-benar
berbelanja, namun hal tersebut menjadi hal yg sulit dilakukan oleh mama
Lin Lin dan rombongan mereka. Mereka harus teguh betul dalam menghemat
uang yang ada, meskipun sebenarnya dalam hati kecil mama Lin Lin pun
ingin berbelanja pula. Pakaian, perhiasan, sajadah dan berbagai
pernak-pernik lainnya sungguh betul-betul menggoda. Namun sekali lagi,
itu harus mampu mereka pendam serapat mungkin dalam lubuk hati terdalam
mereka.
Maka ketika sore harinya selepas berjamaah Ashar, demi melihat
seorang nenek dari Indonesia mengulurkan sebuah sajadah kepada jamaah
Palestina yang duduk tepat di sebelahnya, air mata mama Lin Lin
tiba-tiba saja mengalir tak terbendung. Seandainya ia bisa
berbincang-bincang dengan nenek itu, mama Lin Lin pun ingin melakukan
hal yang sama. Bisa memberi kepada orang lain, bersedekah, tak hanya
seperti sekarang yg dilakukannya yg masih harus rela antri demi
"halalan-halalan" itu. Tanpa sadar, telapak tangan mama Lin Lin membekap
erat mulut dan hidungnya demi menahan isak tangisnya yg makin
menggelora. Hatinya pun menjerit-jerit memohon petunjuk dan pertolongan
kepada Allah.
Sebuah tangan yang hangat mengelus punggung Mama Lin Lin, berusaha
menghiburnya. Entah apa yang diucapkan oleh akhwat Palestina di
sampingnya itu, namun perlahan hati mama Lin Lin pun berangsur tenang
kembali. Nenek Indonesia di samping akhwat Palestina itu pun mengulurkan
sekotak tissu kepadanya dengan tersenyum ikut menghiburnya. Sambil
mengangguk berterima kasih, mama Lin Lin menyambut tissue itu untuk
mengelap wajahnya yg basah kuyup oleh keringat dan air matanya.
Tiba-tiba seperti mengalir begitu saja dalam benak pikiran mama Lin
Lin, seolah ada seseorang yang membisikkan ke telinganya. Sebuah elusan
di punggung, selembar tissu, beberapa butir kurma, beberapa teguk air,
menunjukkan arah jalan, membantu mengambilkan segelas air zam-zam ...
Bukankah itu juga sudah bisa menjadi sedekah? Dan itu pun sedekah yg
murah, tak harus berupa sedekah sajadah seperti yg dilakukan nenek
Indonesia tadi. Dan Mama Lin Lin pun makin yakin, bahwa dirinya tak akan
jadi jatuh miskin karena rajin bersedekah seperti itu.
Mama Lin Lin tersenyum lebar, dan kembali mengangguk-angguk
mengisyaratkan berterima kasih kepada wanita Palestina dan Indonesia
yang telah menolongnya tadi. Dalam dadanya telah bulat sebuah tekad
untuk memulai bersedekah sekarang juga. Tangannya bergegas menyambar
botol "tupperware" dalam tas cangklongnya, untuk ditawarkan kepada
wanita Palestina dan Indonesia itu. Alhamdulillah, mereka pun
menyambutnya, sehingga hati mama Lin Lin menjadi lega.
"Begitu mudahnya Allah membolak-balikkan hatiku. Dan sungguh Allah
telah memuliakan diriku. Terima kasih ya Allah." Pekik dalam hati mama
Lin Lin bersyukur kepada pemilik Haram di sore itu.