Langkah kaki Pierre bersama Sebastian semakin cepat saja, bahkan
setengah berlari. Degupan jantungnya pun makin kencang saja. Bukan
terengah-engah karena setengah berlari itu yang membuat degupnya makin
kuat, namun lebih karena ketakutan mereka. Takut bilamana mereka
tertinggal menunaikan jamaan ashar, sedangkan tadi mereka telah lalai
dengan adzan yang sudah jelas mereka dengar. Sibuk dengan urusan belanja
seusai jamaah jumat tadi.
"Allah hanya memanggil kita 3 kali dalam hidup ini," ustad Abou
Baker pernah mengingatkan hal yang penting tentang adzan itu. "Yang
pertama adalah panggilan adzan, yang menyeru kita untuk bersegera
sholat. Yang kedua adalah panggilan berhaji atau setidaknya berumroh
bila mampu. Dan terakhir adalah panggilan saat kematian kita nantinya."
"Adzan itu adalah panggilan Allah yang pertama. Panggilan ini sangat
jelas terdengar di telinga kita, bahkan sangat kuat terdengar. Ketika
kita sholat, sesungguhnya kita menjawab panggilan Allah. Tetapi Allah
masih fleksibel, Dia tidak 'cepat marah' akan sikap kita. Kadang kita
terlambat, bahkan tidak sholat sama sekali karena malas. Allah tidak
marah seketika. Dia masih memberikan rahmat-Nya, masih memberikan
kebahagiaan bagi umat-Nya, baik umat-Nya itu menjawab panggilan
Adzan-Nya atau tidak. Allah hanya akan membalas umat-Nya ketika hari
Kiamat nanti" tegas ustadz Abou Baker kembali.
Tak terasa air mata Pierre menitik dan mulai membasahi pipinya, saat
kaki-kakinya mulai menapaki jalanan di bawah Menara Jam. Iqomah sudah
mulai dikumandangkan, mereka tak bisa mengejar tempat di dalam
lingkungan masjid Al Haram. Mau tidak mau, mereka harus bergabung dengan
jamaah lain yang mulai menggelar sajadah mereka di trotoar atau selasar
pertokoan di bawah Menara Jam itu. Tak memungkinkan menerobos jamaah
yang sudah mulai berhenti berjalan itu. Dzalim malah lebih dekat dengan
mereka jika tetap menerobosnya.
"Kamu masih punya wudhu?" tanya Sebastian kepadanya.
"Entahlah, ... kamu sendiri bagaimana?" Pierre balik bertanya.
"Aku belum batal. Ini pakailah untuk berwudhu." jawab Sebastian
sembari mengulurkan botol minum kepada Pierre. "Basuh secukupnya saja."
pesan Sebastian menyambungkan. Pandangannya sambil menyapu ke arah yang
lebih layak untuk mereka sholat, saat Pierre memulai wudhunya di pinggir
trotoar di depan toko roti Broast. Kumandang iqomah sudah hampir
berakhir, namun mereka masih belum bersiap pula di dalam barisan sholat.
Seorang laki-laki tua dengan jenggot yang disemir merah, umumnya
jamaah haji dari Bangladesh memakai pewarna dari tumbuh-tumbuhan untuk
menyemir rambut, kumis dan jenggot mereka, tampak melambaikan tangan
mengajak mereka merapat ke shaf yang telah disusun laki-laki tua itu
bersama dua jamaah yang lain. Sebastian segera merapatkan diri, berniat
dan segera bertakbiratul ikrom. Pierre segera menyusul di sebelah
kanannya.
Tanpa alas sajadah sama sekali, Pierre merasakan sengatan panas
ketika paving trotoar itu bersentuhan dengan dahi pada setiap sujudnya.
Ya, walaupun sudah masuk waktu ashar pun, tempat berpijak mereka saat
itu masih cukup mendapat terik sinar matahari. Apalagi suhu udara Makkah
saat ini bisa mencapai 45 sampai 47 derajat Celcius. Maka tak ayal
kemudian, Pierre pun menangis terisak-isak dalam sholatnya. Di dalam
hatinya terus berdzikir beristighfar memohon ampun atas kesalahannya
melalaikan panggilan sholat ashar tadi. Ia merasa Allah sedang
menghukumnya saat itu juga. Air wudhu sudah tak berbekas sama sekali di
kulitnya saking panasnya pavement di sore itu.
"Ini masih ashar saja sepanas ini, bagaimana kalo ini waktu dhuhur?
Terima kasih ya Allah, aku ikhlas Engkau hukum seperti ini. Aku lalai ya
Allah, ampunilah aku. Sayangilah aku ya Allah!" jerit dalam hatinya
berulang-ulang seperti gemuruh ombak yang bergulung-gulung tiada usai
dan memecah di tepi pantai saja. Isak tangisnya masih susul menyusul,
bahkan hingga jamaah fardhu selesai berganti dengan ajakan muadzin
berjamaah berikutnya untuk shalat jenazah. Di Al Haram, hampir setiap
usai jamaah fardlu selalu disusul dengan sholat jenazah.
"Lain kali atur waktu dan rencana lebih baik lagi. Malu aku kalau
tertinggal seperti ini." gerutu Pierre pada dirinya sendiri setelah
jamaah ramai mulai berdiri dan bubar. Sesekali tangannya berusaha
menyeka mata dan pipinya. Sebastian yang mendengarnya hanya tersenyum.
Ia pun juga mahfum akan gerutuan sahabatnya itu.
Sebenarnya rancangan mereka tadi sudah cukup baik. Jam satu seusai
jamaah jumat, mereka segera bergegas ke arah pertokoan di distrik
Misfalah selatan Al Haram. Harapannya mereka punya cukup waktu sekitar
dua setengah jam sebelum masuk waktu ashar, untuk berbelanja atau
setidaknya survey barang di Misfalah sana. Itu sudah cukup dengan
bolak-baliknya juga, semestinya. Namun naasnya, mereka tak menyadari
bahwa bubaran jamaah jum'ah dari Haram menuju Misfalah, sebagaimana juga
ke arah Jarwal dan Aziziah, merupakan perjuangan menembus rapatnya
manusia yang seolah berbaris dalam gerakan perlahan. Sehingga jarak
pertokoan yang tak lebih jauh dari setengah mil itu pun baru bisa mereka
jangkau dalam waktu setengah jam pula.
Ditambah lagi akibat tersesat arah karena belum pernah melancong
sama sekali ke daerah itu. Mereka sempat berbelok ke kanan ke arah
Bakhutmah, karena jalannya yang tampak lebih besar dan lebih banyak pula
jamaah yang berbelok ke arah itu.
Meskipun semalaman mereka sudah banyak bertanya kepada Diouf,
petugas hotel Le Meridien tempat mereka menginap dan yang dulu bertugas
mendampingi umroh awal mereka, namun karena tak dilanjutkan dengan
melihat ke lokasi langsung, akhirnya mereka tersesat juga. Sebenarnya
pula, hotel Le Meridien sangat dekat dengan blok pertokoan ini, karena
Le Meridien di sebelah timur bukit Misfalah, dan pertokoan di sebelah
baratnya. Hanya saja itu harus ditempuhi dari terowongan yg juga rutin
dilalui bus Saptco pada arah pulangnya dari Menara Jam.
Apesnya bagi mereka berdua, bahasa Inggris keduanya tak begitu
fasih, didukung aksen perancis mereka yang sengau, membuat percakapan
mereka dengan orang-orang yang mereka jumpai cukup menyulitkan untuk
saling paham. Bangsa Arab, India, Asia Timur maupun rumpun Melayu yang
banyak mereka temui di distrik pertokoan itu semuanya kesulitan
bercakap-cakap dengan mereka.
Nasib baiknya, setelah sempat berputar-putar tak tentu arah di
daerah pertokoan itu, hingga sempat kebablasan di bawah fly over tempat
pembagian halalan dari Raja Arab, akhirnya mereka berjumpa dengan
seorang pemuda asal Indonesia yang bisa berbahasa Perancis pula di
seputaran kios buah. Pemuda itu bahkan rela menemani mereka mencari-cari
toko dan barang yang sedang mereka tuju.
Sebenarnya, Pierre ingin membeli sajadah berwarna ungu yang tampak
cantik saat dilihatnya beberapa hari sebelumnya. Sajadah Turki yang
dipegang oleh Fatimah, seorang nenek dari Indonesia pula. Ia sempat
mencari di toko-toko di dalam Menara Jam, namun tak ditemuinya sajadah
yg sama dengan milik nenek dari Indonesia itu. Sekarang kebetulan ada
seorang Indonesia yang menemaninya, ia pikir pemuda Indonesia itupun
tahu pasti letak toko yang menjual sajadah yang sama persis dengan milik
nenek tersebut. Sayangnya, walaupun pemuda yang menemani mereka itu
pemuda Indonesia, dan pertokoan Misfalah juga merupakan pusat
perdagangan karpet, sajadah, kain dan pakaian yang sangat lengkap di
Mekkah, akan tetapi bahkan ketika adzan ashar mulai berkumandang pun
mereka belum pula menjumpai sajadah yang diidam-idamkan itu. Banyak
pilihan sajadah, namun belum sama dengan yg diinginkan Pierre.
Usai bangkit dari trotoar tempat sholat tadi, mereka mulai menepi
dan meneruskan berjalan ke arah serambi Al Haram. Proritas mereka saat
ini untuk merampungkan jamaah maghrib dan isya di dalam masjid dulu,
rencananya di lantai atas bergabung dengan rombongan mereka yang lain
yang dipimpin Abdullah. Mereka sudah saling berjanji untuk bertemu di
depan gerbang no. 91, di bawah tiang lampu terdekat. Urusan belanja
belakangan saja. Nyali mereka betul-betul ciut jika sampai tak bisa
berjamaah dengan baik seperti tadi, apalagi bila sampai terlewatkan
jamaahnya. Langkah mereka sempat terhambat kerumunan orang yang mulai
memesan makanan di toko roti yang mulai buka kembali. Semua toko memang
menutup counternya saat jamaah fardlu, bahkan semua staffnya pun ikut
bergabung berjamaah di trotoar atau selasar di depan tokonya
masing-masing. Begitu jamaah usai, aktivitas dagang pun dimulai kembali.
Seperti halnya toko roti itu tadi.
Jelang pukul lima sore, di dalam masjid Al Haram, Sayid mulai
terkantuk-kantuk saat mendarus Al Quran-nya. Ia terpaksa harus
mengulangi bacaannya dari ujung atas halaman bilamana terlewatkan ayat
mana dia terakhir kali membaca sebelum akhirnya terkantuk-kantuk lagi.
Selepas ashar memang waktu yang paling berat baginya. Di waktu yang
lain, ia bisa bebas bergerak sehingga tidak sampai mengantuk dengan
menunaikan sholat-sholat sunnah, selain pilihan mendarus Al Quran. Namun
jika lepas ashar, tak ada pilihan lain selain mendarus Al Quran. Ada
pula pilihan untuk tidur-tiduran saja di sini, atau malah sekalian
thawaf di bawah sana. Ia tak sampai hati untuk merebahkan diri
beristirahat sejenak seperti beberapa jamaah yang lain di dekat situ.
Khawatir jika betul-betul tertidur, dan harus mengulang wudhu di saat
yang sudah dekat dengan adzan, karena ia tak sanggup untuk bolak-balik
dari tempat wudhu di serambi masjid di bawah sana dan kembali ke lantai
tiga ini. Oleh karenanya, wudhunya betul-betul dijaga agar tak sampai
batal bila sudah tinggal setengah jam dari waktu adzan. Untuk ke kamar
kecil di bawah tanah serambi sana, biasanya hanya dilakukannya bila
sudah persis selesai jamaah fardhu. Waktunya akan sangat longgar. Bahkan
cukup pula waktu untuk memesan segelas teh susu dan sekotak kentang
goreng di toko roti sana.
Beberapa rekan memang ada pula yang berwudhu di tempat kran air
zamzam. Namun baginya untuk menyia-nyiakan zamzam seperti itu bila tidak
terpaksa dan mendesak betul merupakan satu hal yang berat. Malu sekali
rasanya kepada Allah bila ia harus berbuat berlebihan seperti itu. Demi
mencegah kantuknya, sebotol sprayer yg telah diisi air dari kamar
penginapan disemprotkannya guna membasahi dan membasuh wajahnya.
Percikan air itu cukup menyejukkan kulitnya di saat udara Al Haram mulai
kering dan panas seperti sore ini. Hatinya mulai menimang-nimang,
apakah dia sebaiknya turun ke lokasi thawaf di bawah sana atau dia akan
tetap duduk di sini saja sambil menahan kantuknya. Belum selesai ia
menimang-nimang, tiba-tiba bahunya disergap oleh tangan yang cukup kuat
milik pak Mursyid, ketua regunya.
"Mbah Sayid di sini rupanya." pak Mursyid atau rekan-rekan yang lain
lebih akrab memanggilnya pak Karu membuka percakapan. "Dengan siapa di
sini Mbah?"
"Enggih Mas, cuma sendirian. Tadi dengan pak Tono dan pak Mochtar
waktu jumatan. Trus, mereka pamitan makan siang kok belum balik lagi ke
sini. Mungkin pindah di tempat lain. Kebetulan ada Njenengan di sini
sekarang, saya nggak jadi ngantuk. Hehehe" jawab Sayid menimpali
pertanyaan pak Karu.
Pak Karu cuman ikut terkekeh mendengarnya. "Lha mbok dipakai tadarusan, ketimbang ngantuk, mbah!"
"Sampun, Mas. Dapat lima klebet, mata saya sudah minta merem terus.
Klira-kliru wae ini tadi, mesti ngulangi dari atas lagi di halaman
terakhirnya. Saya nyerah wis, ga kuat." terang Sayid.
Tak berselang lama obrolan mereka mulai berganti tema. Dari
membicarakan sisi barat bangunan di Haram yang terus dikebut
penyelesaiannya, berganti kabar bu Tutik salah satu jamaah rombongan
mereka yang pagi tadi harus dilarikan ke rumah sakit, terus persiapan ke
Armina dalam waktu dekat, hingga tentang cara menembus rapatnya barisan
thawaf di seputaran Hajar Aswad, Multazam dan Hijir Ismail.
"Njenengan sudah bisa sampai di sana semuanya, mbah?" tanya pak Mursyid yang dijawab dengan gelengan pelan Sayid.
"Belum, Mas. Dua kali saya coba mepet ke sana, kalah kuat dengan
jamaah-jamaah lain. Saya kalau harus rebutan begitu nggak bisa, Mas.
Saya takut dzolim." jawab Sayid lirih. Pandangan matanya menatap lekat
ke arah Multazam Ka'bah, yang berada di antara hajar aswad dan pintu
Ka'bah. Sinar matanya masih memancar seperti menegaskan api harapannya
untuk dapat menggapai Hajar Aswad dan Multazam, sekaligus sholat sunnah
di Hijir Ismail.
"Habis maghrib nanti turun ke sana bareng saya nopo pripun, mbah?
Kita coba lagi, siapa tau Gusti Allah paring gampil semuanya" pak
Mursyid mengajak thawaf selepas jamaah maghrib. Sayid menoleh dan
menatap erat ke wajah Mursyid seolah-olah berharap tidak salah dengar.
"Bakdo maghrib itu pas padat-padatnya lho Mas." ada keraguan terbersit dalam jawabannya.
"Sepertinya begitu, mbah. Asalkan niat kita kuat, insya Allah
diparingi gampil." Mursyid menyemangati kembali. Tak berselang lama,
adzan maghrib berkumandang menghentikan percakapan mereka. Keduanya pun
mulai bersiap merentangkan sajadah mereka kembali.
Di saat bersamaan dengan Sayid dan Mursyid menggelar sajadahnya,
serombongan orang yang tinggi besar menyeruak menembus ke shaf-shaf
terdepan. Sayid beringsut merapatkan barisannya dengan Mursyid, untuk
memberi ruang yang lebih lapang kepada jamaah lain yang terdesak oleh
rombongan yang baru datang tadi.
Di ujung belakang rombongan tadi tampak tergopoh-gopoh Pierre
bersama beberapa rekannya yang lain, tampaknya ia cukup terhambat untuk
mencapai shaf di lantai 3 ini bersama rekan-rekan satu rombongan yang
telah bertemu di depan gerbang masjid ini. Pierre ikut menyusul
menerobos barisan sholat yang tampak agak longgar setelah didesak
rombongan di depannya. Kebetulan sekali lokasi barisan yang mereka tuju
di depannya sudah penuh, sehingga sebagian yang lain terpaksa mundur
kembali. Demikian pula dengan Pierre dan kawan-kawannya, terpaksa
membuat shaf yang benar-benar baru di antara shaf depan yg telah penuh
dan shaf Sayid di belakangnya yang juga telah penuh, karena tidak
kebagian barisan. Bahkan kakinya saat ini berpijak di bagian atas
sajadah milik Sayid. Ia gugup menemui dirinya berada di tempat yang
"salah" ini. Konsentrasinya jadi kacau, bahkan keringatnya mulai menitik
di dalam udara yang kering di dalam masjid Al Haram ini.
Sayid demi menemui tempat sholatnya menyempit tinggal kurang dari
3/4 panjang sajadahnya saja, hanya melafadzkan istighfar secara
beruntun, sambil menegaskan keyakinan dalam hatinya seperti yang telah
dialami sebelumnya.
"Tidak ada tempat sempit di dalam masjid Allah ini. Semuanya tamu
Allah, akan dijamu Allah dengan sebaik-baiknya pula." Demikian ia
menegaskan dalam tekadnya. Memang sebelumnya, beberapa kali ketika
berada di shaf depan, ia sempat mengalami harus terdesak oleh beberapa
jamaah yg memaksa mendapatkan tempat sholat. Namun ia dengan segala
keyakinannya akan kebesaran Allah yang menjadikan dirinya tamu Allah,
masih bisa melaksanakan sholat tanpa merasa kesempitannya sama sekali.
Bahkan saat ini, ketika nampak olehnya gerak-gerik kegugupan jamaah
di depannya, yang muncul justru rasa kasihan di dalam batinnya kepada
jamaah itu. Sholat maghrib telah dimulai, hati dan pikiran Sayid mulai
ia pusatkan sepenuh-penuhnya utk menghadapkan wajahnya hanya kepada
Allah. Dia seolah telah mendapati dirinya di antara jutaan jamaah yg
bersama-sama rukuk dan sujud, membentuk suatu barisan yg begitu indah
dan rapi dalam padang hijau yang sedemikian luasnya.
"Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar" kalimat itu terus
mengalir dalam benaknya hingga usai bersalam. Allah Maha Besar, dan dia
sangat kecil dalam pandangan itu. Ruang yang semula sempit di sekitarnya
tadi betul-betul menjadi lebar selebar-lebarnya. Sekali lagi, Sayid
mengalaminya di dalam Al Haram ini, dalam lingkup yang semestinya dia
kesulitan bergerak, apalagi untuk bersujud, ternyata badan dan kepalanya
begitu bebas dalam lingkup yang sesungguhnya hanya lebih sedikit
panjang dari separuh sajadahnya itu. Air matanya terus berderai demi
menyadari kebesaran kuasa Allah ini.
Usai bersalam, Sayid bergegas menyusulinya dengan sholat rawatib
sebelum sholat jenazah dimulai. Pierre diam tak bergerak dalam duduknya,
karena ia belum bisa menyibak separuh sajadah yang didudukinya. Pemilik
sajadah di belakangnya cepat sekali dalam menyambungkan sholat demi
sholat.
"Hei, sajadah ini sajadah yang kucari-cari tadi!" Pekik dalam
hatinya girang demi mengetahui sajadah ungu yang didudukinya ini sama
persis dengan sajadah yang diburunya tadi.
"Aku akan segera minta maaf, sekaligus cari tahu di mana kakek ini
mendapatkannya." Rencana itu begitu saja mengalir dalam benak Pierre,
diikuti dengan bayangan wajah penuh senyuman Marrion yg bahagia menerima
hadiahnya ini, sebelum kemudian bayangan itu terbuyarkan oleh tangan
Sebastian yg meraih pundaknya, mengajak untuk segera bangkit berdiri
menyisih dari sajadah yang dipijaknya.
Saat Pierre menoleh ke belakang kemudian, didapatinya kakek di
belakangnya telah selesai melipat sajadah ungunya dengan rapi. Tak lama
kemudian pandangan kedua insan ini saling beradu, dan disusul tangan
kiri sang kakek yang meraih tangan kanan Pierre. Sayid menyodorkan
sajadah ungu itu kepada Pierre sambil berkata, "Ini sajadahmu, Nak!"
Pierre hanya terbengong saja ketika tangan kirinya pun didekapkan ke
sajadah itu oleh tangan kanan Sayid. Ia tak bisa berkata-kata ketika
telunjuk Sayid menuding-nuding sajadah itu dan dada Pierre, seolah
menegaskan bahwa sajadah itu benar-benar diberikan kepadanya. Ia masih
terpaku terharu mendapati kebaikan hati sang kakek tersebut, yang mana
tak marah sedikit pun akibat sajadahnya terinjak oleh Pierre, melainkan
malah dengan penuh senyuman dan rasa senang hati menghadiahkan sajadah
ungu yang diidam-idamkannya itu.
Udara di lantai satu seputar Ka'bah terasa sangat sejuk bagi Sayid
yg sedang menuruni anak-anak tangga dari lantai dua bersama Mursyid
untuk mulai melaksanakan thawaf. Kerumunan jamaah yang sedang berthawaf
itu seolah tersibak membentangkan jalan memberi ruang bagi keduanya.
Dalam dua putaran thawaf saja, Sayid mendapati dirinya telah berada di
depan hajar Aswad, dan sejenak berikutnya telah berada di bawah Multazam
tanpa bersusah payah ataupun saling berdesakan dengan jamaah lain.
"Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!" Sayid mulai melafadzkan
doa dan puji syukurnya kepada Sang Khalik di bawah Multazam itu. Kakinya
terus merambat ringan di antara ribuan jamaah yang ada di sekitarnya
hingga Mursyid menepuk pundaknya untuk beralih berganti dengan jamaah
lain di dalam lingkup Hijir Ismail itu.
Di tempat lain di lantai tiga Al Haram tadi, Pierre menjalankan
sholat-sholat sunnah dengan penuh kesyukurannya di atas sajadah
"baru"-nya itu. Ia merasakan Allah sebegitu dekat dengan dirinya, seolah
memeluk dirinya dengan penuh kasih sayang dan kehangatan. Rakaat demi
rakaat terus dia sambungkan. Entah sholat apa yang dilakukannya, yang
terutama tersembul bulat dalam hatinya adalah niat syukurnya atas segala
karunia Allah kepadanya selama ini. Pierre, sang mualaf, menemukan
dirinya berada di sebuah jalan yang sangat terang benderang namun tiada
menyilaukan.