Sekitar tahun 1970-an, wilayah Vietnam, Laos dan Kamboja jatuh ke tangan
kaum komunis. Demikian pula daerah perbatasan Thailand sudah dirasuki
oleh pengaruh Khmer Merah di sekitar tahun 75-an. Sebagian mahasiswa di
Thailand Timur pun telah bergabung bersama pemberontak komunis tersebut,
masuk ke hutan dan gunung-gunung. Dunia Barat meramalkan bahwa
Thailand sebentar lagi akan jatuh pula kepada kekuasaan Khmer Merah.
Namun kenyataannya pada tahun 1980 peta komunis di Thailand bahkan sudah
hilang sama sekali.
Apa yg dilakukan pemerintah Thailand pada waktu itu? Menghancurkan
basis komunis dengan gaya DOM seperti di Aceh dan Papua? Ataukah
melepaskan daerah "merah" itu seperti di TimTim?
Ternyata meskipun banyak korban berjatuhan di kalangan militer
Thailand yg bertugas di daerah "merah", sang Raja dan para jenderal
Thailand telah menginstruksikan utk tidak menyerang markas kaum komunis,
walaupun sudah tahu pasti pos-pos persembunyian mereka. Mereka hanya
diminta berjaga dan melaporkan perkembangan wilayah itu ke pusat. Para
tentara juga diminta utk mengampuni tanpa syarat setiap pemberontak yg
telah meletakkan senjata dan kembali ke kampungnya.
Dan yang menurut saya lebih gila lagi adalah daerah "merah" itu
justru di-modernisasi. Jalan2 diaspal, bahkan nyaris tdk ada yg
berlobang. Jalan dan jembatan baru juga dibangun untuk memudahkan
transportasi penduduk dan hasil pertaniannya. Sekolah, klinik, jaringan
listrik, sumur2 air bersih, dan pasar dibangun di daerah "merah" dan
miskin, sehingga ekonomi warganya berangsur meningkat dan menjadi
makmur. Siaran radio dengan musik-musik yang digemari warganya (plus
propaganda berita kemajuan pembangunan daerahnya) selalu berkumandang di
setiap penjuru desa.
Kaum muda yg semula memberontak krn sangat marah kepada
pemerintahnya kemudian menjadi ragu dengan pemberontakan mereka tsb.
Buat apa bersusah payah hidup di hutan atau di gunung, jika di kampung
mereka lebih nyaman dan makmur. Lapangan pekerjaan banyak, cari duit
juga mudah. Sehingga akhirnya satu persatu mereka kembali ke kampung
halamannya. Bahkan para pemimpin pemberontak tsb diberi jabatan
strategis sesuai tingkat kepemimpinan mereka, dan peran sertanya
memajukan daerah masing2, tidak dihukum ataupun diasingkan. Karena
didasari kesadaran bahwa bagaimanapun mereka adalah saudara mereka
sendiri, anak bangsa mereka sendiri.
Dan jika kita menengok kembali saat ini, pengaruh modernisasi itu
justru telah merembet ke Vietnam. Ikut melunturkan pengaruh komunis di
sana. Dan perlahan namun pasti, tingkat ekonominya mulai merangsek
Indonesia dan Malaysia, dua raksasa ekonomi pendahulu di Asia Tenggara.
Raksasa yg makin terpuruk karena tidak pernah bisa menghargai
kehebatan anak bangsanya sendiri, dengan kebanggaan atas produk2
import-nya yang makin konsumtif, yang makin membebani neraca
keuangannya, dan secara meyakinkan membunuh potensi di dlm negerinya
sendiri, bahkan termasuk industri gula pasir dan industri garamnya.
Kalau perlu, pemimpin perusahaannya pun diimpor saja dari luar negri.
Malaysia sekarang mulai berbenah untuk sadar diri dengan
nasionalismenya, untuk berbangga dengan penggunaan produk dalam negrinya
sendiri. Produk untuk rumah tangga berbahan kayu dan plastik, mobil
nasional, bahan bakar biofuel produksi sendiri berupa ethanol dan
biodiesel, pariwisatanya yg makin mendunia dengan "malaysia thrully
asia". Dan sebagai sarana pertumbuhan ekonominya, jalan raya dan jalan
tol ("lebuh raya" kata mereka) semakin nyaman diselusuri sedari
perbatasan Singapura di selatan sampai dengan perbatasan Thailand di
utara. Lantai jalannya cor beton mutu tinggi yg lebar hingga bersap tiga
atau bahkan empat, tidak berlobang, tidak pula bergelombang.
Di Indonesia sendiri di lain pihak, jembatan-jembatan yg ambles dan
putus, jalan yang "berlobang, bergelombang, berkubangan, sempit, rusak,
licin, rawan longsor, dan rawan kecelakaan" di negeri ini semakin tak
terurus saja rasanya. Apalagi di musim penghujan seperti ini. Di Papua
sana, bahkan kita disarankan jalan kaki saja biar cepat sampai ke tempat
tujuan, krn minimnya sarana jalan dan jembatan.
Bahkan yg lebih mengenaskan lagi adalah berita kriminal di setiap
hari yg makin diekspos di media massa/media sosial, justru semakin
menstimulasi pelaku-pelaku baru untuk mengekor pelaku yg lagi "naik
daun". Lihat saja di tivi-tivi Anda saben hari, yg selalu dijejali dg
berita tawuran, pembunuhan, perampokan, perampasan, perkosaan, penipuan.
Dan siapa kiranya yg jadi korban? Tentu ya anak bangsa Indonesia ini
sendiri. Bahkan saking lemahnya kekuatan penegak hukum, sampai-sampai
jadi hal yg lumrah bagi aparat kita untuk memasang amar/peringatan
seperti "amankan kendaraan anda dengan kunci ganda, daerah ini rawan
pencurian" ... Dan amar itu ditulis besar dalam spanduk, yg dibeber di
pagar depan mapolsek/mapolres atau pos satpam sekitar.
Beda halnya di Singapura, seorang rekan mengatakan bahwa tingkat
kriminalitas di sana sedemikian rendahnya karena selain cctv ada di
mana2 dan penegakan hukumnya sangat solid, di sana juga gak ada orang yg
sempat nganggur. Kalau ada kasus kriminal, biasanya pelakunya itu
wisman yg "iseng dan kurang kerjaan". Di sana malah kekurangan tenaga
kerja, sampai orang yg semestinya sudah pensiun pun masih diharapkan
membantu bekerja sesuai porsi kemampuan mereka. Lha kalo semuanya sibuk
bekerja, ya tentu ga sempat iseng atau jail untuk melakukan hal-hal yg
melanggar hukum. Sebenarnya lapangan kerja di sini memang masih kurang,
atau warganya yg malas bekerja ya? Atau biaya utk menggaji tenaga
kerjanya sudah kelewat kemahalen?
Mari kita doakan saja dan kita dukung bersama, semoga
pemimpin-pemimpin Indonesia ini selalu sehat seger waras, nggak gampang
stress, nggak gampang capek ngurusi masalah bangsa negara yg sudah
sedemikian kronisnya ini. Dan semoga pula, anak-anak bangsa Indonesia
jadi anak yg shaleh dan berbakti, tidak durhaka dan durjana, sehingga
menyengkuyung semua upaya untuk menuju "Indonesia Yang Selalu Lebih
Baik".
Inspired by Ajahn Brahm (Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya)