Pagi baru saja menjelang di beranda Hotel Le Meridien, tepatnya pukul
satu dini hari waktu Mekkah, ketika 10 bus jamaah haji Perancis mulai
merapat dan menimbulkan kegaduhan panjang di depan lobby hotel tersebut.
Empat belas pemuda berkulit hitam yang menjadi tenaga borongan hotel
itu bergegas menyambut di tepi jalan, ikut mengatur bus maupun
penumpangnya, sebelum melanjutkan untuk membongkar bagasi masing-masing
bus tersebut dan mengantarkannya ke depan pintu masing-masing kamar
nantinya. Hampir tiap hari di musim haji tahun ini, kegaduhan yang sama
selalu terjadi di tengah malam sampai menjelang fajar di hotel ini. Le
Meridien memang menjadi pilihan utama di luar ring pertama hotel-hotel
sekitar Masjidil Haram, khususnya jamaah dari Eropa Barat, ataupun
jamaah-jamaah dari Asia yang finansialnya lebih mapan. Biasanya memang
tamu hotel ini datang dari biro-biro travel perjalanan haji dan umroh
dengan kelas plus.
Beberapa pria yg mungkin menjadi ketua rombongan dari tiap-tiap bus
mulai turun dan nyaris berteriak memberi aba-aba kepada anggotanya untuk
bergegas berbaris sesuai rombongan masing-masing di trotoar di depan
hotel itu. Satu karom yang cukup menonjol karena suaranya yang paling
lantang adalah Abdullah. Rupanya mereka akan bergegas melanjutkan
perjalanan ritual umroh qudum, sebagai awal dari rangkaian manasik haji
mereka.
Sebagian jamaah itu mulai meliuk-liukkan badan sedikit bersenam,
meregangkan otot dan persendian tulang mereka, yg rasanya mungkin kaku
semua seperti habis dikurung selama berjam-jam akibat perjalanan panjang
dari Paris ke Jeddah hingga ke Mekkah. Sebagian kecil lainnya terlihat
kasak-kusuk di sekitar sang ketua rombongan, bertanya ini-itu yang perlu
disiapkan. Sang ketua dengan telaten dan sabar memberikan penjelasan,
sambil sekali-kali tangannya menunjuk-nunjuk arah untuk lebih menegaskan
penjelasannya kembali. Satu orang tiba-tiba mendekat dan berdiri di
sebelah sang karom, seorang pemuda afrika yang merupakan petugas pemandu
haji dari hotel itu, yang kemudian mengangkat sebuah papan penunjuk
nama rombongan masing-masing.
"Mulai dari sini, kita akan bersama naik bus merah di depan itu,
dipandu saudara kita ini." Ujar sang ketua sambil menunjuk bus umum
warna merah bertuliskan "Saptco" dan menunjuk sang petugas hotel yg akan
memandu mereka.
"Tiap-tiap rombongan dalam satu bus. Bus yang ini akan tetap di sini
untuk penurunan bagasi kalian. Nanti setiba di terminal di depan sana,
kita lanjutkan berjalan kaki ke tempat wudlu. Awas, jangan sampai
terpisah dengan rekan satu rombongan." Pesan lanjut sang ketua
rombongan.
Rombongan Abdullah menjadi rombongan ketiga yang bersiap menaiki bus
Saptco merah, yang akan membantu mengangkut mereka melintasi terowongan
dari sisi Kuday menuju sisi Bab Malik menembus bukit batu yang
memisahkan wilayah Kuday dengan wilayah Misfalah lainnya.
Satu per satu anggota rombongan naik dengan tertib tanpa berdesakan.
Mengantri dengan tertib seolah sudah menjadi adab yg sudah menjiwa
dalam diri mereka, seolah tumbuh secara refleks dari kesadaran saling
menolong dan saling bertoleransi di antara mereka, sehingga memudahkan
segala urusan yg berkaitan dengan kebutuhan orang banyak. Hmmm, ...
jauuuuh sekali dengan adab dan polah sebagian bangsa Asia dan Eropa
Timur yg masih gemar selonang-selonong, bahkan tega main sikut menerobos
antrian seenaknya sendiri. Mungkin, dengan semakin maju tingkat
pendidikan suatu bangsa, kesadaran tertib dalam mengantri juga semakin
baik pula. Ataukah mungkin juga tidak tentu demikian, karena adab memang
perlu pembiasaan panjang ya?
Terowongan Kuday-Bab Malik sebenarnya adalah satu terowongan panjang
di utara distrik Misfalah, yang menghubungkan terminal bus Kuday, yg
menjadi terminal transit bus-bus dari beberapa distrik seperti
Bakhutmah, Misfalah, ataupun Syarif Mansyur, yang mana terminal itu
terletak persis di timur simpang empat sebelah hotel Le Meridien itu
dengan terminal Bab Malik yg berada di ujung utara terowongan itu dan
tepat di bawah hotel Tower Jam di sebelah selatan Masjidil Haram. Hotel
Le Meridien sendiri sebenarnya terletak tepat di ujung selatan
terowongan tersebut. Sehingga setiap jamaah yg menjadi tamu hotel Le
Meridien tak perlu naik dari terminal Kuday, melainkan bisa naik
kemudian dari halte kecil di depan hotel tsb. Tentu dengan risiko tidak
akan ikut terangkut jika bus sudah sesak penumpang sedari Kuday.
"Tak perlu khawatir jika bus dari Kuday penuh. Sopir-sopir bus ada
yg berangkat tanpa penumpang dari Kuday, khusus untuk melayani Le
Meridien." Jelas pemuda afrika yg menjadi pemandu mereka kepada
Abdullah, saat Abdullah menanyakan bilamana siang nanti mereka hendak
kembali naik bus merah ini.
"Tapi ... Karena tarif semua bus ini free, karena telah ditanggung
semua oleh kerajaan, maka sekembalinya dari Haram nanti kalian terpaksa
harus berebut dengan penumpang umum lainnya." Sambung Diouf, si pemandu
tadi.
"Jika terminal Bab Malik yang di sana nantinya penuh sesak dengan
penumpang, biasanya terjadi seusai sholat isya, kalian bisa juga
langsung berjalan kaki ke sini menyusuri trotoar di tepi jalan
terowongan ini. Toh sebenarnya tak begitu jauh, dan jalannya di dalam
terowongan pun lurus saja menuju ke tempat ini." Diouf memberikan
alternatif pilihan bila Abdullah dan kawan-kawannya menemui kesulitan
beroleh bus untuk pergi dan pulang dari Haram. "Asalkan jangan lupa
mengenakan masker kalian, karena debunya di dalam terowongan cukup
banyak."
Abdullah hampir saja menyampaikan satu pertanyaan lagi ketika bus
mulai berhenti. Rupanya mereka sudah tiba di Bab Malik yang benar saja
memang cukup dekat dari hotel mereka. Ia menunda pertanyaannya untuk
ganti memberi aba-aba lagi kepada rombongannya. Mereka perlu bergegas ke
ruang wudlu dulu sebelum memulai ritual thawaf dan sai untuk umroh
qudum mereka. Dan itu perlu komandonya sebagai ketua agar rombongan
tidak tercerai berai. Untung ada Diouf yg membantu mengarahkan sehingga
memudahkannya dalam mengatur barisan rombongannya.
Sebastian, salah satu rombongan yang dipimpin Abdullah yang
berangkat haji bersama dua sahabatnya yg lain David dan Pierre, menoleh
ke satu jalan yang diapit pertokoan di bawah Tower Jam di sebelah
selatan Haram saat mereka hampir sampai di tempat wudlu. Itu merupakan
sebuah jalan utama dari distrik Misfalah untuk menuju ke masjil Al
Haram. Rupanya di jalan itu sudah ramai orang karena ada dua rombongan
besar berihram yang sama-sama sedang menuju ke Haram, sehingga langsung
menyita perhatian Sebastian. Menilik benderanya, mereka dari Cina dan
Indonesia. Dua negara yang memiliki jamaah haji terbanyak di setiap
tahunnya.
"Hebat ya! Jam segini masih terus ramai saja yang pergi ke masjid!"
Seru Sebastian kepada Pierre yang melangkah lebih dulu di depannya.
Pierre ikut menoleh ke arah jalan tersebut, kemudian
menggeleng-gelengkan kepala, dan lalu berkata, "Subhanalloh!"
Abdullah kembali mengomandoi rombongan mereka untuk bergegas
membentuk barisan lagi bila usai berwudlu. Lalu sambil menunggu mereka
yang masih berwudlu, ia pun membantu merapikan letak kain ihram beberapa
rekan yang nyaris lepas selama dalam perjalanan maupun saat berwudlu
tadi. Beberapa bahkan keliru menyelempangkannya. Diouf ganti mengambil
alih menyampaikan informasi tentang apa-apa yg akan mereka lakukan saat
thawaf dan sa'i nanti.
Satu orang jamaah dari Distrik 3 Paris, yaitu seorang wanita dengan
usia sekitar 60-an dan berbadan cukup gendut, lantas mengangkat
tangannya bermaksud menanyakan sesuatu kepada Diouf. Rupa-rupanya
kakinya kesakitan, sehingga tidak cukup kuat untuk terus berjalan. Diouf
pun mengangguk-angguk berusaha menenangkan wanita itu.
Seorang pria pendorong kursi roda yang standby agak jauh dari tempat
mereka berbaris segera dipanggil dengan lambaian tangannya. Pria dengan
rompi hijau, jubah putih, dan surban merah putih itu sigap mendorong
kursi rodanya mendekati Diouf. Setelah tawar-menawar harga, yang
disepakati dengan 150 riyal untuk thawaf hingga selesai sa'i, Diouf
kemudian menunjuk sebuah tiang lampu di depan gerbang no. 91 sebagai
tempat nantinya mereka berkumpul kembali dengan pria pendorong kursi
roda itu.
"Dia akan memakai jalurnya sendiri, di lantai ke-dua atau ke-tiga.
Sedangkan kita nanti akan mulai dari lantai utama di bawah, agar bisa
lebih dekat dengan Ka'bah." Jelas Diouf kepada keluarga si wanita tua
tadi. Memang ada banyak pria penyedia jasa kursi roda yang selalu siap
di seputaran serambi Haram guna melayani jamaah yg akan membutuhkan
bantuan untuk pelaksanaan thawaf ataupun sekaligus sa'inya. Seragam
mereka pun sangat khas, seperti halnya seragam pria yg telah dipanggil
Diouf tadi. Diouf meyakinkan suami wanita itu bahwa istrinya tetap aman
dipandu pria pendorong kursi roda tadi.
Tak berselang lama, semua anggota rombongan telah bersiap dalam
barisan, dan mereka pun memulai ritual thawaf diawali dari gerbang King
Abdul Azis, gerbang nomor pertama dengan menara kembar yang mengapitnya
dan gerbang itu tepat berhadapan dengan Tower Jam di selatannya.
"Umumnya jika berhaji atau umroh, jamaah mengutamakan melalui pintu
nomor 10, yaitu gerbang Babus Salam. Namun kali ini kita lewat pintu
nomor 1 ini saja ya, agar tidak berjubel dengan jamaah di depan kita
ini." Diouf menjelaskan sambil menunjuk satu barisan besar jamaah
berbendera Indonesia yg lewat di depan mereka yang saking banyaknya
seperti tak habis-habisnya barisan mereka itu, dan sambil kompak
bertalbiyah, seperti suatu choir paduan suara yang sangat indah.
Abdullah dan kawan-kawannya hanya menggeleng-gelengkan kepala pertanda
kekagumannya.
"Kalian akan bertemu mereka di mana saja di penjuru kota ini," kata
Diouf menggambarkan tentang banyaknya jamaah haji asal Indonesia itu
,"jumlah mereka kira-kira 300.000 orang jika sudah berkumpul di sini
semua saat haji nanti."
Tepat ketika mereka mulai mengemasi alas kaki masing-masing di depan
gerbang King Abdul Azis, satu rombongan besar berikutnya yang
berbendera Cina ikut melintas menuju ke pintu lainnya, mungkin menuju
babus salam atau entah pintu yg mana. Dan waktu itu rupanya sudah hampir
menunjuk jam setengah dua saat bayangan mereka semua lenyap ke dalam
gerbang besar itu.
Di sisi lain di kota Mekkah, Sayid dan Fatimah, sepasang suami istri
yg sudah sepuh sedang berkemas untuk berangkat ke Haram dari penginapan
mereka di ujung jalan Hijrah. Botol plastik kecil seukuran 350 ml
sedang diisi dengan air dari dispenser oleh tangan kecil Fatimah.
Sedangkan Sayid yang berdiri di dekatnya itu masih sibuk membenahi letak
surbannya. Ia tak ingin udara dingin dari AC di dalam masjid nanti
mengganggu kekhusyukan sholat malamnya.
"Kita nanti berjalan kaki atau naik bus sholawat saja?" Tanya Sayid memberi opsi kepada istrinya.
"Jam berapa to sekarang, bi?" Tanya Fatimah balik kepada Sayid, yang
kemudian menjulurkan lengan kiri menunjukkan jam tangan di
pergelangannya.
"Baru setengah dua to? jalan sajalah ya?" Fatimah menawar. Memang
waktunya masih sangat longgar menuju shubuh di jam 5 pagi nanti.
Sedangkan perjalanan dengan berjalan kaki hanya perlu waktu setengah jam
dari penginapan mereka.
"Aku sih manut saja, Mi. Cuman agendanya pagi ini apa? Mau thawaf
dulu sebelum shubuh, sebelum dhuha atau mau nanti sore saja?" Sayid
belum memutuskan. Tangannya menyambut satu botol minum yang disodorkan
Fatimah kepadanya, untuk dimasukkan ke dalam tas "rojokoyo"-nya.
"Aku nanti sore saja, bakdo ashar ya Bi." Jawab Fatimah. "Pagi ini
sholatul lail saja, sekalian aku pengin sholat tasbih. Biar ndak
kesusu-susu."
"Baiklah, aku sebenarnya pengin mencoba thawaf di lantai atap. Kata
pak Mursyid kok lantainya yang utara sudah selesai dicor hingga
bersambung dengan lantai yg segaris dengan rukun Yamani. Kemarin blok
plastik pembatasnya juga sudah disingkirkan. Ya besok sajalah
dicobanya." Kata Sayid mengulang informasi dari pak Mursyid ketua regu
mereka.
Fatimah hanya tersenyum mendengarnya. Ia paham betul akan sifat
keingin tahuan suaminya itu, yg selalu ingin mencoba-coba hal yg baru di
saat "eling" atau bersemangat, ... namun kemudian bakal angin-anginan
lagi kalo tidak ada yg mengingatkan atau menyemangati. Padahal, yang
didengar Fatimah dari info pak Mursyid pula, satu putaran thawaf di
lantai atap itu sama dengan tiga sampai empat kali putaran thawaf di
lantai utama di bawah. Terbayang olehnya bagaimana siang nanti si suami
bakal ribut meminta dipijiti karena capek kakinya bilamana saja jadi
melakukan thawaf di lantai atap dini hari ini.
"Kok pakai sajadah yang itu, bi?" Tanya Fatimah saat melihat sajadah
tebal yang digantungkan si suami di tas rojokoyo-nya. "Apa ndak jadi
bawa sajadah yg dibeli pagi tadi?"
"Pakai ini saja kalau malam, biar gak kedinginan kena lantainya
nanti." Sayid menerangkan mengapa ia tetap memakai sajadah Turki yg
tebal itu, sajadah yang dulu dihadiahi seorang kawan yg pulang haji.
Kata kawannya itu, biar ia segera ketularan berhaji. Sayid hanya
terkekeh bila mengingat itu, karena ia tahu di beberapa pasar di
Surabaya pun gampang sekali ia jumpai sajadah yg sama dengan sajadah
ini. Apalagi di pasar Turi dan di pasar Slompretan, tinggal pilih sesuai
budget masing-masing.
"Nanti siang saja aku bawanya." Sambung Sayid sambil memencet tombol
lift untuk turun di tempat penginapan itu. Fatimah segera mengekor di
belakangnya saat pintu lift terbuka di lantai lobby. Tangan kecilnya
segera meraih lengan Sayid, untuk sedikit menahan langkah cepat suaminya
itu. Dua insan sepuh ini pun mulai membelah jalan Hijrah, dalam tiupan
angin yang masih berasa gerahnya, menyusuri sepanjang trotoar dan jalan
pertokoan Misfalah, menuju ke Haram, dengan diterangi lampu-lampu jalan
yang benderang.
Saat mentari mulai menampakkan semburat sinarnya di bukit-bukit batu
di sekeliling Haram, langkah Fatimah ketika keluar dari pintu annisa
no. 89 sedikit terhenti karena terhalang sosok-sosok lelaki yang tinggi
besar yang masih berihram yang baru saja turun dari escalator di gerbang
91. Ia menahan dirinya sesaat, ketimbang kalah tenaga bertubrukan
dengan jamaah tadi. Namun rupanya mereka sama-sama berhenti di bawah
tiang lampu di depan gerbang 91. Di tempat yang sama yang dipakai
sebagai gathering point dengan Sayid, suaminya. Fatimah agak kesulitan
menebarkan pandangan saat mencari-cari bilamana sosok suaminya mungkin
telah muncul di dekat situ.
Sosok-sosok lelaki besar yang tak lain adalah Pierre, David dan
Sebastian itu masih saja menghalangi pandangan Fatimah, sehingga
kecemasan dan kejengkelan mulai merasuki hati Fatimah. Namun ia segera
menepisnya dengan cepat dalam kalimat istighfar.
"Astaghfirullohal adziim." Fatimah terus berdzikir menenangkan hatinya. Ia berharap sang suami segera muncul di hadapannya.
Desis istighfar Fatimah rupanya terdengar juga di telinga Pierre. Ia
menoleh kepada perempuan tua di dekatnya itu yang masih kesulitan
melongokkan kepala karena terhalang tubuhnya dan rekan-rekannya yang
lain. Demi membantu nenek ini, Pierre mengingsutkan badannya agak ke
timur menjauhi si nenek sembari menarik pundak David dan Sebastian,
sehingga pandangan Fatimah bisa lebih bebas lagi. Bola matanya melirik
sajadah ungu yg cantik yang didekap sang nenek itu. Sebuah sajadah yg
pasti tidak mengecewakan jika ia hadiahkan pada Marrion. Namun belum
sempat ia bertanya di mana ia bisa mendapatkan sajadah yg sama seperti
itu, seorang kakek datang menghampiri nenek itu, menggamit tangan sang
nenek dan segera beranjak pergi. Mulut Pierre tak jadi bersuara untuk
bertanya. Pandangannya terpaku pada sosok kakek-nenek yang asyik
bergandengan menembus kerumunan kecil jamaah lainnya. Ada kegelian dan
juga rasa iri dalam hatinya yg tiba-tiba muncul.
"Ah, seandainya itu adalah aku dan Marrion." Ujarnya dalam hati.