Jangan pernah mengatakan bahwa membuat tembok itu mudah begitu saja sebelum Anda mencobanya sendiri, begitu mungkin yg dialami pula oleh para biksu muda ini. Namun dengan penuh ketelatenan, para biksu termasuk biksu muda Ajahn Brahms, menata batu bata itu menjadi tembok sesempurna mungkin.
Namun apa yg terjadi kemudian setelah tembok itu kering, biksu muda Brahms mendapati bahwa ada 2 buah batu bata yang tersusun miring olehnya di tengah tembok itu. Menjadikan tembok itu tampak rusak. Sang biksu muda pun meminta ijin kepada kepala wihara untuk membongkarnya kembali, atau bahkan kalau perlu meledakkannya karena saking malunya. Namun sang kepala wihara melarangnya.
Di hari-hari selanjutnya setelah wihara itu selesai dibangun, dan para pengunjung mulai berdatangan, biksu muda yang ditugasi membimbing para tamu berkeliling wihara, berupaya menghindarkan para pengunjung melalui tembok tsb. Dia tdk ingin ada yg melihat "cacat" yg telah dibuatnya. Hingga akhirnya suatu hari dgn tetap tak bisa dihindari, rombongan tamu melintas dan melihat tembok itu.
"Ini sebuah tembok yang sempurna!" Demikian puji seorang pengunjung.
Biksu muda itu terkejut, dan sangsi akan penilaian pengunjung tsb. Barangkali pandangannya sedang terganggu, demikian pikirnya. Namun ternyata pengunjung itu bersungguh-sungguh melihat bahwa tembok itu sempurna, meski biksu muda itu telah menunjukkan "cacat" dari tembok itu.
Dia berkata, "Ya saya bisa melihat 2 bata jelek itu, namun saya juga bisa melihat 998 bata lain yang bagus."
Demikianlah inti kisah ini, terkadang bahkan sering kali kita tersilapkan oleh sedikit "kesalahan" yang berujung dengan tak melihat secuil pun kebaikan yg jauh lebih besar yang sejatinya ada. Saking fokusnya kita dgn "cacat" itu, shg yg terjadi hanyalah perceraian suatu perkawinan, terputusnya silaturahim, orang yg depresi hingga bunuh diri, dan sebagainya. Seolah tiada ampun yg dapat diberikan akibat "kesalahan" itu. Seandainya kita luangkan sejenak hati dan pikiran kita lebih tenang, maka "dua batu bata yang jelek" itu justru menjadi satu "hal unik" yang bernilai lebih mahal dan memperkaya hidup kita. Bahkan menegaskan kesempurnaan/keunggulan kita.
Diceritakan kembali dari buku "Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya" karangan Ajahn Brahm