Bagian 1
Pagi itu Sayid dan Fatimah istrinya, berjalan pulang selepas berjamaah
shubuh di Al Haram. Tubuh renta mereka terpaksa harus beradu kuat
berhimpit-himpitan dengan jamaah lain yang masih muda ataupun yang
berbadan layaknya raksasa, saat mulai membelah jalan di antara pertokoan
Misfalah sekeluarnya dari serambi masjid. Tangan kecil Fatimah
bergegas menggaet lengan Sayid,
khawatirterpisahkan bila terhentak oleh jamaah yang nekad menerobos di
antara mereka berdua saat melintas di depan toko roti yang sudah ramai
pembeli. Sayid justru tersenyum senang ketika istrinya semakin
menggamit kuat lengannya. Serasa terbang ke puluhan tahun yang lampau
ketika masih masa remaja mereka berdua, betapa romantisnya mereka kini,
mungkin begitu yang bersuara dalam benak Sayid. Langkah kaki mereka
pun makin bergeser ke tepi kanan jalan, menghindar dari jamaah yang
makin memadat menjelang ujung jalan menuju ke persimpangan Misfalah dan
Bakhutmah. Jalan itu memang menyempit karena sedang berlangsungnya
proyek monorail di selatan Tower Zam-zam atau Menara Jam itu.
“Lewat jalan pertokoan yang tengah itu saja ya, Mi. Keliatannya nggak
sepadat jalan yang ke kiri itu.” Tawar Sayid kepada istrinya, yang
segera dijawab cepat dengan anggukan Fatimah.
Begitulah,setelah berjalan menyimpang ke barat sedikit menuju jalur
Bakhutmah, kakek nenek itu kemudian berbelok kembali ke kiri menapaki
jalan pertokoan Misfalah yang sisi tengah. Meski tetap ramai, namun
kepadatannya jauh lebih berkurang dibandingkan jalur pertokoan yang
sisi timur, yang memang menjadi jalan utama Misfalah. Tubuh pasangan
tua itu sudah terbebas dari himpitan ataupun senggolan dengan jamaah
yang lain. Langkah kaki mereka mulai melambat ketika melintasi beberapa
toko pakaian dan pernak-pernik lainnya.
“Terburu-buru pulang apa nggak, Bi?” Tanya Fatimah dengan maksud
meminta ijin untuk singgah sebentar di toko-toko di jalur tengah itu.
“Ummi mau cari apa? Aku juga pengin cari kain surban.” jawab Sayid tersirat mengijinkan.
Hampir setengah tujuh, namun langit timur masih terselimuti mendung
ketika Sayid dan Fatimah selesai memilih beberapa sajadah dan tas
tenteng dari toko milik orang Bangladesh di dekat fly over Misfalah,
sebuah fly over yang biasa ramai untuk pembagian makanan bagi jamaah
haji sebagai hadiah dari raja Arab Saudi. Di toko itu mereka sengaja
memilih sajadah yang lebar namun tipis, biar nantinya lebih mudah
dilipat di dalam tas rojokoyo mereka.
“Aku ingin menghadiahkannya ke akhwat Palestina yang biasanya duduk di
sebelahku.” Sebut Fatimah akan tujuannya. Matanya berbinar seolah
membayangkan wajah gembira saudarinya dari Palestina itu saat menerima
pemberiannya nanti. Meskipun dirinya belum bisa singgah di Palestina,
setidaknya sajadahnya sudah bisa mewakili kehadirannya di bumi Baitul
Maqdis itu, mungkin demikian harapannya.
“Bagus juga itu. Boleh ya kalo aku juga nanti sedekah sajadah seperti
itu?” Tanya Sayid pada istrinya. Fatimah pun mengangguk, sembari
kembali menggamit lengan suaminya untuk bergegas pulang ke penginapan
mereka. Matahari pun mulai bersinar cerah menembus di antara awan yang
tersisa menyelimutinya. Secerah hati dua kakek nenek yang berbahagia
itu.
Bagian 2
Jarum jam masih menunjukkan pukul 2 pagi saat mama Lin Lin, jamaah haji
dari Sichuan Tiongkok, baru saja selesai menyalakan magic com di dapur
umum di sebelah kamar penginapannya. Tangannya sebentar kemudian
beralih mengipas-kipas seduhan tehnya dalam gelas besar, dan setelah
teh itu menjadi hangat berangsur dituangkannya ke dalam botol minuman
ala tupper ware yg akan dibawanya ke
Haram nanti. Hanya mirip tupper ware karena memang asli bikinan
negerinya, Tiongkok, yang jago tembak produk-produk laris di dunia, ya
seperti tupper ware itu misalnya.
Beberapa hari ini Mama Lin Lin memang hanya minum teh hangat saja
ketimbang air zam-zam dari Haram. Tenggorokannya mulai gatal menjelang
batuk, sepertinya jadi tertular pula oleh batuk jamaah yang lain. Meski
masker kain sudah dia dobeli dan rajin dia kenakan, tak ayal masih
tetap tertular juga. Mama Hua yang tinggal sekamar dengannya dan
kebetulan juga satu-satunya dalam rombongan mereka yang belum batuk
yang kemudian berbagi tips kepadanya, menganjurkannya untuk meminum
seduhan daun teh hijau hangat-hangat.
Selesai menuang teh, Mama Lin Lin menghela nafas panjang. Ngeri
walaupun hanya membayangkan kalau dirinya harus membeli sendiri obat
batuk di apotik-apotik di Mekkah ini. Harga obat di sini lumayan mahal,
apalagi bagi jamaah haji seperti dirinya. Meski ia mendapatkan living
cost sebesar 5.000 yuan atau setara 10 juta rupiah, namun uang itu
memang ia upayakan untuk tetap utuh sehingga bisa dibawanya pulang
kembali. Untuk berangkat berhaji tahun ini, uang milik keluarga sebesar
35.000 yuan telah ia habiskan sendiri. Belum lagi jika dihitung bersama
suaminya, totalnya 70 ribu yuan. Padahal pendapatan sebulan dari hasil
kerja seluruh keluarganya, hanya berkisar 500 yuan saja. Sebuah nilai
uang yang sangat berarti bagi keluarga petani seperti mereka. Oleh
karenanya, untuk berhemat selama di Mekkah ini, mama Lin Lin dan banyak
jamaah China yg lain cenderung menahan diri untuk tidak beli-beli
sesuatu.
Dalam tas kopernya, mama Lin Lin sudah memenuhinya dengan bekal
makanan. 5 kilo beras, 3 kilo mi, 3 kilo tepung. Sisanya hampir 10 kilo
makanan dan bahan makanan, termasuk bumbu dapurnya. Tak ayal kalau tas
kopernya pun nyaris menyentuh limit ijin kargo. Padahal bekal itupun
sudah dibagi bersama dengan kelompoknya, agar bisa saling melengkapi.
Mama Lin Lin pun tak pernah malu untuk mengantri puluhan meter tiap
kali ada pembagian “halalan” dalam perjalanan sepulang dari Haram. Entah
itu berupa buah, roti, nasi biryani, jus ataupun paket dari Raja Arab.
Bagi dirinya, “halalan” itu telah menjadi penyambung hidup selama
mereka di Mekkah. Uang saku betul-betul bisa mereka hemat sehemat
mungkin.
Memang terkadang mama Lin Lin juga cemburu dengan jamaah lain dari
Asia, khususnya jamaah Indonesia, yang tiap pulang dari Masjidil Haram
selalu saja mampir ke pertokoan di sepanjang kiri kanan jalan utama
Misfalah, yang searah dengan hotel penginapan mama Lin Lin. Entah jamaah
Indonesia itu hanya sekedar melihat-lihat ataupun benar-benar
berbelanja, namun hal tersebut menjadi hal yg sulit dilakukan oleh mama
Lin Lin dan rombongan mereka. Mereka harus teguh betul dalam menghemat
uang yang ada, meskipun sebenarnya dalam hati kecil mama Lin Lin pun
ingin berbelanja pula. Pakaian, perhiasan, sajadah dan berbagai
pernak-pernik lainnya sungguh betul-betul menggoda. Namun sekali lagi,
itu harus mampu mereka pendam serapat mungkin dalam lubuk hati terdalam
mereka.
Maka ketika sore harinya selepas berjamaah Ashar, demi melihat seorang
nenek dari Indonesia mengulurkan sebuah sajadah kepada jamaah Palestina
yang duduk tepat di sebelahnya, air mata mama Lin Lin tiba-tiba saja
mengalir tak terbendung. Seandainya ia bisa berbincang-bincang dengan
nenek itu, mama Lin Lin pun ingin melakukan hal yang sama. Bisa memberi
kepada orang lain, bersedekah, tak hanya seperti sekarang yg
dilakukannya yg masih harus rela antri demi “halalan-halalan” itu.
Tanpa sadar, telapak tangan mama Lin Lin membekap erat mulut dan
hidungnya demi menahan isak tangisnya yg makin menggelora. Hatinya pun
menjerit-jerit memohon petunjuk dan pertolongan kepada Allah.
Sebuah tangan yang hangat mengelus punggung Mama Lin Lin, berusaha
menghiburnya. Entah apa yang diucapkan oleh akhwat Palestina di
sampingnya itu, namun perlahan hati mama Lin Lin pun berangsur tenang
kembali. Nenek Indonesia di samping akhwat Palestina itu pun mengulurkan
sekotak tissu kepadanya dengan tersenyum ikut menghiburnya. Sambil
mengangguk berterima kasih, mama Lin Lin menyambut tissue itu untuk
mengelap wajahnya yg basah kuyup oleh keringat dan air matanya.
Tiba-tiba seperti mengalir begitu saja dalam benak pikiran mama Lin
Lin, seolah ada seseorang yang membisikkan ke telinganya. Sebuah elusan
di punggung, selembar tissu, beberapa butir kurma, beberapa teguk air,
menunjukkan arah jalan, membantu mengambilkan segelas air zam-zam …
Bukankah itu juga sudah bisa menjadi sedekah? Dan itu pun sedekah yg
murah, tak harus berupa sedekah sajadah seperti yg dilakukan nenek
Indonesia tadi. Dan Mama Lin Lin pun makin yakin, bahwa dirinya tak akan
jadi jatuh miskin karena rajin bersedekah seperti itu.
Mama Lin Lin tersenyum lebar, dan kembali mengangguk-angguk
mengisyaratkan berterima kasih kepada wanita Palestina dan Indonesia
yang telah menolongnya tadi. Dalam dadanya telah bulat sebuah tekad
untuk memulai bersedekah sekarang juga. Tangannya bergegas menyambar
botol “tupperware” dalam tas cangklongnya, untuk ditawarkan kepada
wanita Palestina dan Indonesia itu. Alhamdulillah, mereka pun
menyambutnya, sehingga hati mama Lin Lin menjadi lega.
“Begitu mudahnya Allah membolak-balikkan hatiku. Dan sungguh Allah
telah memuliakan diriku. Terima kasih ya Allah.” Pekik dalam hati mama
Lin Lin bersyukur kepada pemilik Haram di sore itu.
Bagian 3
“Sebaiknya selama di sini kita pakai sim card lokal saja untuk
komunikasi di antara rombongan kita. Banyak operator lokal yang bagus
dan murah di sini. Nanti kita urus setibanya di hotel di Mekkah.
Sekarang jangan aktifkan dulu ponsel kalian. Berhematlah. Siapkan saja
pasport masing-masing!” Saran Abdullah kepada rekan2 satu rombongannya,
sambil mengemasi tas kecil tempat pasport dan gadgetnya setelah ada
informasi pendaratan dari pilot pesawat Airbus mereka. Sebagai ketua
rombongan yg membawahi 49 rekan lainnya, Abdullah cukup ceriwis dalam
mengingatkan apa-apa yg harus dan akan dilakukan oleh rombongan mereka.
Kebetulan ia sudah pernah berhaji tujuh tahun yg lalu. Dan sekarang
saat ia ingin berhaji yang kedua kalinya, pemilik tour haji menunjuknya
sebagai leader 49 rekannya yg lain.
Airbus milik Saudi Arabian Airlines penerbangan dari Paris baru saja
mendarat di bandara King Abdul Azis International Airport (KAIA),
mengantarkan sekitar 470 calon jamaah haji dari total sekitar 30.000
jamaah Perancis tahun ini, ketika adzan isya’ pada hampir pukul delapan
malam itu mulai berkumandang bersahutan di langit Jeddah yang cerah.
Sebenarnya pesawat tsb berangkat dari bandara Charles de Gaulle sebelum
dhuhur, pada pukul 11.10 waktu Paris, dan lama penerbangannya pun
hanya 6 jam kurang. Namun karena Jeddah dan Paris berselisih 2 jam, di
mana waktu Jeddah lebih awal, maka akhirnya Abdullah dkk pun baru tiba
di KAIA pada isya’ ini. Hanya terlambat 5 menit dari yang dijadwalkan.
Pierre, salah satu anggota rombongan Abdullah yang duduk tepat di dua
baris belakang dari kursi Abdullah tampak gelisah. Dia duduk di sisi
gang way bersebelahan dengan dua sahabatnya, David dan Sebastian.
Pierre berulang kali berusaha melongok ke jendela, yang mana hanya
terlihat olehnya hamparan tanah yg gelap dengan temaram lampu landas
pacu.
“Ada masalah, Pierre?” Tanya David yg duduk tepat di samping jendela
tempat Pierre berulang kali melongok keluar. David menangkap kecemasan
di wajah Pierre tersebut.
“Ya, bagaimana ya … Akhirnya kita tiba di sini, dan hatiku makin kacau saja.” Jawaban Pierre mengambang.
David hanya tersenyum saja karena ia paham dengan kegelisahan Pierre
itu. Dia pun paham apa yg ada dalam benak dan pikiran Pierre saat ini,
karena David dan Pierre sama-sama seorang muallaf. Hanya kebetulan David
sudah hampir genap setahun menjadi muslim. Sedangkan Pierre baru
sekitar lima bulan yang lalu mengikrarkan dua kalimat syahadatnya. Kalau
Sebastian sebenarnya sudah lima tahun jadi muslimin, tapi tetek bengek
urusan agama pun dia masih belum pede juga. Oleh karena itu, kecemasan
ini pun wajar saja muncul setiap saat dalam benak mereka. Terlebih
perjalanan haji mereka kali ini bisa dikatakan sebagai satu keajaiban
saja.
Dalam kondisi keislaman dan keimanan yg belum kuat benar, dua bulan
yang lalu tiba-tiba mereka bertiga disodori ajakan berhaji oleh Syaih
Rozaq Boubaker, seorang ulama besar sekaligus pejabat puncak di kantor
walikota Paris, saat mereka bertemu sang Syaih ketika singgah sembahyang
jamaah ashar di masjid dekat kantor walikota. Jangankan untuk memiliki
keberanian pergi berhaji, bahkan nyali untuk sholat sendirian saja
mereka masih ragu … Takut jika sholat mereka salah dan tak diterima
Alloh, sehingga amalan mereka nihil lagi, tak jauh beda dg amalan mereka
saat belum jadi muslim. Maklum saja mereka belum hapal betul gerakan
dan doa bacaan dalam sholat. Sedangkan saat ini mereka sebentar lagi
bakal menjejakkan kaki di bumi Nabi, tempat berhimpunnya orang-orang yg
sudah bersiap diri untuk menyempurnakan iman dan ibadah-ibadah mereka.
Jutaan orang-orang yang sudah ahli beribadah, bukan tiga gelintir
mualaf seperti mereka.
Pernah dalam satu pengajian ada guru yg menjelaskan tentang
kesempurnaan wudlu, di mana sang guru waktu itu membacakan salah satu
hadits tentang akan dibakarnya kaki dengan api neraka jika tak sempurna
membasuh dalam wudlunya. Hiiii … Langsung terbayang deh kengeriannya
di pikiran David, Pierre dan Sebastian.
Tangan David menggapai pundak dan punggung Pierre, berusaha menenangkan sahabat seimannya itu.
“Jangan cemas, Saudaraku! Kita sekarang menjadi tamu Allah. Maka Allah
pasti tidak akan mempermalukan kita sebagai tamu-tamunya, bilamana kita
bersungguh-sungguh memenuhi panggilannya. Betul kan? Ingat, … Man
Jadda wajada, … Ingatkan?!” David mencoba menguatkan hati Pierre.
Pierre tersenyum mendengar kalimat “man jadda wajada” tersebut.
Angannya sejenak terbayang ke hari-hari sebelum ia mengikrarkan dua
kalimat syahadatnya lima bulan yg lalu. Hari ketika kakinya mendadak
terhenti sendiri saat melintasi distrik 5 di Paris, tepat di depan
Grande Mosquee de Paris (Masjid Agung Paris), dalam perjalanannya menuju
stasiun metro Place Morge.
Saat itu pandangan kedua bola matanya tersita untuk melihat lima
anak-anak kecil yg berlomba lari dengan riang gembira melompati anak
tangga menuju ke dalam masjid itu. Tangan kanan mereka sambil
menggenggam buku kecil hijau yang sama, sambil memekikkan tawa yg
tiba-tiba menghujam dan menenangkan hati Pierre. Topi-topi bulat putih,
yg belakangan dikenalnya sebagai peci ikut menghiasi kepala, menambah
kelucuan malaikat-malaikat kecil itu. Beberapa orang tua usia sebaya,
yang mungkin ayah dan ibu dari anak-anak kecil tadi, tampak tenang
mengikuti mereka dari belakang. Ada aura penuh kedamaian terpancar dari
wajah keluarga itu.
“Hei … Ayo ambil tas kita!” Seruan David membuyarkan sejenak angannya
tadi. Pierre bergegas berdiri membuka kabin di atasnya, dan dengan
sigap menurunkan ketiga tas koper kecil milik mereka. Sebastian yg
duduk di antara Pierre dan David ikut berdiri membantu menata tas koper
tsb di atas kursi mereka.
Ketika penumpang yg duduk di depan mulai meninggalkan tempat, berjalan
menuju ke pintu keluar, segera pula ketiga sahabat ini pun bergegas
menyusul. David sedikit keheranan demi melihat raut wajah Pierre yg
tiba-tiba sudah berubah penuh senyuman. Tak seperti tadi yg penuh
kecemasan. Tangan David memegang pundak Pierre sekali lagi. Pierre
menoleh ke arahnya. Mereka hanya saling berpandangan dan tersenyum.
“Man jadda wajada!” Kata Pierre sambil balas memegang tangan David yang
berada di pundaknya, seolah menjawab apa yg ingin diketahui oleh benak
David tadi. Sehingga senyum David pun makin lebar karena senang
mendengarnya. Tangannya kemudian kembali menepuk-nepuk pundak Pierre
menandakan kepuasannya.
“Setelah pemeriksaan dokumen oleh petugas bandara, nanti segera ambil
tas koper masing-masing di ruang baggage claim … Tapi jangan pergi jauh
dari situ. Kita nanti bersama-sama ke ruang tunggu di luar, untuk
sama-sama bersiap ihram.” Komando Abdullah kembali terdengar lantang
saat rombongan mereka telah melintasi jalur kedatangan.
Saat di dalam antrian pemeriksaan dokumen, angan Pierre seolah
menyambungkan kisah di depan Grande Mosquee de Paris tadi. Setelahnya,
selama tiga sore berturut-turut ia lalui hanya dengan berdiri di depan
masjid itu, tak kurang tak lebih, tak beranjak sejengkal pun dari tempat
ia pertama kali berhenti dan berdiri. Namun sore ini, tak berselang
lama kemudian ada satu tanda tanya besar menyeruak muncul di dalam
hatinya.
“Mengapa kakinya tiba-tiba selalu berhenti di sana?”
“Dan mengapa pula hatinya ikut menjadi begitu damai saat melihat keluarga-keluarga kecil yg hendak masuk ke dalam masjid itu?”
Dan suara-suara itu, entah orang menyanyikan apa dari dalam masjid sana
(yg di kemudian hari akan dikenalinya sebagai adzan), seperti
menariknya untuk mulai berani melangkah menapaki tangga masjid … Hingga
nyaris menginjakkan kakinya di pintu masjid itu, saat dirinya tersadar
dan berhenti melangkah lebih jauh.
“Assalaamu alaikum.” Sapa lembut seorang pemuda tampan, sepertinya
mahasiswa dengan wajah layaknya orang Eropa timur, seakan menghentikan
geraknya yg berniat menarik mundur kakinya dari pintu masjid itu.
“Anda akan masuk atau apa?” Sambung pertanyaan si pemuda itu ketika Pierre tidak menjawab salam darinya.
Suara Pierre seolah terkunci di kerongkongannya, tak bisa keluar
sepatah kata pun. Ia gelagapan demi ketahuan telah berdiri di muka pintu
itu.
“Mari masuk saja, sebentar lagi jamaah ashar akan segera dimulai.” Ajak si pemuda itu.
Pierre mengumpulkan segenap kekuatan dan keberaniannya untuk menjawab ajakan tsb. Menolak, mungkin lebih tepatnya.
“Saya bukan muslim!” Tegas Pierre akhirnya setelah berani berkata-kata.
Namun Si pemuda justru meraih tangannya dan menggeretnya masuk.
“Tak apa, Anda bisa melihat-lihat sisi dalamnya. Setelah itu terserah
Anda, apakah akan pulang atau ikut saya berkeliling melihat-lihat
masjid ini.” Si pemuda berusaha menjelaskan niatnya.
“Banyak juga kok nonmuslim yg berkunjung ke masjid ini, meski ya hanya
sampai di tamannya saja.” Sambung si pemuda sambil tetap menggandeng
tangan Pierre. “Baiklah, saya akan melanjutkan sembahyang di dalam
masjid sana, sedangkan Anda silakan jika ingin berkeliling terlebih
dahulu. Tapi sebaiknya lepaskan sepatu Anda itu, biar lebih bebas
melihat bagian bangunan yg lain.”
Pierre hanya mengangguk mengiyakan semua kata-kata si pemuda tadi,
karena saat ini matanya sedang terbelalak kagum demi memandang kolam dan
taman yg terhampar di dalam masjid itu. Dirinya yg sebenarnya seorang
jurnalis gaya hidup di sebuah majalah anak muda, justru baru kali ini
bisa melihat langsung sebuah keelokan di dalam masjid Paris ini. Padahal
hampir setiap hari dia lalu lalang di depannya.
Teringat pesan si pemuda tadi, Pierre segera bergegas melepas
sepatunya. Ia memandang berkeliling hingga terlihat olehnya beberapa
deret loker untuk meletakkan sandal dan sepatu. Selesai mengurus
sepatunya, Pierre mulai melangkah menapaki sisi taman dan kolam yg ada
di sekitar situ. Hatinya masih takjub setakjub-takjubnya. Bahkan
kedamaian yg tadi sudah menghiasi hatinya, saat ini makin menggelora,
hingga tiba-tiba air matanya mengucur tak tertahankan olehnya.
Pierre kelabakan demi mendapati dirinya menangis tanpa sebab seperti
itu. Terburu-buru dikeluarkannya sapu tangan dari saku celananya,
sehingga malah sempat jatuh ke lantai, menarik perhatian seseorang yg
berdiri tak jauh darinya. Akhirnya setelah dengan penuh perjuangan
menyeka pipi, mata, hidung dan menenangkan hatinya, tinggallah matanya
saja yg masih berkaca-kaca. Ada satu ruang hampa yg mendadak muncul
dalam hatinya. Sebuah kehampaan seperti sedang merindukan sesuatu yg
amat sangat. Namun Pierre sendiri tak tahu apa yg sedang dirindukannya
itu, dan mengapa pula timbul rasa sedemikian.
“Hai ..!” Tiba-tiba sebuah sapaan lembut terdengar di sampingnya.
Sapaan yg ketika ditolehnya berasal dari satu makhluk manis yg sudah
berdiri tak jauh darinya.
“Anda nonmuslim?” Tebak wanita berkerudung hijau itu melanjutkan
sapanya. Pierre tersipu malu ditebak sedemikian, namun ia jujur langsung
mengiyakan dengan anggukannya.
“Namaku Pierre!” Ia memperkenalkan diri dengan menjulurkan tangan
kanannya hendak bersalaman. Agak canggung juga suasananya ketika si
Cantik itu hanya menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada
sambil sedikit membungkuk. Tersadar, pierre segera menarik uluran
tangannya, sambil ikut-ikutan menangkupkan kedua telapak tangannya di
depan dada. Kedua insan itu pun jadi tertawa ringan demi sadar
kecanggungan yg sudah terjadi.
“Namaku Marrion.” Balas Si cantik itu memperkenalkan diri. “Baru pertama datang ke sini?”
Pierre kembali mengangguk. Dengan jujur kemudian diceritakannya
peristiwa yg telah terjadi sejak 3 hari yg lalu hingga sore hari ini.
Hingga sekarang ia terisak menangis di dalam masjid ini.
Marrion menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum dan berujar, “Subhanalloh!”
Pierre yg tak paham dengan apa yg diucapkan Marrion hanya mengernyitkan
dahinya, seolah minta penjelasan lebih lanjut dari ucapan Marrion itu. Tanggap akan kebingungan Pierre tersebut, Marrion kemudian menjelaskan tentang ungkapan kekagumannya itu.
“sebaiknya aku antarkan Anda berkeliling dulu, sebelum nanti aku
perkenalkan Anda dengan saudara-saudaraku.” Marrion menawarkan diri
menjadi pemandu berkeliling masjid itu. Awalnya Pierre menolak karena
pemuda yg sebelumnya tadi sudah menawarkan diri juga.
Marrion hanya tertawa kecil mendapat penolakan tsb, dan kemudian
menerangkan bahwa tak apa-apa krn pemuda tadi juga temannya. Namanya
Ahmad, berasal dari Albania, namun sudah tinggal cukup lama di Paris
ini, begitulah Marrion menerangkan tentang pemuda tadi. Kakinya mulai
melangkah perlahan, yg akhirnya diikuti pula oleh Pierre. Mulailah
Marrion menjadi guide dadakan, menjelaskan awal mula berdirinya masjid
ini sebagai hadiah dari raja Perancis waktu itu kepada para pejuang
Islam di Perang Dunia pertama. Ia juga menyambungkannya dengan kisah
penyelamatan Yahudi di Paris dari kejaran tentara Nazi Jerman di dalam
masjid itu pada masa perang Dunia kedua. Beberapa ruang seperti
perpustakaan, ruang kantor dan bagian yang lain pun ikut
diperkenalkannya. Pierre mengangguk-angguk menyimak cerita Marrion itu.
“Itu saudara-saudaraku sudah selesai sembahyang. Mari aku perkenalkan
dengan guru yg ada di sini, mungkin beliau bisa lebih menjelaskan apa
yg telah terjadi dengan Anda beberapa hari ini.” Ajak Marrion untuk
menemui beberapa orang saudaranya dan guru yg disebutkannya tadi.
Sang guru yg dimaksud ternyata adalah imam besar Masjid Paris ini.
Seorang lelaki tua tinggi kurus namun terlihat tetap gagah dalam balutan
jubah kuning dan kain surban merah putih menghiasi kepalanya.
Pembawaannya lemah lembut, dan dengan sabar menyimak keterangan yg
disampaikan Marrion sebagai awal pembuka perkenalan sang guru dengan
Pierre.
“Subhanalloh, walhamdulillah … Inilah hidayah!” Kata sang guru ketika
Marrion selesai menuturkan cerita Pierre tadi. Yang sontak disahut
dengan takbir dari beberapa saudara Marrion yg ikut menyimak perkenalan
tsb. “Allahu akbar, Allahu akbar!”
Sang guru kemudian mengajak Pierre untuk masuk dan duduk di serambi
masjid agar lebih santai dalam berbincang. Namun sebelum melangkah lebih
jauh, Marrion minta ijin karena dia sedang berhalangan shg tdk dapat
mengikuti masuk ke serambi masjid. Pierre sebenarnya ingin si cantik itu
tetap bersamanya, menemani dirinya saat berbincang lebih lanjut dengan
sang guru. Namun Marrion hanya melambaikan tangan, seakan memintanya
untuk tetap tenang saja mengikuti sang guru. Telunjuknya menuding ke
arah tempat mereka bertemu pertama kali tadi, seolah membuat janji untuk
bertemu di tempat itu lagi seusai urusannya dengan sang guru.
Dan demikianlah singkatnya selama hampir lebih dari satu setengah jam
sang guru menjelaskan tentang “hidayah” yg telah turun kepada Pierre
pada sore itu, sembari mulai memperkenalkan ajaran Islam kepadanya, dan
pada akhirnya mengembalikan semua tekad dan niat kepada Pierre. Apakah
dia akan menyambut hidayah itu ataukah disia-siakannya begitu saja.
Pierre sendiri demi mendengar penjelasan yg terang dan runut dari sang
guru justru semakin berbunga-bunga hatinya. Mungkin inilah jawaban dari
kekosongan hatinya tadi.
Dan di senja itu, ketika awan-awan di langit Paris makin memerah,
beberapa saat sebelum adzan maghrib berkumandang, Pierre menegaskan
ikrar dua kalimat syahadatnya dalam bimbingan sang Guru. Pierre telah
menjadi muslim dengan niat yg mantab. Sang guru bahkan kemudian
membekalinya dengan sebuah kalimat untuk terus meneguhkan niatnya
sebagai muslim.
“Man jadda wajada!” Ujar sang guru, sambil menerangkan artinya. Sebuah
bekal kalimat yg terus dipegangnya, terkhusus di saat hatinya ciut atau
gentar dgn kesulitannya menjadi muslimin.
“Apa yg kau pikirkan?” Sergah Sebastian demi melihat Pierre yg
tersenyum-senyum sendiri saat mereka mulai melangkah naik ke dalam bus
yg akan membawa mereka ke Makkah al Mukaromah.
“Kau sendiri apa yg kau pikirkan?” Pierre malah balik bertanya kepada
Sebastian. Ia berusaha menyembunyikan angan-angannya yang barusan
melintasi pikirannya sedari turun dari pesawat tadi.
“Hahahaha … Aku sedang memikirkan nama apa yg akan aku pakai nanti sepulang haji.” Jawab Sebastian.
“Zidane … Ya, Zidane. Nama itu yg akan kupakai!” Sebastian mantab
menjawab, yg disusuli dengan tepukan tangan David di pipinya, pertanda
menyetujui harapan Sebastian tersebut. “Kalau kamu?” Sebastian balik
bertanya kepada Pierre.
Pierre tidak segera menjawab. Pandangannya yang dihiasi senyumannya
seakan melayang jauh, membayangkan sesuatu yg diinginkannya kemudian.
Sebuah keinginan yg belum lama dipendamnya sebelum keberangkatan mereka
ini. Senyumannya yang makin menggemaskan Sebastian.
“Hei … Ini tidak adil!” Cetus sebastian mendesak jawaban darinya. David
hanya menepuk-nepuk pundak sebastian agar bersabar sejenak.
“Kalau aku setelah ini?” Pierre membuat jeda jawaban yg agak panjang, …
“Bolehkah aku menikahi adikmu, Marrion?” Jawab Pierre pada Sebastian.
David dan sebastian hanya ternganga mendengar jawaban itu, namun tak lama kemudian ketiga sahabat itu langsung berangkulan erat.
“Tentu saja, Saudaraku! Tentu saja!” Jawab sebastian mantab. Air matanya sampai menetes karena kebahagiaannya.
“Hei, hei … Awas kain ihram kalian bisa lepas itu nanti! Awas!”
Teriakan Abdullah mengingatkan ketiga sahabat itu yg masih saja
berangkulan dan tertawa-tawa penuh kebahagiaan.
Dan bus mereka pun mulai melintas perlahan membelah jalan raya Jeddah menuju Makkah.
Bagian 4
Pagi baru saja menjelang di beranda Hotel Le Meridien, tepatnya pukul
satu dini hari waktu Mekkah, ketika 10 bus jamaah haji Perancis mulai
merapat dan menimbulkan kegaduhan panjang di depan lobby hotel tersebut.
Empat belas pemuda berkulit hitam yang menjadi tenaga borongan hotel
itu bergegas menyambut di tepi jalan, ikut mengatur bus maupun
penumpangnya, sebelum melanjutkan untuk membongkar bagasi masing-masing
bus tersebut dan mengantarkannya ke depan pintu masing-masing kamar
nantinya. Hampir tiap hari di musim haji tahun ini, kegaduhan yang sama
selalu terjadi di tengah malam sampai menjelang fajar di hotel ini. Le
Meridien memang menjadi pilihan utama di luar ring pertama hotel-hotel
sekitar Masjidil Haram, khususnya jamaah dari Eropa Barat, ataupun
jamaah-jamaah dari Asia yang finansialnya lebih mapan. Biasanya memang
tamu hotel ini datang dari biro-biro travel perjalanan haji dan umroh
dengan kelas plus.
Beberapa pria yg mungkin menjadi ketua rombongan dari tiap-tiap bus
mulai turun dan nyaris berteriak memberi aba-aba kepada anggotanya untuk
bergegas berbaris sesuai rombongan masing-masing di trotoar di depan
hotel itu. Satu karom yang cukup menonjol karena suaranya yang paling
lantang adalah Abdullah. Rupanya mereka akan bergegas melanjutkan
perjalanan ritual umroh qudum, sebagai awal dari rangkaian manasik haji
mereka.
Sebagian jamaah itu mulai meliuk-liukkan badan sedikit bersenam,
meregangkan otot dan persendian tulang mereka, yg rasanya mungkin kaku
semua seperti habis dikurung selama berjam-jam akibat perjalanan panjang
dari Paris ke Jeddah hingga ke Mekkah. Sebagian kecil lainnya terlihat
kasak-kusuk di sekitar sang ketua rombongan, bertanya ini-itu yang
perlu disiapkan. Sang ketua dengan telaten dan sabar memberikan
penjelasan, sambil sekali-kali tangannya menunjuk-nunjuk arah untuk
lebih menegaskan penjelasannya kembali. Satu orang tiba-tiba mendekat
dan berdiri di sebelah sang karom, seorang pemuda afrika yang merupakan
petugas pemandu haji dari hotel itu, yang kemudian mengangkat sebuah
papan penunjuk nama rombongan masing-masing.
“Mulai dari sini, kita akan bersama naik bus merah di depan itu,
dipandu saudara kita ini.” Ujar sang ketua sambil menunjuk bus umum
warna merah bertuliskan “Saptco” dan menunjuk sang petugas hotel yg akan
memandu mereka.
“Tiap-tiap rombongan dalam satu bus. Bus yang ini akan tetap di sini
untuk penurunan bagasi kalian. Nanti setiba di terminal di depan sana,
kita lanjutkan berjalan kaki ke tempat wudlu. Awas, jangan sampai
terpisah dengan rekan satu rombongan.” Pesan lanjut sang ketua
rombongan.
Rombongan Abdullah menjadi rombongan ketiga yang bersiap menaiki bus
Saptco merah, yang akan membantu mengangkut mereka melintasi terowongan
dari sisi Kuday menuju sisi Bab Malik menembus bukit batu yang
memisahkan wilayah Kuday dengan wilayah Misfalah lainnya.
Satu per satu anggota rombongan naik dengan tertib tanpa berdesakan.
Mengantri dengan tertib seolah sudah menjadi adab yg sudah menjiwa
dalam diri mereka, seolah tumbuh secara refleks dari kesadaran saling
menolong dan saling bertoleransi di antara mereka, sehingga memudahkan
segala urusan yg berkaitan dengan kebutuhan orang banyak. Hmmm, …
jauuuuh sekali dengan adab dan polah sebagian bangsa Asia dan Eropa
Timur yg masih gemar selonang-selonong, bahkan tega main sikut menerobos
antrian seenaknya sendiri. Mungkin, dengan semakin maju tingkat
pendidikan suatu bangsa, kesadaran tertib dalam mengantri juga semakin
baik pula. Ataukah mungkin juga tidak tentu demikian, karena adab memang
perlu pembiasaan panjang ya?
Terowongan Kuday-Bab Malik sebenarnya adalah satu terowongan panjang di
utara distrik Misfalah, yang menghubungkan terminal bus Kuday, yg
menjadi terminal transit bus-bus dari beberapa distrik seperti
Bakhutmah, Misfalah, ataupun Syarif Mansyur, yang mana terminal itu
terletak persis di timur simpang empat sebelah hotel Le Meridien itu
dengan terminal Bab Malik yg berada di ujung utara terowongan itu dan
tepat di bawah hotel Tower Jam di sebelah selatan Masjidil Haram. Hotel
Le Meridien sendiri sebenarnya terletak tepat di ujung selatan
terowongan tersebut. Sehingga setiap jamaah yg menjadi tamu hotel Le
Meridien tak perlu naik dari terminal Kuday, melainkan bisa naik
kemudian dari halte kecil di depan hotel tsb. Tentu dengan risiko tidak
akan ikut terangkut jika bus sudah sesak penumpang sedari Kuday.
“Tak perlu khawatir jika bus dari Kuday penuh. Sopir-sopir bus ada yg
berangkat tanpa penumpang dari Kuday, khusus untuk melayani Le
Meridien.” Jelas pemuda afrika yg menjadi pemandu mereka kepada
Abdullah, saat Abdullah menanyakan bilamana siang nanti mereka hendak
kembali naik bus merah ini.
“Tapi … Karena tarif semua bus ini free, karena telah ditanggung semua
oleh kerajaan, maka sekembalinya dari Haram nanti kalian terpaksa harus
berebut dengan penumpang umum lainnya.” Sambung Diouf, si pemandu
tadi.
“Jika terminal Bab Malik yang di sana nantinya penuh sesak dengan
penumpang, biasanya terjadi seusai sholat isya, kalian bisa juga
langsung berjalan kaki ke sini menyusuri trotoar di tepi jalan
terowongan ini. Toh sebenarnya tak begitu jauh, dan jalannya di dalam
terowongan pun lurus saja menuju ke tempat ini.” Diouf memberikan
alternatif pilihan bila Abdullah dan kawan-kawannya menemui kesulitan
beroleh bus untuk pergi dan pulang dari Haram. “Asalkan jangan lupa
mengenakan masker kalian, karena debunya di dalam terowongan cukup
banyak.”
Abdullah hampir saja menyampaikan satu pertanyaan lagi ketika bus mulai
berhenti. Rupanya mereka sudah tiba di Bab Malik yang benar saja
memang cukup dekat dari hotel mereka. Ia menunda pertanyaannya untuk
ganti memberi aba-aba lagi kepada rombongannya. Mereka perlu bergegas ke
ruang wudlu dulu sebelum memulai ritual thawaf dan sai untuk umroh
qudum mereka. Dan itu perlu komandonya sebagai ketua agar rombongan
tidak tercerai berai. Untung ada Diouf yg membantu mengarahkan sehingga
memudahkannya dalam mengatur barisan rombongannya.
Sebastian, salah satu rombongan yang dipimpin Abdullah yang berangkat
haji bersama dua sahabatnya yg lain David dan Pierre, menoleh ke satu
jalan yang diapit pertokoan di bawah Tower Jam di sebelah selatan Haram
saat mereka hampir sampai di tempat wudlu. Itu merupakan sebuah jalan
utama dari distrik Misfalah untuk menuju ke masjil Al Haram. Rupanya di
jalan itu sudah ramai orang karena ada dua rombongan besar berihram
yang sama-sama sedang menuju ke Haram, sehingga langsung menyita
perhatian Sebastian. Menilik benderanya, mereka dari Cina dan
Indonesia. Dua negara yang memiliki jamaah haji terbanyak di setiap
tahunnya.
“Hebat ya! Jam segini masih terus ramai saja yang pergi ke masjid!”
Seru Sebastian kepada Pierre yang melangkah lebih dulu di depannya.
Pierre ikut menoleh ke arah jalan tersebut, kemudian
menggeleng-gelengkan kepala, dan lalu berkata, “Subhanalloh!”
Abdullah kembali mengomandoi rombongan mereka untuk bergegas membentuk
barisan lagi bila usai berwudlu. Lalu sambil menunggu mereka yang masih
berwudlu, ia pun membantu merapikan letak kain ihram beberapa rekan
yang nyaris lepas selama dalam perjalanan maupun saat berwudlu tadi.
Beberapa bahkan keliru menyelempangkannya. Diouf ganti mengambil alih
menyampaikan informasi tentang apa-apa yg akan mereka lakukan saat
thawaf dan sa’i nanti.
Satu orang jamaah dari Distrik 3 Paris, yaitu seorang wanita dengan
usia sekitar 60-an dan berbadan cukup gendut, lantas mengangkat
tangannya bermaksud menanyakan sesuatu kepada Diouf. Rupa-rupanya
kakinya kesakitan, sehingga tidak cukup kuat untuk terus berjalan. Diouf
pun mengangguk-angguk berusaha menenangkan wanita itu.
Seorang pria pendorong kursi roda yang standby agak jauh dari tempat
mereka berbaris segera dipanggil dengan lambaian tangannya. Pria dengan
rompi hijau, jubah putih, dan surban merah putih itu sigap mendorong
kursi rodanya mendekati Diouf. Setelah tawar-menawar harga, yang
disepakati dengan 150 riyal untuk thawaf hingga selesai sa’i, Diouf
kemudian menunjuk sebuah tiang lampu di depan gerbang no. 91 sebagai
tempat nantinya mereka berkumpul kembali dengan pria pendorong kursi
roda itu.
“Dia akan memakai jalurnya sendiri, di lantai ke-dua atau ke-tiga.
Sedangkan kita nanti akan mulai dari lantai utama di bawah, agar bisa
lebih dekat dengan Ka’bah.” Jelas Diouf kepada keluarga si wanita tua
tadi. Memang ada banyak pria penyedia jasa kursi roda yang selalu siap
di seputaran serambi Haram guna melayani jamaah yg akan membutuhkan
bantuan untuk pelaksanaan thawaf ataupun sekaligus sa’inya. Seragam
mereka pun sangat khas, seperti halnya seragam pria yg telah dipanggil
Diouf tadi. Diouf meyakinkan suami wanita itu bahwa istrinya tetap aman
dipandu pria pendorong kursi roda tadi.
Tak berselang lama, semua anggota rombongan telah bersiap dalam
barisan, dan mereka pun memulai ritual thawaf diawali dari gerbang King
Abdul Azis, gerbang nomor pertama dengan menara kembar yang mengapitnya
dan gerbang itu tepat berhadapan dengan Tower Jam di selatannya.
“Umumnya jika berhaji atau umroh, jamaah mengutamakan melalui pintu
nomor 10, yaitu gerbang Babus Salam. Namun kali ini kita lewat pintu
nomor 1 ini saja ya, agar tidak berjubel dengan jamaah di depan kita
ini.” Diouf menjelaskan sambil menunjuk satu barisan besar jamaah
berbendera Indonesia yg lewat di depan mereka yang saking banyaknya
seperti tak habis-habisnya barisan mereka itu, dan sambil kompak
bertalbiyah, seperti suatu choir paduan suara yang sangat indah.
Abdullah dan kawan-kawannya hanya menggeleng-gelengkan kepala pertanda
kekagumannya.
“Kalian akan bertemu mereka di mana saja di penjuru kota ini,” kata
Diouf menggambarkan tentang banyaknya jamaah haji asal Indonesia itu
,”jumlah mereka kira-kira 300.000 orang jika sudah berkumpul di sini
semua saat haji nanti.”
Tepat ketika mereka mulai mengemasi alas kaki masing-masing di depan
gerbang King Abdul Azis, satu rombongan besar berikutnya yang
berbendera Cina ikut melintas menuju ke pintu lainnya, mungkin menuju
babus salam atau entah pintu yg mana. Dan waktu itu rupanya sudah hampir
menunjuk jam setengah dua saat bayangan mereka semua lenyap ke dalam
gerbang besar itu.
Di sisi lain di kota Mekkah, Sayid dan Fatimah, sepasang suami istri yg
sudah sepuh sedang berkemas untuk berangkat ke Haram dari penginapan
mereka di ujung jalan Hijrah. Botol plastik kecil seukuran 350 ml
sedang diisi dengan air dari dispenser oleh tangan kecil Fatimah.
Sedangkan Sayid yang berdiri di dekatnya itu masih sibuk membenahi letak
surbannya. Ia tak ingin udara dingin dari AC di dalam masjid nanti
mengganggu kekhusyukan sholat malamnya.
“Kita nanti berjalan kaki atau naik bus sholawat saja?” Tanya Sayid memberi opsi kepada istrinya.
“Jam berapa to sekarang, bi?” Tanya Fatimah balik kepada Sayid, yang
kemudian menjulurkan lengan kiri menunjukkan jam tangan di
pergelangannya.
“Baru setengah dua to? jalan sajalah ya?” Fatimah menawar. Memang
waktunya masih sangat longgar menuju shubuh di jam 5 pagi nanti.
Sedangkan perjalanan dengan berjalan kaki hanya perlu waktu setengah jam
dari penginapan mereka.
“Aku sih manut saja, Mi. Cuman agendanya pagi ini apa? Mau thawaf dulu
sebelum shubuh, sebelum dhuha atau mau nanti sore saja?” Sayid belum
memutuskan. Tangannya menyambut satu botol minum yang disodorkan
Fatimah kepadanya, untuk dimasukkan ke dalam tas “rojokoyo”-nya.
“Aku nanti sore saja, bakdo ashar ya Bi.” Jawab Fatimah. “Pagi ini
sholatul lail saja, sekalian aku pengin sholat tasbih. Biar ndak
kesusu-susu.”
“Baiklah, aku sebenarnya pengin mencoba thawaf di lantai atap. Kata pak
Mursyid kok lantainya yang utara sudah selesai dicor hingga bersambung
dengan lantai yg segaris dengan rukun Yamani. Kemarin blok plastik
pembatasnya juga sudah disingkirkan. Ya besok sajalah dicobanya.” Kata
Sayid mengulang informasi dari pak Mursyid ketua regu mereka.
Fatimah hanya tersenyum mendengarnya. Ia paham betul akan sifat keingin
tahuan suaminya itu, yg selalu ingin mencoba-coba hal yg baru di saat
“eling” atau bersemangat, … namun kemudian bakal angin-anginan lagi
kalo tidak ada yg mengingatkan atau menyemangati. Padahal, yang
didengar Fatimah dari info pak Mursyid pula, satu putaran thawaf di
lantai atap itu sama dengan tiga sampai empat kali putaran thawaf di
lantai utama di bawah. Terbayang olehnya bagaimana siang nanti si suami
bakal ribut meminta dipijiti karena capek kakinya bilamana saja jadi
melakukan thawaf di lantai atap dini hari ini.
“Kok pakai sajadah yang itu, bi?” Tanya Fatimah saat melihat sajadah
tebal yang digantungkan si suami di tas rojokoyo-nya. “Apa ndak jadi
bawa sajadah yg dibeli pagi tadi?”
“Pakai ini saja kalau malam, biar gak kedinginan kena lantainya nanti.”
Sayid menerangkan mengapa ia tetap memakai sajadah Turki yg tebal itu,
sajadah yang dulu dihadiahi seorang kawan yg pulang haji. Kata
kawannya itu, biar ia segera ketularan berhaji. Sayid hanya terkekeh
bila mengingat itu, karena ia tahu di beberapa pasar di Surabaya pun
gampang sekali ia jumpai sajadah yg sama dengan sajadah ini. Apalagi di
pasar Turi dan di pasar Slompretan, tinggal pilih sesuai budget
masing-masing.
“Nanti siang saja aku bawanya.” Sambung Sayid sambil memencet tombol
lift untuk turun di tempat penginapan itu. Fatimah segera mengekor di
belakangnya saat pintu lift terbuka di lantai lobby. Tangan kecilnya
segera meraih lengan Sayid, untuk sedikit menahan langkah cepat suaminya
itu. Dua insan sepuh ini pun mulai membelah jalan Hijrah, dalam tiupan
angin yang masih berasa gerahnya, menyusuri sepanjang trotoar dan
jalan pertokoan Misfalah, menuju ke Haram, dengan diterangi lampu-lampu
jalan yang benderang.
Saat mentari mulai menampakkan semburat sinarnya di bukit-bukit batu di
sekeliling Haram, langkah Fatimah ketika keluar dari pintu annisa no.
89 sedikit terhenti karena terhalang sosok-sosok lelaki yang tinggi
besar yang masih berihram yang baru saja turun dari escalator di gerbang
91. Ia menahan dirinya sesaat, ketimbang kalah tenaga bertubrukan
dengan jamaah tadi. Namun rupanya mereka sama-sama berhenti di bawah
tiang lampu di depan gerbang 91. Di tempat yang sama yang dipakai
sebagai gathering point dengan Sayid, suaminya. Fatimah agak kesulitan
menebarkan pandangan saat mencari-cari bilamana sosok suaminya mungkin
telah muncul di dekat situ.
Sosok-sosok lelaki besar yang tak lain adalah Pierre, David dan
Sebastian itu masih saja menghalangi pandangan Fatimah, sehingga
kecemasan dan kejengkelan mulai merasuki hati Fatimah. Namun ia segera
menepisnya dengan cepat dalam kalimat istighfar.
“Astaghfirullohal adziim.” Fatimah terus berdzikir menenangkan hatinya. Ia berharap sang suami segera muncul di hadapannya.
Desis istighfar Fatimah rupanya terdengar juga di telinga Pierre. Ia
menoleh kepada perempuan tua di dekatnya itu yang masih kesulitan
melongokkan kepala karena terhalang tubuhnya dan rekan-rekannya yang
lain. Demi membantu nenek ini, Pierre mengingsutkan badannya agak ke
timur menjauhi si nenek sembari menarik pundak David dan Sebastian,
sehingga pandangan Fatimah bisa lebih bebas lagi. Bola matanya melirik
sajadah ungu yg cantik yang didekap sang nenek itu. Sebuah sajadah yg
pasti tidak mengecewakan jika ia hadiahkan pada Marrion. Namun belum
sempat ia bertanya di mana ia bisa mendapatkan sajadah yg sama seperti
itu, seorang kakek datang menghampiri nenek itu, menggamit tangan sang
nenek dan segera beranjak pergi. Mulut Pierre tak jadi bersuara untuk
bertanya. Pandangannya terpaku pada sosok kakek-nenek yang asyik
bergandengan menembus kerumunan kecil jamaah lainnya. Ada kegelian dan
juga rasa iri dalam hatinya yg tiba-tiba muncul.
“Ah, seandainya itu adalah aku dan Marrion.” Ujarnya dalam hati.
Bagian 5
Langkah kaki Pierre bersama Sebastian semakin cepat saja, bahkan
setengah berlari. Degupan jantungnya pun makin kencang saja. Bukan
terengah-engah karena setengah berlari itu yang membuat degupnya makin
kuat, namun lebih karena ketakutan mereka. Takut bilamana mereka
tertinggal menunaikan jamaan ashar, sedangkan tadi mereka telah lalai
dengan adzan yang sudah jelas mereka dengar. Sibuk dengan urusan belanja
seusai jamaah jumat tadi.
“Allah hanya memanggil kita 3 kali dalam hidup ini,” ustad Abou Baker
pernah mengingatkan hal yang penting tentang adzan itu. “Yang pertama
adalah panggilan adzan, yang menyeru kita untuk bersegera sholat. Yang
kedua adalah panggilan berhaji atau setidaknya berumroh bila mampu. Dan
terakhir adalah panggilan saat kematian kita nantinya.”
“Adzan itu adalah panggilan Allah yang pertama. Panggilan ini sangat
jelas terdengar di telinga kita, bahkan sangat kuat terdengar. Ketika
kita sholat, sesungguhnya kita menjawab panggilan Allah. Tetapi Allah
masih fleksibel, Dia tidak ‘cepat marah’ akan sikap kita. Kadang kita
terlambat, bahkan tidak sholat sama sekali karena malas. Allah tidak
marah seketika. Dia masih memberikan rahmat-Nya, masih memberikan
kebahagiaan bagi umat-Nya, baik umat-Nya itu menjawab panggilan
Adzan-Nya atau tidak. Allah hanya akan membalas umat-Nya ketika hari
Kiamat nanti” tegas ustadz Abou Baker kembali.
Tak terasa air mata Pierre menitik dan mulai membasahi pipinya, saat
kaki-kakinya mulai menapaki jalanan di bawah Menara Jam. Iqomah sudah
mulai dikumandangkan, mereka tak bisa mengejar tempat di dalam
lingkungan masjid Al Haram. Mau tidak mau, mereka harus bergabung dengan
jamaah lain yang mulai menggelar sajadah mereka di trotoar atau
selasar pertokoan di bawah Menara Jam itu. Tak memungkinkan menerobos
jamaah yang sudah mulai berhenti berjalan itu. Dzalim malah lebih dekat
dengan mereka jika tetap menerobosnya.
“Kamu masih punya wudhu?” tanya Sebastian kepadanya.
“Entahlah, … kamu sendiri bagaimana?” Pierre balik bertanya.
“Aku belum batal. Ini pakailah untuk berwudhu.” jawab Sebastian sembari
mengulurkan botol minum kepada Pierre. “Basuh secukupnya saja.” pesan
Sebastian menyambungkan. Pandangannya sambil menyapu ke arah yang lebih
layak untuk mereka sholat, saat Pierre memulai wudhunya di pinggir
trotoar di depan toko roti Broast. Kumandang iqomah sudah hampir
berakhir, namun mereka masih belum bersiap pula di dalam barisan sholat.
Seorang laki-laki tua dengan jenggot yang disemir merah, umumnya jamaah
haji dari Bangladesh memakai pewarna dari tumbuh-tumbuhan untuk
menyemir rambut, kumis dan jenggot mereka, tampak melambaikan tangan
mengajak mereka merapat ke shaf yang telah disusun laki-laki tua itu
bersama dua jamaah yang lain. Sebastian segera merapatkan diri, berniat
dan segera bertakbiratul ikrom. Pierre segera menyusul di sebelah
kanannya.
Tanpa alas sajadah sama sekali, Pierre merasakan sengatan panas ketika
paving trotoar itu bersentuhan dengan dahi pada setiap sujudnya. Ya,
walaupun sudah masuk waktu ashar pun, tempat berpijak mereka saat itu
masih cukup mendapat terik sinar matahari. Apalagi suhu udara Makkah
saat ini bisa mencapai 45 sampai 47 derajat Celcius. Maka tak ayal
kemudian, Pierre pun menangis terisak-isak dalam sholatnya. Di dalam
hatinya terus berdzikir beristighfar memohon ampun atas kesalahannya
melalaikan panggilan sholat ashar tadi. Ia merasa Allah sedang
menghukumnya saat itu juga. Air wudhu sudah tak berbekas sama sekali di
kulitnya saking panasnya pavement di sore itu.
“Ini masih ashar saja sepanas ini, bagaimana kalo ini waktu dhuhur?
Terima kasih ya Allah, aku ikhlas Engkau hukum seperti ini. Aku lalai ya
Allah, ampunilah aku. Sayangilah aku ya Allah!” jerit dalam hatinya
berulang-ulang seperti gemuruh ombak yang bergulung-gulung tiada usai
dan memecah di tepi pantai saja. Isak tangisnya masih susul menyusul,
bahkan hingga jamaah fardhu selesai berganti dengan ajakan muadzin
berjamaah berikutnya untuk shalat jenazah. Di Al Haram, hampir setiap
usai jamaah fardlu selalu disusul dengan sholat jenazah.
“Lain kali atur waktu dan rencana lebih baik lagi. Malu aku kalau
tertinggal seperti ini.” gerutu Pierre pada dirinya sendiri setelah
jamaah ramai mulai berdiri dan bubar. Sesekali tangannya berusaha
menyeka mata dan pipinya. Sebastian yang mendengarnya hanya tersenyum.
Ia pun juga mahfum akan gerutuan sahabatnya itu.
Sebenarnya rancangan mereka tadi sudah cukup baik. Jam satu seusai
jamaah jumat, mereka segera bergegas ke arah pertokoan di distrik
Misfalah selatan Al Haram. Harapannya mereka punya cukup waktu sekitar
dua setengah jam sebelum masuk waktu ashar, untuk berbelanja atau
setidaknya survey barang di Misfalah sana. Itu sudah cukup dengan
bolak-baliknya juga, semestinya. Namun naasnya, mereka tak menyadari
bahwa bubaran jamaah jum’ah dari Haram menuju Misfalah, sebagaimana juga
ke arah Jarwal dan Aziziah, merupakan perjuangan menembus rapatnya
manusia yang seolah berbaris dalam gerakan perlahan. Sehingga jarak
pertokoan yang tak lebih jauh dari setengah mil itu pun baru bisa mereka
jangkau dalam waktu setengah jam pula.
Ditambah lagi akibat tersesat arah karena belum pernah melancong sama
sekali ke daerah itu. Mereka sempat berbelok ke kanan ke arah
Bakhutmah, karena jalannya yang tampak lebih besar dan lebih banyak pula
jamaah yang berbelok ke arah itu.
Meskipun semalaman mereka sudah banyak bertanya kepada Diouf, petugas
hotel Le Meridien tempat mereka menginap dan yang dulu bertugas
mendampingi umroh awal mereka, namun karena tak dilanjutkan dengan
melihat ke lokasi langsung, akhirnya mereka tersesat juga. Sebenarnya
pula, hotel Le Meridien sangat dekat dengan blok pertokoan ini, karena
Le Meridien di sebelah timur bukit Misfalah, dan pertokoan di sebelah
baratnya. Hanya saja itu harus ditempuhi dari terowongan yg juga rutin
dilalui bus Saptco pada arah pulangnya dari Menara Jam.
Apesnya bagi mereka berdua, bahasa Inggris keduanya tak begitu fasih,
didukung aksen perancis mereka yang sengau, membuat percakapan mereka
dengan orang-orang yang mereka jumpai cukup menyulitkan untuk saling
paham. Bangsa Arab, India, Asia Timur maupun rumpun Melayu yang banyak
mereka temui di distrik pertokoan itu semuanya kesulitan bercakap-cakap
dengan mereka.
Nasib baiknya, setelah sempat berputar-putar tak tentu arah di daerah
pertokoan itu, hingga sempat kebablasan di bawah fly over tempat
pembagian halalan dari Raja Arab, akhirnya mereka berjumpa dengan
seorang pemuda asal Indonesia yang bisa berbahasa Perancis pula di
seputaran kios buah. Pemuda itu bahkan rela menemani mereka mencari-cari
toko dan barang yang sedang mereka tuju.
Sebenarnya, Pierre ingin membeli sajadah berwarna ungu yang tampak
cantik saat dilihatnya beberapa hari sebelumnya. Sajadah Turki yang
dipegang oleh Fatimah, seorang nenek dari Indonesia pula. Ia sempat
mencari di toko-toko di dalam Menara Jam, namun tak ditemuinya sajadah
yg sama dengan milik nenek dari Indonesia itu. Sekarang kebetulan ada
seorang Indonesia yang menemaninya, ia pikir pemuda Indonesia itupun
tahu pasti letak toko yang menjual sajadah yang sama persis dengan milik
nenek tersebut. Sayangnya, walaupun pemuda yang menemani mereka itu
pemuda Indonesia, dan pertokoan Misfalah juga merupakan pusat
perdagangan karpet, sajadah, kain dan pakaian yang sangat lengkap di
Mekkah, akan tetapi bahkan ketika adzan ashar mulai berkumandang pun
mereka belum pula menjumpai sajadah yang diidam-idamkan itu. Banyak
pilihan sajadah, namun belum sama dengan yg diinginkan Pierre.
Usai bangkit dari trotoar tempat sholat tadi, mereka mulai menepi dan
meneruskan berjalan ke arah serambi Al Haram. Proritas mereka saat ini
untuk merampungkan jamaah maghrib dan isya di dalam masjid dulu,
rencananya di lantai atas bergabung dengan rombongan mereka yang lain
yang dipimpin Abdullah. Mereka sudah saling berjanji untuk bertemu di
depan gerbang no. 91, di bawah tiang lampu terdekat. Urusan belanja
belakangan saja. Nyali mereka betul-betul ciut jika sampai tak bisa
berjamaah dengan baik seperti tadi, apalagi bila sampai terlewatkan
jamaahnya. Langkah mereka sempat terhambat kerumunan orang yang mulai
memesan makanan di toko roti yang mulai buka kembali. Semua toko memang
menutup counternya saat jamaah fardlu, bahkan semua staffnya pun ikut
bergabung berjamaah di trotoar atau selasar di depan tokonya
masing-masing. Begitu jamaah usai, aktivitas dagang pun dimulai kembali.
Seperti halnya toko roti itu tadi.
Jelang pukul lima sore, di dalam masjid Al Haram, Sayid mulai
terkantuk-kantuk saat mendarus Al Quran-nya. Ia terpaksa harus
mengulangi bacaannya dari ujung atas halaman bilamana terlewatkan ayat
mana dia terakhir kali membaca sebelum akhirnya terkantuk-kantuk lagi.
Selepas ashar memang waktu yang paling berat baginya. Di waktu yang
lain, ia bisa bebas bergerak sehingga tidak sampai mengantuk dengan
menunaikan sholat-sholat sunnah, selain pilihan mendarus Al Quran. Namun
jika lepas ashar, tak ada pilihan lain selain mendarus Al Quran. Ada
pula pilihan untuk tidur-tiduran saja di sini, atau malah sekalian
thawaf di bawah sana. Ia tak sampai hati untuk merebahkan diri
beristirahat sejenak seperti beberapa jamaah yang lain di dekat situ.
Khawatir jika betul-betul tertidur, dan harus mengulang wudhu di saat
yang sudah dekat dengan adzan, karena ia tak sanggup untuk bolak-balik
dari tempat wudhu di serambi masjid di bawah sana dan kembali ke lantai
tiga ini. Oleh karenanya, wudhunya betul-betul dijaga agar tak sampai
batal bila sudah tinggal setengah jam dari waktu adzan. Untuk ke kamar
kecil di bawah tanah serambi sana, biasanya hanya dilakukannya bila
sudah persis selesai jamaah fardhu. Waktunya akan sangat longgar. Bahkan
cukup pula waktu untuk memesan segelas teh susu dan sekotak kentang
goreng di toko roti sana.
Beberapa rekan memang ada pula yang berwudhu di tempat kran air zamzam.
Namun baginya untuk menyia-nyiakan zamzam seperti itu bila tidak
terpaksa dan mendesak betul merupakan satu hal yang berat. Malu sekali
rasanya kepada Allah bila ia harus berbuat berlebihan seperti itu. Demi
mencegah kantuknya, sebotol sprayer yg telah diisi air dari kamar
penginapan disemprotkannya guna membasahi dan membasuh wajahnya.
Percikan air itu cukup menyejukkan kulitnya di saat udara Al Haram mulai
kering dan panas seperti sore ini. Hatinya mulai menimang-nimang,
apakah dia sebaiknya turun ke lokasi thawaf di bawah sana atau dia akan
tetap duduk di sini saja sambil menahan kantuknya. Belum selesai ia
menimang-nimang, tiba-tiba bahunya disergap oleh tangan yang cukup kuat
milik pak Mursyid, ketua regunya.
“Mbah Sayid di sini rupanya.” pak Mursyid atau rekan-rekan yang lain
lebih akrab memanggilnya pak Karu membuka percakapan. “Dengan siapa di
sini Mbah?”
“Enggih Mas, cuma sendirian. Tadi dengan pak Tono dan pak Mochtar waktu
jumatan. Trus, mereka pamitan makan siang kok belum balik lagi ke
sini. Mungkin pindah di tempat lain. Kebetulan ada Njenengan di sini
sekarang, saya nggak jadi ngantuk. Hehehe” jawab Sayid menimpali
pertanyaan pak Karu.
Pak Karu cuman ikut terkekeh mendengarnya. “Lha mbok dipakai tadarusan, ketimbang ngantuk, mbah!”
“Sampun, Mas. Dapat lima klebet, mata saya sudah minta merem terus.
Klira-kliru wae ini tadi, mesti ngulangi dari atas lagi di halaman
terakhirnya. Saya nyerah wis, ga kuat.” terang Sayid.
Tak berselang lama obrolan mereka mulai berganti tema. Dari
membicarakan sisi barat bangunan di Haram yang terus dikebut
penyelesaiannya, berganti kabar bu Tutik salah satu jamaah rombongan
mereka yang pagi tadi harus dilarikan ke rumah sakit, terus persiapan ke
Armina dalam waktu dekat, hingga tentang cara menembus rapatnya
barisan thawaf di seputaran Hajar Aswad, Multazam dan Hijir Ismail.
“Njenengan sudah bisa sampai di sana semuanya, mbah?” tanya pak Mursyid yang dijawab dengan gelengan pelan Sayid.
“Belum, Mas. Dua kali saya coba mepet ke sana, kalah kuat dengan
jamaah-jamaah lain. Saya kalau harus rebutan begitu nggak bisa, Mas.
Saya takut dzolim.” jawab Sayid lirih. Pandangan matanya menatap lekat
ke arah Multazam Ka’bah, yang berada di antara hajar aswad dan pintu
Ka’bah. Sinar matanya masih memancar seperti menegaskan api harapannya
untuk dapat menggapai Hajar Aswad dan Multazam, sekaligus sholat sunnah
di Hijir Ismail.
“Habis maghrib nanti turun ke sana bareng saya nopo pripun, mbah? Kita
coba lagi, siapa tau Gusti Allah paring gampil semuanya” pak Mursyid
mengajak thawaf selepas jamaah maghrib. Sayid menoleh dan menatap erat
ke wajah Mursyid seolah-olah berharap tidak salah dengar.
“Bakdo maghrib itu pas padat-padatnya lho Mas.” ada keraguan terbersit dalam jawabannya.
“Sepertinya begitu, mbah. Asalkan niat kita kuat, insya Allah diparingi
gampil.” Mursyid menyemangati kembali. Tak berselang lama, adzan
maghrib berkumandang menghentikan percakapan mereka. Keduanya pun mulai
bersiap merentangkan sajadah mereka kembali.
Di saat bersamaan dengan Sayid dan Mursyid menggelar sajadahnya,
serombongan orang yang tinggi besar menyeruak menembus ke shaf-shaf
terdepan. Sayid beringsut merapatkan barisannya dengan Mursyid, untuk
memberi ruang yang lebih lapang kepada jamaah lain yang terdesak oleh
rombongan yang baru datang tadi.
Di ujung belakang rombongan tadi tampak tergopoh-gopoh Pierre bersama
beberapa rekannya yang lain, tampaknya ia cukup terhambat untuk
mencapai shaf di lantai 3 ini bersama rekan-rekan satu rombongan yang
telah bertemu di depan gerbang masjid ini. Pierre ikut menyusul
menerobos barisan sholat yang tampak agak longgar setelah didesak
rombongan di depannya. Kebetulan sekali lokasi barisan yang mereka tuju
di depannya sudah penuh, sehingga sebagian yang lain terpaksa mundur
kembali. Demikian pula dengan Pierre dan kawan-kawannya, terpaksa
membuat shaf yang benar-benar baru di antara shaf depan yg telah penuh
dan shaf Sayid di belakangnya yang juga telah penuh, karena tidak
kebagian barisan. Bahkan kakinya saat ini berpijak di bagian atas
sajadah milik Sayid. Ia gugup menemui dirinya berada di tempat yang
“salah” ini. Konsentrasinya jadi kacau, bahkan keringatnya mulai menitik
di dalam udara yang kering di dalam masjid Al Haram ini.
Sayid demi menemui tempat sholatnya menyempit tinggal kurang dari 3/4
panjang sajadahnya saja, hanya melafadzkan istighfar secara beruntun,
sambil menegaskan keyakinan dalam hatinya seperti yang telah dialami
sebelumnya.
“Tidak ada tempat sempit di dalam masjid Allah ini. Semuanya tamu
Allah, akan dijamu Allah dengan sebaik-baiknya pula.” Demikian ia
menegaskan dalam tekadnya. Memang sebelumnya, beberapa kali ketika
berada di shaf depan, ia sempat mengalami harus terdesak oleh beberapa
jamaah yg memaksa mendapatkan tempat sholat. Namun ia dengan segala
keyakinannya akan kebesaran Allah yang menjadikan dirinya tamu Allah,
masih bisa melaksanakan sholat tanpa merasa kesempitannya sama sekali.
Bahkan saat ini, ketika nampak olehnya gerak-gerik kegugupan jamaah di
depannya, yang muncul justru rasa kasihan di dalam batinnya kepada
jamaah itu. Sholat maghrib telah dimulai, hati dan pikiran Sayid mulai
ia pusatkan sepenuh-penuhnya utk menghadapkan wajahnya hanya kepada
Allah. Dia seolah telah mendapati dirinya di antara jutaan jamaah yg
bersama-sama rukuk dan sujud, membentuk suatu barisan yg begitu indah
dan rapi dalam padang hijau yang sedemikian luasnya.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar” kalimat itu terus mengalir
dalam benaknya hingga usai bersalam. Allah Maha Besar, dan dia sangat
kecil dalam pandangan itu. Ruang yang semula sempit di sekitarnya tadi
betul-betul menjadi lebar selebar-lebarnya. Sekali lagi, Sayid
mengalaminya di dalam Al Haram ini, dalam lingkup yang semestinya dia
kesulitan bergerak, apalagi untuk bersujud, ternyata badan dan kepalanya
begitu bebas dalam lingkup yang sesungguhnya hanya lebih sedikit
panjang dari separuh sajadahnya itu. Air matanya terus berderai demi
menyadari kebesaran kuasa Allah ini.
Usai bersalam, Sayid bergegas menyusulinya dengan sholat rawatib
sebelum sholat jenazah dimulai. Pierre diam tak bergerak dalam duduknya,
karena ia belum bisa menyibak separuh sajadah yang didudukinya.
Pemilik sajadah di belakangnya cepat sekali dalam menyambungkan sholat
demi sholat.
“Hei, sajadah ini sajadah yang kucari-cari tadi!” Pekik dalam hatinya
girang demi mengetahui sajadah ungu yang didudukinya ini sama persis
dengan sajadah yang diburunya tadi.
“Aku akan segera minta maaf, sekaligus cari tahu di mana kakek ini
mendapatkannya.” Rencana itu begitu saja mengalir dalam benak Pierre,
diikuti dengan bayangan wajah penuh senyuman Marrion yg bahagia menerima
hadiahnya ini, sebelum kemudian bayangan itu terbuyarkan oleh tangan
Sebastian yg meraih pundaknya, mengajak untuk segera bangkit berdiri
menyisih dari sajadah yang dipijaknya.
Saat Pierre menoleh ke belakang kemudian, didapatinya kakek di
belakangnya telah selesai melipat sajadah ungunya dengan rapi. Tak lama
kemudian pandangan kedua insan ini saling beradu, dan disusul tangan
kiri sang kakek yang meraih tangan kanan Pierre. Sayid menyodorkan
sajadah ungu itu kepada Pierre sambil berkata, “Ini sajadahmu, Nak!”
Pierre hanya terbengong saja ketika tangan kirinya pun didekapkan ke
sajadah itu oleh tangan kanan Sayid. Ia tak bisa berkata-kata ketika
telunjuk Sayid menuding-nuding sajadah itu dan dada Pierre, seolah
menegaskan bahwa sajadah itu benar-benar diberikan kepadanya. Ia masih
terpaku terharu mendapati kebaikan hati sang kakek tersebut, yang mana
tak marah sedikit pun akibat sajadahnya terinjak oleh Pierre, melainkan
malah dengan penuh senyuman dan rasa senang hati menghadiahkan sajadah
ungu yang diidam-idamkannya itu.
Udara di lantai satu seputar Ka’bah terasa sangat sejuk bagi Sayid yg
sedang menuruni anak-anak tangga dari lantai dua bersama Mursyid untuk
mulai melaksanakan thawaf. Kerumunan jamaah yang sedang berthawaf itu
seolah tersibak membentangkan jalan memberi ruang bagi keduanya. Dalam
dua putaran thawaf saja, Sayid mendapati dirinya telah berada di depan
hajar Aswad, dan sejenak berikutnya telah berada di bawah Multazam
tanpa bersusah payah ataupun saling berdesakan dengan jamaah lain.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!” Sayid mulai melafadzkan doa
dan puji syukurnya kepada Sang Khalik di bawah Multazam itu. Kakinya
terus merambat ringan di antara ribuan jamaah yang ada di sekitarnya
hingga Mursyid menepuk pundaknya untuk beralih berganti dengan jamaah
lain di dalam lingkup Hijir Ismail itu.
Di tempat lain di lantai tiga Al Haram tadi, Pierre menjalankan
sholat-sholat sunnah dengan penuh kesyukurannya di atas sajadah
“baru”-nya itu. Ia merasakan Allah sebegitu dekat dengan dirinya, seolah
memeluk dirinya dengan penuh kasih sayang dan kehangatan. Rakaat demi
rakaat terus dia sambungkan. Entah sholat apa yang dilakukannya, yang
terutama tersembul bulat dalam hatinya adalah niat syukurnya atas segala
karunia Allah kepadanya selama ini. Pierre, sang mualaf, menemukan
dirinya berada di sebuah jalan yang sangat terang benderang namun tiada
menyilaukan.