Namun memasuki tahun 2009 ke atas, kondisi jalan makin hancur saja. Usaha untuk membenahi dengan pola tambal sulam malah bikin kemudi serasa kebanting-banting. Kasihan deh colt T120 saya waktu itu, suara suspensinya sampe berderit-derit.
Nampang dulu sebelum pesen menu pilihan |
Akhirnya, untuk melepas penat di lintas Ngawi - Padangan itu, saya jadi sering kali mampir ke warung LESEHAN PAK BAKAR ini. Tepatnya lokasi warung ini di utara perempatan pasar Tinggang, kecamatan Ngraho, Kabupaten Bojonegoro.
Menu yang disediakan sebenarnya beraneka ragam. Ada ikan kali, belut, ayam kampung, lele. Namun yang kami lirik tentu saja menu andalannya, SATE KAMBING.
Khusus untuk bumbu satenya di warung pak Bakar ini memakai sambel kecap, dengan lalap sayuran selada, tomat dan bawang merah. Bumbu sate kambing ala jawa tengahan. Jauh beda dengan bumbu ala kediri yg memakai bumbu kacang ala sate ayam.
Harga satu porsi nasi plus sate kambing 10 tusuk kala itu Rp 10.000,- ... hmmm murah ya? Walaupun murah, soal rasa sate ini nggak murahan lho. Menu andalannya yang lain tentu saja gandengannya si sate ... si GULE. Bahkan gulenya ini spesial banget (walau nggak pakai telor), karena diwadahi dalam kwali. Rasanya yakin mantaaaaabs ... katanya pak Bakar lho, krn saya ogah2an dengan menu gule ini selama ada menu yang satu ini di daftar menunya ... si THENGKLENG. Nyuuuuumy deh
Kalau istri saya yg lama tinggal di solo, jadi lebih suka dengan menu THENGKLENG ini. Sebenarnya ini seperti gule juga namun berbumbu pedas, dan yg disajikan berupa balungan (iga, rusuk, dan kaki). Memang ini makanan langka bagi kami yg tinggal di jawa timuran. rasanya pun mak nyuuuuuus, gak kalah sama thengkleng-nya mbok Galak. Asli bikin kita keasyikan main brakot-brakotan dengan tulang-tulang yg ada. hehehehehe ... acara brakot-brakotan inilah yg bikin saya nggak nglirik gule kwalinya
buat yang anti kambing (karena mungkin saking sayangnya dengan shaun the sheep) ... pak bakar juga menyediakan beberapa menu ikan air tawar (wader, belut, lele, gurameh dan mujahir/nila) maupun ayam kampung (bakar/goreng). Sekalinya saya memilih menu lele penyet, ampyuuuuun deh ... nyaris saja saya gak bisa menghabiskan, karena lelenya gedhe dan dua pula .... tapiiiii, karena digoreng kering, enak plus sambalnya mantab, walaupun dengan susah payah tetap bisa saya habiskan pula. ciyeeeeeeee, susah payah kaleee
Yang bikin menunya makin mantab ini karena nasi, air minum maupun makanannya nyaris semuanya dimasak memakai kayu bakar dari pohon jati. Hmmmm, ... taste-nya jadi khas dan bikin mak nyuuuuuz bingiiiitz
Di warung ini juga disediakan kamar mandi dan mushola yang nyaman ... ndak usah kuatir akan sarana air bersihnya walau tampaknya berada di tengah hutan jati berkapur yg kering kerontang. Airnya mengalir cuuuuuuuuuur
Lepas 2011, saya tak lagi mengakses jalur itu karena pindah tugas ke Sidoarjo. Walaupun sama-sama via Bojonegoro, namun jalur yg saya pakai ganti Babat - Bojonegoro - Padangan. Sekalinya saya lewat Ngawi lagi, pas jalan Ngraho lagi dibenahi untuk sistem cor. Paraaaah dan macet betul waktu itu, karena Ngawi-Padangan musti kami lalui dalam waktu lebih dari 2 jam. Saya jadi kangen banget dengan pak bakar. Apalagi sama kumisnya beliau, uhuuuuuy.
Untunglah tahun 2014, saya musti pindah tugas lagi ke Nganjuk. Waktu itu sebelum jembatan Comal di Pemalang-Pekalongan rusak, truk-truk besar belum begitu meminati jalur Surabaya-Solo, sehingga saya masih bebas mengakses jalur Ngawi-Padangan via Ngraho ini lagi. Alhamdulillah bisa ketemu pak Bakar lagi. Dan jalan raya Ngraho pun sekarang sudah wus wus wus ... lebar dan dicor halus. Mau dilibas dengan kecepatan 100 km/jam pun hayuk saja.
Monggo bagi Kawan-kawan yang pas melintasi jalur Ngawi - Padangan, silakan mampir di warung PAK BAKAR ini. Insya Allah tidak akan kapok, malah tambah kangen selalu dengan kumis beliau ini. Hahahaha