Selasa, 11 Agustus 2015

Anakku ... Amanahku sebagai Ayahnya

Mentari sore nan jingga menyembul jelas di jendela barat kamar kami saat kakiku melangkah memasuki kamar itu. Sebuah kamar yang lebih pantas kusebut kamar kost karena hanya aku yang akan memakainya di saat hari-hari kerja umumnya. Alifia dan istriku tinggal di rumah kontrakan kami di Kertosono, karena tempat kerjaku yang mulai sering berpindah-pindah.

Sudah lewat setengah lima saat aku pulang ke rumah ini, kala mentari pun semakin mendekati ufuk peristirahatannya. Alifia kecil masih asyik di depan laptop, menikmati film seri Detective Conan dengan sangat khusyuknya. Mamanya sudah dua kali meneriakinya agar segera mengambil wudhu.


"Lekas ambil wudhu, jamaah sama Papa!" sekali lagi mamanya meneriaki dengan suara yang makin tinggi dari dapur belakang. Tapi Alifia masih belum bergeming juga. Aku pun ikutan mengingatkannya dengan suara yang tidak kalah kerasnya. Alifia hanya menyahut, "Yaaaaa." Namun badannya masih belum beranjak juga dari depan laptop.

Saat aku selesai berganti baju dan bersiap mengambil wudhu, istriku sudah berdiri di belakangku dengan wajah yang gemas.

"Itu Pa, Alifia sejak tadi diajak sholat tidak bergegas juga ... Makin lama makin tak acuh kalau diperintah." keluhnya, "Mosok saben hari kok minta dimarahi dulu seperti ini?"

Aku hanya tersenyum untuk menenangkan hati istriku.Sebuah senyuman yang kurasakan sangat bodoh.Alifia beranjak mengambil wudhu dengan mulut cemberut. Sebuah perintah Mama yang masih memberatkan hatinya membuat langkah kakinya juga sedemikiannya berat..
Sebenarnya aku malu dengan kejadian ini, malu kepada istriku, malu kepada diriku sendiri, karena aku tahu semua ini salahku. Kebodohanku. Kelalaianku. Tanggung jawabku sebagai seorang ayah yang mengharapkan memiliki momongan yang sejatinya kemudian menjadi amanahku dengan segala konsekuensinya.

Ketika Alifia menjadi keras hati ataupun keras kepala seperti sekarang ini, di situlah sebenarnya kekuranganku sebagai kepala keluarga dalam mendidik dan membesarkannya. Sebuah tanggung jawab yang selama ini justru aku bebankan kepada istriku dengan alasan kesibukanku.

Selepas sembahyang, aku sempatkan membaca sebuah pesan di WA ... yang ternyata dari istriku. Sebuah artikel tentang amalan untuk membuat agar anak kami menjadi lembut hati dan rajin beribadah. Sebait doa nabi Ibrahim a.s agar anak cucu keturunannya menjadi anak-anak yang sholeh.

"Robbij alni muqiimash sholaati wamin dzurriyatii, robbanaa taqobbal du'aa"


Astaghfirullahal adziiim ... Sedemikian lalainya aku kepada-Mu ya Allah.

Pesan dari istriku seolah genderang yang berdengung-dengung di telingaku. Namun saat itu, dengan segala kebodohanku, aku hanya repply pesan itu saja ... tanpa action apapun selain mengingat-ingat atau lebih tepatnya menghafalkan doa itu. Memang bakdal sholat maghrib kami bersama memanjatkan doa itu, namun dalam relung hatiku masih ada yang kurang saja ... ada sesuatu yang masih tertinggal dari sekedar memanjatkan doa. Sekarang aku tak hanya malu kepada anak dan istriku, atau malu kepada diriku sendiri ... kini aku bahkan lebih malu lagi kepada-Mu ya Allah.

Mungkin hanya akulah saat ini yang menjadi seorang ayah yang bodoh seperti ini.Bahkan sedemikian bodohnya hingga sekarang justru menyempatkan menulis hal ini.

Sehari kemudian, setelah Alifia dan mamanya kembali ke rumah kami di Kertosono, sore itu aku pun tinggal sendiri seperti biasanya. Dadaku tiba-tiba terasa sesak demi mengingat kejadian kemarin. Apa yang harus aku lakukan untuk memperbaiki ini semua?

Waktu kami yang memang tak terlalu banyak tinggal bersama sama, jarak yang juga terentang memisahkan kami, dan pula ketidaktahuanku dengan apa yang harus kulakukan ... hanya berakhir membuatku menatap lekat pada jendela kamar yang masih kubiarkan terbuka. Sosok rembulan di ufuk barat tidak memberikan jawaban apa pun dengan persoalanku saat ini.

Tiba-tiba ... saat angin berembus menyapu wajahku, aku kembali teringat kepada Bapak. Sosok yang juga jarang berlaku lembut kepada kami anak-anaknya saat kami masih di bangku sekolah. Sosok yang selalu menuntut agar kami bisa ini dan itu dan berbagai macam hal, namun justru hanya jadi urusan Ibu yang mengajar dan membimbing saat-saat belajar kami. Sosok yang juga teramat pelitnya soal uang di saat anak-anaknya ingin menikmati hidup seperti layaknya kawan-kawan kami. Padahal kepada saudara-saudara kami, Bapak adalah sosok yang royal membagikan uang saku dan sebagainya.

Namun demi mengingat menjadi seperti apa saat ini aku dan saudara-saudaraku ... di situlah aku seolah menemukan jawabanku. Sebuah artikel tulisan KH. Yusuf Mansur pun seakan menegaskan akan jawaban itu.


Bapak ... dalam sikap kerasnya kepada kami, ternyata juga menempa diri beliau dengan puasa-puasa sunahnya yang sambung menyambung, hingga makin melemahkan fisiknya. Simbah kami menyebut itu sebagai laku tirakat.
Bapak ... yang selalu menuntut kami menjadi ini itu dan macam hal lainnya itu, beliau sendiri pun seakan tak henti untuk menuntun kelancaran hidup kami dalam bait bait doanya seusai sholat dan seusai thilawahnya.
Bapak ... yang teramat pelit dengan masalah keuangan kami, ternyata memberi perisai kepada keluarganya dalam sedekah sedekah beliau. Meskipun hanya berupa sebungkus bunga turi atau seikat pare untuk tetangga-tetangga kami.

Allumaghfirli waliwalidayya warhamhuma kamaa robbayani saghiro ...

Terima kasih ya Allah ... Engkau telah memberi bagi keluarga kami akan sosok kepala keluarga yang harus kami tauladani. Tentu sisi yang baik baik dari beliau yang telah Engkau angkat contohkan kepada kami.

Insya Allah ... sebagaimana KH Yusuf Mansyur bertutur, kita tak mungkin menjaga mendampingi anak kita setiap saat ... bahkan ketika dititipkan ke sebuah pondok pesantren yang penjagaannya 24 jam sekalipun, masih juga ada satu dua hal yang terlalaikan bagi anak keturunan kita.

Memberikan tempat pendidikan yang terbaik bagi anak kita memang wajib dilakukan.
Memenuhi kebutuhan belajarnya maupun kebutuhan nafkah jasmani rohaninya memang juga wajib.
Mencurahkan kasih sayang, memberi contoh sikap perilaku benar wajib pula.
Namun benteng 24 jam berupa perlindungan dan bimbingan Allah untuk anak keturunan kita, juga jangan sampai terlupa. Dan itu bukan amalan yang anak kita melakukannya, melainkan kita sendiri yang harus menjalaninya.

Di saat keras hati dan keras kepalanya muncul. Di kala semangat belajarnya turun. Di waktu lalai dan malas menghampirinya. Hanyalah kepada Allah kita menyembah dan memohon pertolongan.

Sholat kita. Puasa kita. Sholawat kita. Tilawah kita. Sedekah kita. Doa-doa kita ... harus selalu tertuju untuk memohon keridloan-Nya dalam membimbing keluarga kita, wabil khusus anak istri kita, agar senantiasa menjadi insan-insan berakhlak mulia.

Terima kasih Alifia. Terima kasih Mama.
Terima kasih Bapak dan Ibu.
Terima kasih Ya Allah.

Jangan sia-siakan kehidupan kami tanpa ridlo dan perlindungan-Mu.
Jangan jadikan amanahku ini sebagai amanah yg tersia-siakan
Jadikanlah kami sebagai umat-Mu yang senantiasa taqwa kepada-Mu.
Kumpulkanlah keluarga kami kelak dalam taman surga-Mu.


Mojokerto, 10 Agustus 2015