Kamis, 01 Oktober 2015

Hujan Awal Oktober

Semut api berjalan berbaris rapi menyusuri tepi kusen jendela ruang kerjaku. Satu tempat yg mereka tuju, tempat sampahku di sudut sana. Bukan sisa makanan yg ada di dalamnya. Hanyalah sisa air minum dalam gelas plastik dari tamuku siang tadi. Ya, hanya air itu yg mereka tuju.

Kuambil sejumput gula dan kutaburkan di sekitarnya. Tak lama berselang, barisan di ujung gelas plastik itu sedikit buyar. Satu persatu butir kristal manis itu terangkat oleh tiap semut yg memburunya. Tak perlu menunggu lama, tiap semut bersama butiran gula yg lebih besar dari badan mereka itu kembali ke dalam barisannya, dan berjalan pulang ... mungkin menuju sarangnya.

Pucuk pohon di luar sana menggeliat mengikuti terpaan angin yg mulai menderu. Beberapa helai daunnya sempat menerpa kaca jendelaku. Angin yg masih cukup kencang ... namun tak lagi terlihat layang layang besar yg diterbangkan olehnya di langit sebelah sana, seperti hari hari sebelumnya. Mungkin anak anak di seberang sungai kami sudah bosan dg bermain layang layang. Atau mungkin mereka ada tugas lain semisal belajar untuk tengah semesternya. Atau mungkin layang layangnya rusak setelah berhari hari bersinggasana menantang awan di atasnya. Atau ... mungkin anak anak itu sakit flu pilek, seperti kebanyakan anak kecil di kampung kami.


Tanah hitam di pekarangan rumah kami masih tampak pecah pecah. Sepadan dg hawa kamar yg senantiasa gerah. Tak serasi dg deru kencangnya angin di luar sana. Kipas yg menyemburkan angin buatan, menggoda mataku utk makin meredup. Alhamdulillah ... sebentuk awan besar sedikit menaungi kami dari teriknya sinar matahari yg mulai lingsir ke barat. Sebentar lagi ashar.

Seorang sahabat mengeluhkan sumur di rumahnya yg mulai kecil sumbernya. Sore ini ia tak bisa mencuci mobil barunya yg mulai lusuh terselimuti debu. Ibu tetangga mengeluhkan sungai kecil di belakang rumah yg sudah tak teraliri air lagi. Pagi tadi ia seperti sejak beberapa minggu lalu, terpaksa harus membakari sampahnya, yg biasanya cukup ia lemparkan saja ke sungai itu. Dan rekan kerjaku mengeluhkan istrinya yg senantiasa bawel menyuruh nyuruhnya utk menyirami bunga bunga kesayangan istrinya itu tiap sore tiba. Ia tak sempat lagi mangkal di warung kopi langganan kami.

Namun barusan Si Warno datang membawa seplastik besar buah mangga yg dipetiknya siang tadi. Kawanku lain bercerita tentang harga gabah kering yg makin membumbung. Tukang gali sumur yg sedang membenahi sumur tetangga sebelah pun tampak ceria. "Sekarang dalam sehari saya bisa dapat dua kali orderan." Katanya.

Entahlah .... karena keluh keluh kesah itu, atau pergantian cuacanya yg salah. Namun saat sebentuk awan gelap mulai banyak terbentuk di langit selatan sana, akupun turut bersorak gembira. "Hujan pertama telah turun di bumi Jawa sisi selatan" kabar sms dari saudaraku.

Ampuni kami ya Allah jika kami mendustakan nikmat dari-Mu. Alhamdulillah, ... kemarau yg datang tahun ini masih menebar banyak berkah. Dan panen tebu kami pun sangat terbantu karenanya. Namun ... astaghfirullah ... sekali lagi ampuni kami ya Allah, ampuni kami dari mendustakan nikmat musim kemarau ini, ampuni kami karena merindukan hujan ini.

Astaghfirullah ... astaghfirullah