Sabtu, 16 Mei 2015

"Selalu Ada Asa di Sepiring Kecil Ketan"




Jamaah shubuh baru saja bubaran, saat Cak Buadi ikut turun dari langgar Abah Nur. Bubaran jamaah hari ini lebih awal daripada biasanya. Di tiap shubuh seperti ini, biasanya abah Nur memberikan tausiah selepas wiridan. Namun karena beliau sedang tindak ke Solo, buwuh saudaranya, tausiah hari ini tidak ada yang mengisi. 

Katanya Mas Tono yang guru SMP, tausiah itu bisa juga disebut kuliah Shubuh. Hehehehe, lumayanlah buat cak Buadi yg cuma tamatan STM bisa sekali-kali ikut kuliah. 

Hanya saja, karena abah Nur kalo memberi tausiah cuman sebentar, karena hanya membaca satu hadits di kitab Riyadush Sholihin dan menjelaskan sedikit maknanya, maka tidak sampai tujuh menit sudah rampung. Kurang pas kalau disebut kultum atau kuliah tujuh menit, apalagi kuliah shubuh. Ya tausiah itu saja lebih pas, itu katanya Abah Nur sendiri lho ya, sewaktu Mas Tono "ngengkel" dengan istilah "kuliah"-nya itu tadi. 


Cak buadi mulai "nyengklak" sepeda motor Suzuki FR50-nya, sambil uluk salam kepada Kang Mualim yang masih repot membetulkan rantai sepeda "jengki"-nya. Motor antik itu dibelokkannya ke arah pasar Rowomarto. Satu tujuannya, ke lapak warung ketan Yu Marni. 

Semalaman cak Buadi ndak bisa tidur nyenyak. Pikirannya "bunek" gara-gara jagoannya, Manchester City, nggak bisa menang saat melawat ke kandang Everton. Padahal di pertandingan berikutnya, Chelsea bisa menang mudah dan kembali jadi pemimpin klasemen Liga Inggris. Hahahaha, pusingnya cak Buadi sudah sekelas pusingnya pak Jokowi menata harga Bbm Indonesia saat ini. 

Pasar Rowomarto masih remang-remang saat sepeda cak Buadi sudah terparkir di depan warung ketan Yu Marni. Namun begitu, dalam temaram cahaya lampu 5 watt yg menerangi masing-masing lapak di pasar itu, cak Buadi bisa melihat aktifitas "dulur-dulur pasar" yang mulai menata lapaknya masing-masing. 

Mbak Jah Bomber yang mengingatkannya kepada Ratmi B29-nya Srimulat mulai mengupas dan memotongi lontong untuk dagangan pecelnya. Kang Sukim yang cungkring masih repot memanggul zak berisi ketela rambat dari keranjang motor ke lapaknya. Mbak Ni Krebo bareng mbok Nah, pedagang sayur keliling, mulai menata dagangan di keranjang sepedha "ethek"-nya. 

"Ngersakne nopo cak Bu?" Tanya Yu Ratmi setelah selesai menyajikan secangkir kopi kepada Kang Modin yang sudah duluan sampai. Cak Buadi belum menjawab, karena pandangannya masih tertuju ke Mbak Jah Bomber. 

"Bakul pecel kok sak ndemblah gitu, sing tuku opo gak wis wareg sik lek nyawang bakule?" Cak Buadi malah ngomel "ngrasani" Mbak Jah Bomber. 

"Hei cak Bu, ditanya mau pesen apa kok malah ngomel dhewe!" Yu Ratmi sewot. 

"Lha iyo sampeyan iku isuk-isuk kok wis ngrasani liyan to cak Bu. Apa tadi nggak diwulang sama Abah Nur to?" Tanya Kang Modin menimpali. Cak Buadi cuma cengar-cengir kena "smash" dari Yu Ratmi dan Kang Modin. 

"Kopinya satu, yu! Lha ketannya mana ini?" Pesan Cak Buadi. 

"Sabar sik yo cak! Ketane belum tanek, lima menit lagi dak entase." Mak Jum ibunya Yu Ratmi yang lagi marut kelapa menyahut. 

"Yo wis, kopinya dulu, GPL ya ... Gak pakai lama! Nanti ketane sak lepek!" Cak Buadi melanjutkan pesanannya. Yu Ratmi cuman mencibirkan mulutnya, seolah masih sewot. 

"Abah Nur tindak ke solo, kang. Buwuh sejak semalam. Tadi yang ngimami mas Guru Yakin." Kata Cak Buadi ke Kang Modin. 

"Ooo, lha layak kok semalam aku papasan dengan mobil beliau di dekat terminal Nganjuk." Kata Kang Modin sambil melirik Lik Jumeri dan mas Poyo yang barusan datang ke lapak Yu Ratmi. 

"Sampeyan iku yen kuperhatikan kok sajake sentimen sama Mbak Jah Bomber to cak Bu!" Kata Kang Modin lagi. 

"Sentimen mergo lamarane ditolak kuwi!" Sahut Yu Ratmi. Cak Buadi buru-buru mengacungkan jari telunjuk ke depan mulutnya sendiri sambil matanya melotot ke Yu Ratmi. Mak Jum sampai tertawa terkekeh-kekeh. 

"Tenan po Cak?" Tanya Kang Modin menggoda. Cak Buadi langsung menjawab sewot, "Ora Kang! Omongane Yu Ratmi wae kuwi!" Yu Ratmi tersenyum geli karena tembakannya kena. 

"Yu, denger-denger mbak Jah mau berangkat umroh ya?" Tanya Lik Jumeri kepada Yu Ratmi. Pembeli yang lain termasuk cak Buadi dan Kang Modin kaget mendengar pertanyaan Lik Jumeri. Yu Ratmi mengangguk-angguk membenarkan pertanyaan Lik Jumeri. 

Mak Jum yang kemudian menyahut. "Mbak Jah sudah nabung ada kalau lima tahun ini di koperasi pedagang pasar. Ndelalah kemarin kambingnya manak semua, dan digenteni adiknya, sehingga bisa nutup biaya umrohnya. Insya Allah awal Pebruari nanti berangkatnya." 

"Ooo, gak ngiro saya kalo dari jualan pecel saja ternyata bisa untuk berangkat umroh. Wah, pinter tenan mbak Jah ki." Cak Buadi ngalembono mbak Jah. Pengunjung lapak ketan secara berbarengan menyahuti, "Lhaaaaaa, tenan to!" Cak Buadi tersipu-sipu kena jebakan Batman lagi. 

"Tapi tenan kok, Jah itu dulu di kelas termasuk yang encer otaknya. Cuman kalah sama Warsito anaknya mbah Guru Marsudi dan Endang anaknya pak Lurah Ndhongkol. Aku kalo ada pe er, ya sok njilih garapane Jah." Terang Cak Buadi. 

"Sok njilih opo njilih terus, cak?" Yu Ratmi nyemoni lagi. 

"Aeees! Kowe ki lho mesthi!" Kata Cak Buadi. 

"Emane, dia nggak ngrampungke sekolah SMA, setelah pak Mun bapaknya wafat." Kata cak Buadi lagi. 

"Mbak Jah itu memang pinter kok cak, kalo siang ngajar ngaji dan ngajar moco tulis di kampungku. Walau honore ya sak ikhlase orang tuanya anak-anak itu." Mas Poyo menyahut. "Anak-anak juga seneng kalo yg ngajari Mbak Jah. Gampang dipahami." 

"Lha iyo to, yen disawang-sawang kae dulur-dulur pasar iku koyo-koyo ora bakal cukup rejekine kalau hanya mengandalkan hasil jualan saja. Tapi nyatanya mbak Jah bisa umroh. Kang Sukim malah tahun 2017 nanti ihram haji. Mbok Nah itu anaknya jadi pegawai negri semua. Yu Ratmi ini juga, si Denok dan Joko malah sudah kuliah semua." Sahut Kang Modin. 

"Gusti Alloh itu Maha Kuasa dalam mengatur rejeki setiap umatnya." Mak Jum menyambung. "Walau cuman jadi bakul pasar, coba sampeyan gatekno tenanan. Apa ada dulur pasar itu yg wajahnya suntrut? Mereka semuanya sumeh. Atine semeleh, ikhlas tanpa beban. Dan tiap pertama kali dagangannya laku, selalu bilang "laris laris laris" ... Itu menghayati betul akan syukur nikmat Alloh yang mereka terima hari ini. Dan insya Allah dari tiap syukur nikmat itu membuka rejeki dan nikmat Alloh yang lain" 

Kang Modin membenarkan dengan menyampaikan sebuah ayat Al Quran tentang janji Allah atas kesyukuran hamba-Nya. Sedangkan Cak Buadi terpekur menyimak kalimat-kalimat Mak Jum dan Kang Modin itu. 

Ia yang mestinya harus lebih bersyukur karena setiap bulan dapat gajian yg sudah pasti, sekarang malah sering mengeluh gara-gara anaknya geger minta dibelikan handphone. Ia yang mestinya lebih sering berterima kasih kepada Alloh, sekarang malah sering menggerutu karena istrinya minta tambahan blanjan. 

Pelajaran tentang "dulur-dulur pasar" di warung ketan Yu Ratmi ternyata lebih nandes pagi ini, seolah menjadi penjabaran dari kuliah-kuliah shubuh Abah Nur. Betapa keikhlasan dapat melepaskan segala beban, betapa segala kesyukuran dapat membuka jalan rejeki dari segala arah yang tak disangka-sangka. Dan betapa keyakinan dapat mewujudkan semua harapan. 


Inspired by : Pagi di pasar Patianrowo, 11 Januari 2015