Perumahan kami terletak di desa Ngrombot kecamatan Patianrowo, berjarak sekitar 4 kilometer ke arah utara Kertosono. Namun demikian, meski secara administratif lokasi pabrik kami ini berada di kecamatan Patianrowo, akan tetapi karena sudah salah kaprah, orang sering kali menyebut pabrik gula kami sebagai PG Lestari Kertosono.
Tidak sampai 10 menit, saya sudah sampai di Kertosono. Sebuah kota kecil yang cenderung sepi, meski masih tergurat kuat dari sosok bangunan maupun bentuk blok-blok lingkungannya, serta sisa-sisa pertokoan yang masih aktif ... Kertosono adalah kota besar di masa lalu.
Kendaraan saya belokkan untuk parkir ke halaman warung makan BU RESO yang lokasinya persis di sebelah selatan Terowongan Kereta Api Kertosono. Memang tempat ini yang saya rencanakan sejak berangkat dari rumah tadi, meskipun sejatinya untuk urusan pecel, Kertosono ini punya banyak pilihan warung dengan cita rasa yg sama istimewa lezatnya. Ada warung PAK DJAN sebelah pasar, warung BU DEWI yang di gang utara Terowongan kereta. Ada warung pecel kidul Kantor Pos yg lagi ngetrend ramenya. Sepanjang jalan sebelah barat pasar Kertosono sampai stasiun, maupun seputar RSUD Kertosono pun juga terdapat banyak warung sejenis.
Apa sih istimewanya pecel Kertosono ini?
Jika dibandingkan dengan pecel di kota sekitar Kertosono (misal Nganjuk, Kediri, Madiun dan Jombang), selain memakai rempeyek kacang atau rempeyek ikan teri sebagai sajian lauk utama, pecel Kertosono ini memiliki ciri khas dalam penyajiannya yang ditemani lauk bermacam-macam sesuai pilihan. Ada sate telur puyuh, sate daging ayam, sate jerohan ayam, oseng-oseng rambak/kulit sapi, ayam bakar/panggang, telur dadar/ceplok, bakwan jagung, tempe/tahu goreng, empal daging, opor ayam, perkedel, dan telur asin. Selain bumbu pecel dgn sambal kacang tanah, pecel kertosono dapat pula disajikan dengan sambal tumpang (berbahan baku tempe yang ditumbuk lembut, dicampur sedikit tempe bosok/semangit sebagai cita rasa dan aroma khususnya). Mayoritas pengunjung memilih campuran keduanya, ya pakai sambal kacang ya pakai sambal tumpang.
Sayurnya pun cukup lengkap, dari daun pepaya dan kenikir yg dirajang lembut, kecambah/taoge, kacang panjang, sawi hijau, bayam ataupun kangkung. Yang spesial dibanding pecel di kota lain adalah adanya sayur bunga turi dan daun kemangi. Hanya kota Madiun yg kompisisinya lebih komplit karena memakai lamtoro/mlanding dalam sayurannya. Campuran lain dalam penyajiannya adalah adanya kering tempe, dan serundeng. Hmmm, sedap deh pokoknya. Soal harga, per porsi hanya Rp 3.000,- sd Rp 4.000,- ... masih sangat murah dibandingkan di kota-kota sebelah.
Nah, sambil menikmati kelezatan pecel ini, saya menyempatkan untuk mengobrol dengan pemilik warung dan beberapa pengunjung di sana untuk menyambung soal sejarah kota Kertosono saat ini, khususnya apabila dibandingkan dengan kota Kertosono pada jaman dahulu. Dari obrolan omong kosong ini, saya mendapat sebuah cerita tentag sejarah dan epos kepahlawanan di balik nama Kertosono ini
Monumen "HARMOKO" di Dusun Ngrengket Desa Rowomarto Kecamatan Patianrowo |
Asal Muasal Kota KERTOSONO versi Pengunjung Warung Pecel
Nama Kertosono ini asal mulanya dari nama seorang prajurit Mataram (Jogja) yang diutus oleh sang Sultan untuk melakukan "babat alas" di daerah yang saat ini kita kenal sebagai Kertosono ini (namun nama awalnya adalah Kadipaten Posono). Nama prajurit itu adalah Ki Kertosono. Oleh sang Sultan, jerih payah ki Kertosono dalam melakukan babat alas sekaligus dalam perjuangannya mempertahankan wilayah ini dari penjajahan Belanda pada saat itu kemudian dianugerahi sebuah tanah perdikan di sebelah utara Kertosono, yaitu di desa Pakuncen di Kecamatan Patianrowo. (Pengunjung lain mengatakan bahwa asalnya Kota Kertosono justru dari desa Pakuncen tersebut). Sedangkan nama beliau kemudian dijadikan tetenger nama wilayah tersebut sebagai nama kota Kertosono. Bukti sejarah yang masih tersisa dari kisah kepahlawanan beliau ini adalah makam beliau yang terletak di sebelah barat Pondok Pesantren "Sunan Kalijaga" yang saat ini diasuh keturunan beliau, yaitu KH. M. Komari Syaifullah atau lebihdikenal sebagai Ki Komari, yang terkenal dengan produk jamunya yaitu jamu Al Qomar. (kalau cerita resmi asal muasal kota Kertosonohasil cek-ricek kami, dapat dilihat di sini)
Karena letaknya yang strategis, sebagai persilangan antara kota-kota besar seperti Madiun, Kediri, Jombang dan Surabaya, maka selanjutnya Kertosono berkembang pesat menjadi pusat perdagangan. Apalagi lokasinya yang bersebelahan dengan sungai besar Brantas, maka tumbuhlah Kertosono menjadi sebuah kota besar yang selanjutnya dalam masa pendudukan Belanda didukung pula dengan sebuah stasiun besar. Pada masa operasional kereta menggunakan penggerak dari loko uap, semua kereta pasti berhenti di stasiun besar Kertosono.
Salah satu pengunjung juga menceritakan epos lain dalam peperangan melawan penjajah Belanda dulu, yaitu kisah perang "Treteg Tosono". Tentu ini bukan guyon parikeno menguji lidah kita gampang keseleo atau tidak dengan mengucapkan "Pak Kerto numpak kreto liwat kreteg Kertosono" macam lagu Thil Konthal Kanthil-nya Koes Plus itu, melainkan benar2 sebuah perang perlawanan terhadap usaha pendudukan Belanda.
Cerita bapak-bapak pengunjung itu tadi, pada waktu itu masa "Class ke 2" atau "Agresi Militer ke 2" di tahun 1948, di mana tentara Belanda mulai memasuki Jawa Timur dari beberapa arah. Khusus daerah Kertosono saat itu diserbu dari 2 arah. Pertama dari arah Lengkong, yang merupakan satuan tentara Marinir yang disertai tentara KNIL. Sedangkan yang kedua dari arah Jombang, yang merupakan satuan kavaleri/panser. Mengingat fungsi strategis Kertosono dengan keberadaan stasiun besarnya yang menghubungkan jalur utama Madiun-Surabaya-Kediri ini akan menguatkan penjajahan Belanda kembali, maka para pejuang TNI kemudian berinisiatif untuk berupaya menghancurkan/meledakkan jembatan Kertosono agar dapat menghambat laju tentara Belanda. Sayangnya, upaya sebanyak dua kali dalam meledakkan jembatan Kertosono tersebut tidak menemui hasil, bahkan hanya rusak di sisi permukaan aspalnya saja. Bersamaan pada waktu peledakan itu pasukan Belanda yang dari arah Lengkong maupun pasukan panser dari Jombang telah tiba di sekitar jembatan Kertosono, sehingga timbullah pertempuran sengit antara pejuang TNI melawan Belanda di dua arah. Kalah jumlah dan kalah persenjataan, sebagian pejuang TNI gugur di sekitar jembatan Kertosono, yang kini disebut Jembatan Lama. Demikianlah kisah perang di Jembatan Kertosono atau juga dikenal perang "Treteg Tosono" itu, menurut versi si Bapak tadi.
Hmmm, ... sebenarnya kalau ditelusuri lebih lanjut, masih banyak kisah di balik sinar temaram kota Kertosono ini yang perlu diungkap dan diceritakan kembali kepada generasi penerus kita. Namun apa daya, sepincuk pecel di hadapan saya, plus ayam bakar yang jadi lauknya sudah ludes saya lahap. Segelas teh panas pun sudah saya teguk sampai tetes terakhir, sudah saatnya saya menghadap kepada bu kasir untuk mempertanggung jawabkan semua hasil perbuatan saya, eh pesanan saya lebih tepatnya begitu. Hehehehe
Semoga di lain waktu, saya ataupun Anda bisa mengulas cerita-cerita masa jayanya kota Kertosono ini.
Jika Kawanku sudah telanjur penasaran, untuk lebih lanjut bisa membuka terlebih dahulu lembar situs https://jawatimuran.wordpress.com/2012/11/12/sekilas-sejarah-pemerintahan-kabupaten-di-nganjuk/ atau situs http://alvolksker-belajarsambilbermain.blogspot.com/2011/09/sejarah-kota-kertosono.html dan juga di situs ini http://lavendergrass.blogspot.com/2014/06/kertosono-kota-kecil-sejuta-potensi.html