Kita pun Seperti Batita Yang Belajar Berjalan
Sebuah momen dalam hidup yang ditunggu dengan penuh kegembiraan atau justru penuh kecemasan dari orang tua adalah ketika pertama kalinya batita kita mulai berdiri dan belajar berjalan. Latihan berjalan implikasinya sangat luas bagi perkembangan psikologis anak . Antara lain dalam sense of autonomy berikut kemandiriannya. Secara bertahap anak memahami, segala sesuatu yang diinginkannya haruslah diusahakan. Nah, agar latihannya berjalan baik dibutuhkan stimulus dan dukungan dari orangtua.
Pada prinsipnya, selama sudah dipastikan tidak ada gangguan saraf atau kelainan otot, anak pasti bisa berjalan. Anak yang mogok belajar jalan mungkin terlena oleh kemanjaan dari orangtua atau pengasuhnya. Contohnya, kelewat sering digendong sehingga anak tak mendapat stimulasi untuk aktif bergerak. Kemanjaan seperti ini memang bisa menghambat perkembangan kemampuan berjalannya. Sayangnya, sering kali orangtua tidak menyadari kemanjaan yang mereka limpahkan. Contohnya, lantaran kelewat sayang, orangtua khawatir melihat anaknya limbung. Belum sempat anak melangkah, orangtua sudah langsung mengulurkan bantuan. Kalau semua kebutuhan dan kemudahan sudah ada di depan mata, jangan salahkan kalau si kecil jadi enggan belajar berjalan. Keengganan latihan berjalan bisa juga lantaran kurangnya rasa percaya diri. Boleh jadi saat pertama kali belajar jalan, ia terjatuh cukup keras. Baik anak maupun orangtua biasanya jadi jera mencoba dan mencoba lagi. Padahal ketakutan berlebih seperti ini harus dikikis. Secara perlahan orangtua mesti meyakinkan anaknya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tunjukkan dengan bukti konkret, semisal dengan terus mendampinginya berlatih dan menyediakan lingkungan yang aman. Agar anak mau berjalan lagi, dibutuhkan stimulus yang dapat menumbuhkan rasa percaya dirinya. Pancing semangat anak dengan sikap gembira tanpa harus memaksa. Gunakan mainan yang menarik agar anak mau mendatanginya. Letakkan agak ke atas sehingga ia perlu berdiri untuk menjangkaunya. Dengan begitu, sedikit demi sedikit, anak tergerak untuk berani mencoba berjalan sendiri, tanpa ditatih atau berpegangan. Kalaupun sampai terjatuh, jangan tunjukkan sikap panik di hadapannya. Perhatikan apakah ia perlu ditolong saat itu juga atau bisa dibiarkan bangkit sendiri. Sikap panik orangtua/pengasuh hanya akan membuat rasa percaya dirinya luntur.
Lalu bagaimana dengan kita?
Ternyata dalam mengarungi hidup ini pun kita tak jauh beda dengan anak kita yang belajar berjalan itu. Entah di dalam kehidupan berumah tangga, kehidupan bermasyarakat, dalam berkarya ataupun di dalam memenangkan perhatian pujaan hatinya.
Setiap langkah yang akan kita ambil bisa jadi akan penuh dengan keraguan, yang notabene bersumber dari kekurang pengalaman, kekurang tahuan, kecemasan akan kegagalan, dan tidak adanya rasa percaya diri.
Ambil contoh ketika kita baru saja selesai melangsungkan pernikahan, kita akan dihadapkan pada beberapa pilihan hidup, seperti segera membina rumah tangga sendiri walau rumahnya pun masih kontrakan, atau nebeng di rumah ortu. Semua memiliki resikonya masing-masing dan keuntungannya masing-masing. Apapun pilihan yang kita ambil, usahakan bahwa niat kita adalah untuk mandiri dan mengusahakan kemandirian kita itu. Di rumah ortu pun bukan berarti segala sesuatunya kita nunut kepada ortu. Bisa juga kita yang membiayai belanja keluarga ortu, walaupun itu sekedar belanja tahu tempe ataupun beras. Yang penting kita berusaha untuk segera mandiri.
Pun demikian dalam bekerja. Seorang Sir Alex Fergusson ataupun Jose Mourinho yang sedemikian pakarnya dalam menangani tim bertabur bintang, meracik strategi, dan mendidik bakat-bakat muda yang dalam sekejap menjadi superstar, mereka pun mengalami masa-masa pembelajarannya. Benar memang bahwa kegagalan itu adalah buah dari kurang matangnya suatu perencanaan. Namun tidak salah pula bahwa kegagalan adalah salah satu guru terbaik dalam kesuksesan kita selanjutnya.
Seperti di tempat kerja kami saat ini, generasi-generasi muda mulai mengambil alih hampir semua sudut "decision maker" di tahun ini. Mulai dari perencanaan kerjanya, aplikasinya bahkan kontrol dan evaluasinya. Di 7 tahun yang lalu, posisi itu diisi oleh senior-senior yang telah lebih dari 25 tahun bekerja di perusahaan ini, dan tentu dengan kepangkatan yang tinggi pula. Bandingkan dengan rekan-rekan yang baru 7 th, 3 th atau bahkan belum genap 2 th. Tentu saja secara pengalaman kerja mereka perbedaannya bagai bumi dengan langit. Demikian pula kecepatan pengambilan keputusan atau ketepatan tindakannya. Apalagi kepercayaan dirinya.
Di sinilah bagaimana kita pun diibaratkan seperti batita yang sedang belajar berjalan. Keberhasilannya berjalan dengan tegak akan semakin meningkatkan kepercayaan dirinya untuk terus melangkah dengan baik dan cepat. Namun kegagalannya saat jatuh bukanlah sebuah momen untuk segera kita teriaki dengan penuh kepanikan. Atau karena kecemasan kita jikalu dia sakit menjadikan kita terlalu memanjakannya dengan segera menggendongnya. Keberadaan ortu di dekatnya dengan senyuman dan support untuk semangatnya adalah ibarat sebuah penopang badan baginya. Kepercayaan kita bahwa dia akan berhasil juga menjadi sumber kepercayaan diri baginya untuk terus berusaha berjalan.
Demikianlah, masa-masa "belajar berjalan" bagi kita tidak akan pernah usai selama kita masih ingin hidup dengan berkarya. Keikhlasan niat, semangat yang tak mudah padam, dan kesungguhan usaha akan membawa kaki-kaki kita semakin kuat untuk berdiri dan melangkah.