Dalam setiap langkah kehidupan kita bersama umat manusia yang lain, entah itu anak dan istri/suami kita, keluarga kita, saudara kita, sahabat dan kerabat, ataupun orang lain yang tidak begitu dekat, tentulah tak pernah luput dari adanya friksi atau gesekan, yang entah itu berupa kesengajaan ataupun hal yang tidak sengaja. Terkadang hal yang kecil yang tak sesuai dengan kehendak hati kita dan di saat yang sangat tidak tepat pun bisa menimbulkan luka hati yang terus membekas.
Bagaimanapun manusia adalah tempatnya lupa dan khilaf, sehingga tak luput dari berbuat kesalahan yang mendzalimi atau menyakiti hati orang lain. Dan adalah wajar pula sebagai manusia yang memiliki hati tersebut juga mudah mengalami sakit hati atas kesalahan orang lain tersebut. Maka demikianlah Allah menciptakan adanya aktivitas maaf memaafkan bagi manusia, makhluknya yang memiliki hati perasaan.
Kembali kita mengingat judul tulisan tersebut di atas, untuk merenungkan sejenak makna di balik aktivitas maaf memaafkan di antara kita. Ketika kita ditanyakan hal tersebut di atas, bisa jadi kita langsung menjawab “mudah”. Bisa jadi pula kita masih berargumen “tergantung seberapa besar kesalahannya”. Nah kalo ketemu yang cukup berat, tak ayal akan muncul kalimat “tiada maaf bagimu” atau kalimat mendendam lainnya. Apapun jawabannya, demikian semua itu adalah wajar adanya bagi kita sebagai manusia yang memiliki hati untuk menjadi hamba yang mudah sakit hati ataupun menjadi hamba Allah yang pemaaf.
Marilah kita sejenak menyimak tiga kisah di jaman para Nabi, yang Insya Allah bisa memberikan tauladan sejati bagi kita, untuk memotivasi kita menjadi hamba Allah yang pemaaf dan terjauhkan dari mudahnya sakit hati.
Kisah pertama adalah kisah Rasulullah SAW pada masa “Fitnatul Kubro”, yaitu masa ketika kaum muslimin diguncangkan oleh fitnah terhadap ibunda Aisyah r.a yang disebarkan oleh dedengkot kaum munafik yaitu Abdullah bin Ubai bin Salul. Fitnah tersebut menyebar hingga merasuk ke dalam hati sebagian kaum muslim sehingga mereka membicarakannya, bahkan sebagian mereka ada yang melampaui batas. Persoalan itu terus bergulir selama sekitar satu bulan, yang saking peliknya fitnah tersebut hingga nyaris menimbulkan perang di antara Bani Auf dan Bani Khajraj, menyebabkan Rasulullah dan kaum muslim dalam suasana duka yang berkepanjangan, hingga Allah SWT kemudian menurunkan wahyu yang menjelaskan duduk persoalan yang sesungguhnya atas masalah itu.
Di antara umat yang ikut menghembuskan fitnah itu tersebutlah Misthah bin Atsatsah bin Ibad bin Abdul Muthalib, seorang sepupu dari Abu Bakar Ash Shidiq r.a sendiri, yang bahkan karena kemiskinannya maka kehidupannya selalu diurus dan ditanggung oleh Abu Bakar r.a. Oleh karenanya ketika Allah menurunkan ayat “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah golongan kamu juga …”, maka sebagai sewajarnya manusia pun Abu Bakar r.a yang terkenal akan keshalihan dan kesabarannya berkata terhadap Misthah “Demi Allah, aku tidak akan memberinya apapun untuk selamanya setelah dia menuduh Aisyah”. Namun beliau kemudian mendapati firman Allah yang lain “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kaum kerabatnya … apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?” maka Abu Bakar r.a pun berkata “tentu aku akan memberi. Demi Allah, sungguh aku ingin sekali diampuni Allah.” Dan Abu Bakar r.a pun kembali memberi biaya kepada Misthah seperti sebelumnya dengan berkata “Demi Allah, aku tidak akan pernah mencabut bantuan itu”
Dari kisah pertama kita bisa melihat bahwa seorang Rasul dan sahabat-sahabatnya pun bisa diguncangkan oleh adanya fitnah keji. Akibat fitnah tersebut memicu amarah, dendam dan sakit hati bahkan di antara kaum muslim yang kesabaran hatinya jauh di atas kesabaran umat manusia umumnya. Namun demikian, karena kecintaannya dan ketaqwaannya kepada Allah dan Rasulullah, mereka mampu menisbikan segala amarah, dendam dan sakit hati tersebut dengan senantiasa membuka pintu maaf. Bahkan dalam kasus Abu bakar tersebut, beliau pun ikhlas untuk tetap menyantuni saudaranya yang ikut menyebarkan fitnah tersebut.
Dalam kisah lain yaitu kisah Nabi Yusuf A.s, Allah senantiasa memberikan hati yang sabar kepada nabi Yusuf tatkala beliau dikhianati saudara-saudara tirinya untuk diceburkan ke dalam sumur dan ditinggalkan di tengah gurun. Juga tatkala beliau mendapatkan fitnah dari para istri pejabat yang tak mampu menahan syahwatnya atas ketampanan nabi Yusuf, sehingga beliau dipenjarakan demi melindungi nama baik para pejabat tersebut. Demikian pula ketika beliau dilupakan oleh orang yang telah ditolongnya di penjara, sehingga orang tersebut kembali mendapatkan jabatannya di istana raja sedangkan beliau ditinggalkan dan dilupakan tetap di penjara. Sungguh segala cobaan tersebut tentu menimbulkan rasa kecewa ataupun sakit hati yang menguji kesabaran nabi Yusuf a.s. Namun demikian beliau dengan segala kecintaannya dan ketaqwaannya kepada Allah SWT lebih memilih ridlo dan ampunan Allah dengan senantiasa memaafkan segala kesalahan orang lain. Sehingga meskipun beliau telah menjadi penguasa, beliau tetap memaafkan dan berkata kepada saudaranya, “Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kalian. Pergilah, karena kalian orang-orang yang bebas.”
Dalam kisah Rasulullah SAW yang lain tentulah kita masih ingat betapa dukanya Baginda Rasul ketika menemui pamannya Hamzah r.a bin Abdul Munthalib gugur dalam perang Uhud akibat terbunuh oleh Wahsyi bin Harb, yang saat itu berperang sebagai budak Jubair bin Mu’thim untuk kemerdekaan dirinya jika dapat membunuh Hamzah r.a. Lebih pedih lagi hati beliau demi mengetahui bahwa jazad pamannya tersebut telah dibelah dan hatinya diambil untuk dimakan oleh Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan. Namun demikian, ketika peristiwa “Fathul Makkah” atau Penaklukan Makkah, Baginda Rasulullah yang semula memerintahkan hukuman mati untuk sejumlah tokoh yang dahulu memusuhi kaum muslim pada akhirnya memaafkan dan mengampuni mereka setelah mereka masuk Islam. Demikianlah Hindun binti Utbah dan Wahsyi bin Harb telah dimaafkan oleh Rasulullah, bahkan menjadi sahabat yang ikut berperang bersama beliau, walaupun Rasulullah memerintahkan mereka untuk tidak pernah berdiri di dalam pandangan beliau demi menghindari kesedihan beliau jika teringat akan kematian Hamzah r.a.
Demikianlah tiga kisah yang memiliki kadar masalah yang sangat berat, namun pada akhirnya pun dapat dimaafkan demi ketaqwaan dan kecintaan kita kepada Allah SWT, sebagaimana firman Allah dalam An Nuur ayat 22 : “… Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Demikian Allah memberi petunjuk kepada kita semua bahwasanya seberapa pun besar masalahnya, sedalam apa pun bekas dendam atau sakit hati yang ditimbulkannya dan bagaimanapun sulitnya, pintu maaf harus senantiasa kita buka, dengan harapan ridlo dan ampunan Allah bagi kita. Bahkan tidak sekedar memaafkan saja (wal ya’fuu), namun juga bisa melapangkan dada kita atau dalam ibarat bersih suci seperti tak pernah terjadi apapun (wal yashfahuu). Semoga kita digolongkan kepada umat-Nya yang selalu dalam kesabaran dan mendapatkan ampunan dari Allah SWT. Aaamiiin.
(sebagaimana disarikan oleh Ust. dr. Agung Wibowo dalam halaqoh beliau di Ngadiluwih)